
کمالوندی
Memperingati Hari Perang Melawan Terorisme
Tanggal 8 Shahrivar (kalender nasional Iran) yang tahun ini bertepatan dengan tanggal 29 Agustus 2020, mengingatkan rakyat Iran tentang kesyahidan Presiden dan Perdana Menteri Iran kala itu, Rajaei dan Bahonar, di awal kemenangan Revolusi Islam Iran oleh kelompok teroris Munafikin.
Teror ini terjadi pada tanggal 8 Shahrivar 1360 Hijriah Syamsiah atau 30 Agustus 1981, dua bulan pasca gugurnya Ayatullah Sayid Mohammad Hosseini Beheshti bersama 72 tokoh politik anggota Partai Jomhouri Eslami dalam peledakan bom di kantor partai ini pada 28 Juni 1981.
Selama dua dekade, pemerintah Amerika Serikat menaungi kelompok teroris Munafikin di bawah payung dukungan dana, dan politik, serta mendukung aksi terornya terhadap warga Iran. Kelompok teroris ini berusaha menyingkirkan tokoh-tokoh penting, dan pendiri Republik Islam Iran sehingga dengan menciptakan kekosongan pada pilar sensitif negara, ia bermaksud membuka kemungkinan keruntuhan Republik Islam Iran.
Raymond Tanter mantan anggota Dewan Keamanan Nasional Amerika, dan salah satu pendukung Munafikin yang menulis buku terkait pergerakan kelompok ini dengan maksud mengeluarkannya dari daftar pendukung terorisme mengatakan, mereka adalah opsi yang lebih baik daripada sanksi dan perang untuk membantu memajukan program Amerika terkait Iran.
Pandangan ini menunjukkan bahwa apa yang penting bagi Amerika adalah meraih tujuan dengan cara apapun, bahkan jika harus mendukung sebuah kelompok teroris sekalipun. Amerika menyebut segala bentuk intervensi dan upaya mengganggu keamanan Iran dan kawasan serta pendudukan seperti di Afghanistan dan Irak, sebagai upaya menciptakan keamanan kawasan.
Pejabat Amerika dalam kerangka kebijakan yang mereka sebut perang melawan terorisme, terus menerus melakukan penyimpangan realitas, dan menuduh Iran mengacaukan kawasan serta mendukung terorisme. Tujuannya untuk mencitrakan positif Amerika di kawasan dan dunia, padahal substansi nyata perilaku Amerika adalah memproduksi perang, ketidakamanan dan terorisme, serta membidani lahirnya Al Qaeda dan Daesh.
Berdasarkan bukti yang ada, pemerintah Amerika dalam rekam jejaknya, tercatat mendukung aksi teror Munafikin. Dukungan Amerika terhadap kelompok teroris Munafikin hanyalah satu contoh dari standar ganda Barat dalam menyikapi terorisme.
Pasukan Amerika dengan dalih perang melawan terorisme, dikerahkan ke lebih dari 80 negara dunia. Hasil kajian Universitas Brown pada tahun 2018 menunjukkan, Amerika dengan dalih memerangi terorisme, memperluas kehadiran militernya di lebih dari 40 persen negara dunia.
Pertanyaannya apakah kehadiran militer Amerika ini berhasil menurunkan aktivitas teror ?
Jawabannya tidak. Intervensi militer Amerika pasca serangan 11 September, dan apa yang disebutnya sebagai perang melawan terorisme, justru menyebabkan terorisme menyebar luas di dunia dalam dua dekade terakhir. Pada tahun 2001, Amerika menduduki Afghanistan dengan dalih perang melawan Al Qaeda. Tiga tahun kemudian Amerika menyerang Irak. Perang yang berlangsung selama 7 tahun ini membawa kerugian besar bagi rakyat Irak, dan pasukan Amerika selama 7 tahun melakukan semua jenis kejahatan di negara itu. Afghanistan dan Irak yang rencananya dibersihkan dari para teroris, justru berubah menjadi tempat lahirnya kelompok teroris Daesh.
Noam Chomsky analis politik Amerika sempat bertanya, apakah yang diinginkan Amerika adalah menyuburkan terorisme atau memberantasnya ? Ia menjelaskan, jika ingin memberantas terorisme maka pertama Amerika harus bertanya mengapa terorisme muncul ? Apa sebab-sebab utama kemunculan terorisme, dan apa akar terdalamnya ? kemudian berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Seiring dengan naiknya Donald Trump ke tampuk kekuasaan, aktivitas kelompok-kelompok teroris, dan kejahatan Amerika bentuknya semakin beragam. Tidak diragukan dukungan Amerika atas terorisme merupakan bagian dari strategi Washington untuk mengintervensi kawasan, dan memukul Iran. Sebagian kejahatan ini tampak dalam bentuk sanksi ekonomi, dan Iran salah satu target terorisme ekonomi Amerika.
Pada bulan Januari 2020, Amerika melakukan sebuah kejahatan besar, ia meneror Komandan Pasukan Qods, IRGC, Letjend Qassem Soleimani, dan sekali lagi berusaha mengacaukan kawasan dengan aksi teror semacam ini. Pada 3 Januari 2020 dinihari kendaraan yang membawa Jenderal Soleimani bersama 10 orang lain termasuk wakil Komandan Hashd Al Shaabi Irak, Abu Mahdi Al Muhandis, yang datang ke Irak atas undangan resmi pemerintah negara itu, diserang drone militer Amerika sehingga menyebabkan seluruh penumpangnya gugur.
Amerika dalam teror ini menyasar para komandan militer yang selama bertahun- tahun telah memberikan pukulan telak kepada kelompok teroris Daesh. Membalas teror ini, Iran pertama menyerang pangkalan militer Amerika, Ain Al Assad di Irak, yang merupakan pangkalan militer terbesar dan terpenting Amerika di Irak.
Transformasi politik dalam beberapa tahun terakhir di kawasan menunjukkan bahwa kekuatan imperialis terutama Amerika menggunakan terorisme dan ekstremisme sebagai alat untuk mencapai tujuannya.Sementara Iran sejak 41 tahun lalu terus menjadi korban utama terorisme, dan ekstremisme, dan dengan 17.000 korban terorisme, ia menjadi negara yang paling bertekad untuk memerangi dan menumpas terorisme. Ditetapkannya tanggal 8 Shahrivar sebagai Hari Melawan Terorisme juga masuk dalam kerangka ini.
Tekad dunia untuk memerangi terorisme banyak mengalami pasang surut. Hal ini akan menjadi jelas jika kita merunut sejarah. Pada 10 Desember 1934 Liga Bangsa-bangsa secara aklamasi mengesahkan sebuah resolusi yang menegaskan bahwa semua negara harus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencegah aksi teror, dan bekerjasama dengan negara lain dalam hal ini. Resolusi tersebut menghasilkan sebuah konvensi yang disebut Konvensi Pencegahan dan Hukuman atas Terorisme yang disahkan pada 10 Desember 1937.
Konvensi ini menyimpulkan terorisme dalam sebuah kerangka umum. Berdasarkan kesepakatan Jenewa tahun 1937, terorisme didefinisikan hanya pada upaya seorang individu melawan sebuah negara atau pemerintahan. Satu-satunya kekhususan kesepakatan ini adalah menjelaskan kejahatan secara definitif, dan menentukan objeknya secara langsung sebagai bentuk terorisme.
Upaya ini dipengaruhi pecahnya perang dunia kedua, dan situasi perang, sehingga tidak membuahkan hasil yang jelas. Pasca pendirian PBB, isu terorisme kembali dibahas di komisi hukum internasional. Komisi ini menyusun hak dan kewajiban setiap negara dalam statemennya. Dengan demikian selama tahun 1947-1955, upaya ini menghasilkan resolusi 1186 yang disahkan di Majelis Umum PBB terkait agresi dan terorisme. Meskipun demikian, terorisme masih terjadi secara luas, dan lahir dalam berbagai bentuk yang baru.
Perubahan masyarakat internasional pasca perang dingin di sejumlah negara dipengaruhi oleh negara-negara adidaya, dan pemenang perang, sehingga mereka menghadapi permasalahan baru, sementara upaya PBB untuk mengidentifikasi perbuatan yang masuk kategori terorisme, tidak begitu tampak. Fenomena ini terus berlangsung bersamaan dengan upaya memecah belah sebagian kawasan Asia Barat, termasuk pecah belah Palestina oleh Zionis. Di masa ini, teror dan ketakutan yang dirasakan ribuan pengungsi Palestina memberikan gambaran baru kepada penduduk dunia tentang terorisme dalam bentuk baru dengan tujuan pendudukan dan penjajahan.
Zionis berusaha menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat Palestina, dan kelompok penjahat seperti Haganah terus melakukan pembunuhan mengerikan terhadap warga Palestina, termasuk aksi pembantain Deir Yassin yang terkenal itu. Pasca berdirinya rezim Zionis Israel, terorisme dalam bentuk yang lebih nyata melayani Israel dalam meraih ambisinya. Zionis melakukan teror dalam berbagai aksi seperti serangan bersenjata, pembunuhan massal dan semacamnya. Aksi ini terus meluas di saat resolusi anti-teror PBB dan konvensi-konvensi identifikasi terorisme tidak mampu menghukumi aksi tersebut sebagai terorisme.
Satu-satunya langkah yang dinilai cukup berarti dalam hal ini terjadi di tahun-tahun terakhir dekade 90-an, sebuah resolusi disahkan di Majelis Umum PBB pada 11 September 1995. Dalam resolusi itu dicantumkan urgensi keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam memerangi terorisme, jika perdamaian dan keamanan internasional terancam. Meski demikian sampai tahun 1999 DK PBB masih memandang terorisme secara kasuistik. Di tahun ini DK PBB untuk pertama kalinya menerbitkan resolusi yang berdimensi konsultasi terkait terorisme. Akan tetapi teror 11 September 2001, membuka kesempatan baru bagi Amerika untuk menyalahgunakan izin DK PBB guna melakukan aksi pencegahan atas nama perang melawan terorisme. Langkah pertama dalam hal ini dilakukan Amerika dengan menyerang Afghanistan, dan menduduki negara itu.
Tapi tak lama kemudian kebijakan ganda Barat terkait kelompok teroris semakin tampak nyatanya, dan dengan munculnya fenomena baru terorisme yang diwakili Al Qaeda dan Daesh, semakin jelas bahwa Barat tidak berniat sama sekali untuk memerangi terorisme. Kenyataanya ini menyebabkan terorisme menjadi masalah global, dan ancaman luas serta destruktif bagi ketenteraman dan keamanan nasional juga internasional.
Pada kenyataannya, standar ganda Barat terkait terorisme justru membuka peluang penyebaran teror dan pembunuhan di level global sehingga terorisme sampai sekarang tetap menjadi ancaman dunia, dan keamanan bangsa-bangsa. Amerika dengan penipuan publik yang dilakukannya, bukannya memerangi terorisme, malah mendukung teroris dan menuduh negara lain mendukung terorisme. Padahal sumber ketidakamanan kawasan dan dunia adalah terorisme dukungan Amerika dan sekutu-sekutu regionalnya.
Oleh karena itu alasan perang melawan terorisme membutuhkan visi global. Tanggal 8 Shahrivar yang dalam kalender Iran ditetapkan sebagai Hari Perang Melawan Terorisme, merupakan kesempatan dalam hal ini.
Analisis Poin Kunci Pidato Sekjen Hizbullah di Malam Asyura
Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon, Sayid Hassan Nasrullah dalam pidato malam Asyura menyebut serangan media sebagai strategi paling penting saat ini yang dilancarkan kubu penentang Front Perlawanan.
Sejak tahun 2000, geopolitik kekuasaan di kawasan Asia Barat telah mengalami perubahan yang mendasar, dan bobot serta posisi Front Perlawanan di kawasan ini semakin meningkat. Menyikapi fakta ini, Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel melancarkan perang tahun 2006 dengan tujuan untuk melenyapkan Hizbullah Lebanon, tetapi perang 33 hari itu berakhir dengan kegagalan rezim Zionis dan Amerika Serikat dalam meraih tujuannya.
Kemudian, Intervensi kubu AS dan sekutunya dalam krisis Suriah pada tahun 2011 bertujuan untuk menggulingkan sistem politik Suriah yang mendukung Front Perlawanan. Selain Amerika Serikat dan rezim Zionis, beberapa negara Arab dan Turki juga terlibat dalam aksi menyulut krisis di Suriah. Tapi kehadiran kubu perlawanan dan dukungan Republik Islam Iran terhadap Suriah telah menyebabkan pemerintahan Bashar Assad berhasil mempertahankan lebih dari 90 persen teritorialnya setelah 10 tahun dihantam krisis.
Selain kemenangan militer, kelompok perlawanan, terutama Hizbullah Lebanon, juga meraih keberhasilan politik yang signifikan. Koalisi Front Perlawanan memenangkan mayoritas suara di parlemen dalam pemilu legislatif Mei 2018 dengan mengisi 68 kursi. Situasi ini terulang di Irak dan Yaman. Poros perlawanan di Irak dan Yaman memiliki keunggulan dalam dinamika politik dan militer di negaranya.
Menyikapi kondisi demikian, pihak penentang Front Perlawanan melancarkan serangan media bertubi-tubi untuk mencoreng citra baik Front Perlawanan di tengah masyarakat Asia Barat dan dunia, terutama di Lebanon. Perang media dilancarkan dengan tujuan memutarbalikkan fakta dan menyalahkan Front Perlawanan atas terjadinya berbagai masalah di negara kawasan seperti Lebanon, Irak, Suriah dan Yaman. Tujuan ini dikejar melalui penyebaran berita palsu dan mengkambing hitamkan Hizbullah di negara-negara ini, terutama di Lebanon.
Dalam pidatonya semalam, Sayid Hassan Nasrullah menyinggung fakta bahwa kebijakan penyerangan media telah dilancarkan secara masif terhadap Hizbullah, dan adanya aktor intelektual di tingkat negara dunia yang bekerja memproduksi berita palsu tersebut.
Tidak hanya serangan media yang dilancarkan poros Barat, Arab dan Ibrani terhadap Front Perlawanan, tetapi juga peran kedutaan besar negara-negara Arab dan Barat di negara-negara target, termasuk Lebanon.
Menurut Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon, kedutaan besar mereka menghabiskan jutaan dolar untuk menyebarkan berita palsu demi mencoreng wajah Hizbullah supaya bisa menggiring opini publik negara ini yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam empat atau lima dekade terakhir.
Dengan pendekatan ini, mereka berupaya mengaitkan banyak masalah ekonomi, korupsi, serta aksi teror dengan kelompok perlawanan di negara-negara seperti Lebanon dan Irak. Padahal, kekuasaan di negara-negara ini berada di tangan kaum liberal yang didukung Barat selama beberapa dekade, dan institusi ekonominya masih berada di tangan kendali mereka. Faktanya, isu yang diangkat Sayid Hassan Nasrullah pada malam Asyura sejalan dengan perang kognitif yang digunakan oleh pihak oposisi, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun poros perlawanan di kawasan tidak memiliki kekuatan media yang setara dengan kubu Barat dan pendukungnya, namun menurut Sekjen Hizbullah, perlawanan yang lahir dari gerakan Asyura Husseini akan terus berjuang melawan penindasan dan tirani. Faktanya, hal inilah yang menjadi faktor penting kegagalan musuh melawan Front Perlawanan dalam 38 tahun terakhir, sejak berdirinya Hizbullah pada tahun 1982.
Nasrullah: Muqawama tidak akan Pernah Akui Israel
Sekjen Gerakan Perlawanan Islam Lebanon (Hizbullah) menilai pesan Asyura adalah perlawanan terhadap kezaliman dan kehinaan serta mengatakan, Hizbullah tidak akan pernah melepaskan opsi muqawama dan permusuhan terhadap rezim Zionis Israel.
Sayid Hasan Nasrullah Ahad (30/8/2020) di pidatonya bertepatan dengan peringatan hari Asyura menyebut pertempuran di kawasan saat ini adalah perang antara kebenaran dan kebatilan. "Hizbullah dan muqawama Islam di hari kesepuluh bulan Muharram (Asyura) menekankan tekad kuatnya untuk mendukung dan menyertai setiap faksi dan kubu yang melawan Israel," tegas Sayid Hasan Nasrullah.
Sayid Hasan Nasrullah seraya menjelaskan bahwa pemerintah Amerika ingin menguasai dan merampok kekayaan negara-negara kawasan termasuk Yaman, Suriah dan Irak serta permusuhan tak kenal akhir dengan Iran, mengungkapkan, tidak ada solusi menghadapi agresi ini kecuali perlawanan dan resistensi.
Sekjen Hizbullah menyebut sikap Uni Emirat Arab (UEA) berkompromi dengan Israel sebuah kehinaan besar bagi negara ini dan pengkhianatan terhadap dunia Arab. "Zionis telah mencoreng citra Emirat dengan menyatakan bahwa mereka tidak bersedia berhenti menduduki Tepi Barat atau menjual jet tempur F-35 ke UEA.," papar Sayid Hasan Nasrullah.
Terkait kondisi Lebanon, Sayid Hasan Nasrullah menandaskan, dibutuhkan seorang perdana menteri yang mampu memulihkan ekonomi dan kehidupan rakyat serta merekonstruksi negara dan juga reformasi.
Sayid Hasan Nasrullah mengingatkan, Hizbullah terkait serangan terbaru Zionis yang menggugurkan sejumlah pejuang termasuk Ali Kamil Muhsin, akan melanjutkan metodenya yakni menstabilkan konstelasi dan keseimbangan dan Israel harus menyadari bahwa jika mereka menggugurkan satu pejuang Hizbullah, maka satu tentaranya akan terbunuh.
Reuters: Netanyahu Bersama Menantu Trump akan Kunjungi UEA
Reuters melaporkan rencana kunjungan Perdana Menteri Rezim Zionis Israel, Benjamin Netanyahu bersama para penasehatnya ke Uni Emirat Arab (UEA)
Reuters hari Minggu (30/8/2020) mengabarkan Jared Kouchner, menantu dan penasihat senior Presiden AS Donald Trump juga akan mendampingi Benjamin Netanyahu dalam kunjungannya ke UEA tersebut.
Netanyahu hari ini bertemu dengan Kouchner dan Penasihat Keamanan Nasional AS Robert O'Brien, dan mengatakan dirinya akan mengadakan pembicaraan rahasia dengan beberapa pemimpin Arab untuk menormalkan hubungan.
Pada 13 Agustus 2020, UEA dan Israel mengumumkan kesepakatan untuk memulai normalisasi hubungan diplomatik.
Perjanjian tersebut menyulut banyak kritik dari berbagai kalangan di Palestina dan dunia Islam.
Aoun: Saatnya Sistem Sektarian Dihapuskan dari Lebanon!
Presiden Lebanon mengatakan sudah waktunya untuk mengubah sistem sektarian di Lebanon, yang selama ini menjegal segala bentuk upaya konstruktif untuk melakukan reformasi.
Michel Aoun dalam pidato peringatan 100 tahun berdirinya "Lebanon Besar" Minggu malam mengatakan bahwa Lebanon saat ini berada dalam krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mencakup krisis politik, ekonomi, finansial hingga sosial.
Presiden Lebanon menilai sistem sektarian yang didasarkan pada hak-hak kesukuan dan kuota di antara mereka saat ini menjadi penghambat pembangunan Lebanon, reformasi dan pemberantasan korupsi, dan juga menjadi faktor pemecah dan perpecahan.
"Rakyat Lebanon menginginkan perubahan dalam struktur negara, dan tuntutan mereka harus dihormati. Kini, waktu untuk perubahan," kata Aoun.
"Orang-orang Lebanon berhak memiliki pemerintahan yang memiliki kompetensi, dan hukum yang menjamin hak-hak yang adil untuk semua orang, sehingga nasib negara bergantung pada suara warga, bukan para pemimpin suku," tegasnya.
Protes Netanyahu, Pejabat Senior Rezim Zionis Mengundurkan Diri
Seorang pejabat senior kabinet rezim Zionis Israel mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk protes terhadap lemahnya kabinet Netanyahu dalam penanganan krisis ekonomi yang disebabkan penyebaran virus Corona.
Shaul Meridor hari Minggu (30/8/2020) mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala departemen anggaran di Kementerian Keuangan rezim Zionis Israel.
Ia mengkritik pemerintah Netanyahu, dan mengatakan bahwa Israel akan membayar mahal di tahun-tahun mendatang karena krisis ekonomi.
Selama beberapa pekan terakhir terjadi gelombang unjuk rasa memprotes kebijakan Perdana Menteri Israel.
Para pengunjuk rasa telah menyerukan pengunduran diri perdana menteri Israel sesegera mungkin, dan mengkritik kinerja kabinetnya yang buruk dalam mengendalikan penyebaran Covid-19 serta kasus korupsi yang melilit Netanyahu dan istrinya.
Fatah: AS Kurangi Pasukan karena Takut Pasukan Rakyat Irak
Perwakilan aliansi Al Fatah di Parlemen Irak mengatakan, jumlah pasukan Amerika Serikat di Irak sudah dikurangi karena khawatir diserang, dan takut pada pasukan perlawanan rakyat negara ini.
Fars News (31/8/2020) melaporkan, Fadel Jaber kembali menegaskan bahwa pasukan teroris Amerika harus keluar dari Irak.
Dalam wawancara dengan situs berita Al Malooma, Fadel Jaber menuturkan, keputusan Presiden Amerika Donald Trump untuk mengurangi jumlah pasukannya di Irak, membawa tiga pesan penting. Pertama, pasukan Amerika karena khawatir diserang, dan takut pada pasukan perlawanan rakyat Irak, terpaksa meninggalkan negara ini.
Kedua, tujuan Trump adalah pemilu presiden Amerika, pasalnya pelaksanaan pilpres di negara itu sudah semakin dekat. Ketiga, adalah pesan paling berbahaya Amerika, yaitu upaya negara ini untuk mempertahankan sebagian pasukannya di Irak, dan tetap menjaga kondisi ini.
Fadel Jaber menjelaskan, parlemen Irak sudah memutuskan untuk mengusir pasukan Amerika dari Irak, dan sama sekali tidak akan mundur dari sikap ini, semua pasukan Amerika harus keluar dari Irak.
Juru bicara aliansi Al Fatah, Ahmad Al Assadi sehari sebelumnya mengatakan, sudah kami katakan kepada Perdana Menteri Irak, Mustafa Al Kadhimi bahwa kami menentang kehadiran pasukan seperti pasukan Amerika untuk tiga tahun lagi di Irak.
Gerakan Islam Palestina: Saudi-UEA Sulut Perang Terbuka atas Akidah Islam
Wakil Ketua Gerakan Islam Palestina di wilayah pendudukan tahun 1948 mengatakan, Putra Mahkota Arab Saudi, dan Putra Mahkota Uni Emirat Arab dengan langkahnya terhadap Masjid Al Aqsa, telah menyulut perang atas akidah umat Islam.
Fars News (31/8/2020) melaporkan, Kamal Al Khatibi memprotes keras normalisasi hubungan antara Uni Emirat Arab dan rezim Zionis Israel.
Kepada situs berita Arab-21, Al Khatib menuturkan, apa yang dilakukan oleh Putra Mahkota UEA Mohammed bin Zayed dengan dukungan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, adalah perang terbuka terhadap akidah Islam.
Ia menambahkan, hanya umat Islam yang berhak atas Masjid Al Aqsa, dan Bin Zayed berusaha mendapatkan dukungan Amerika dan Israel lewat Masjid Al Aqsa.
Menurut Kamal Al Khatib, Bin Zayed kepada Amerika dan Israel mengatakan, dukung kami, maka kami akan memberikan lebih dari apa yang kalian inginkan. Apa yang lebih diinginkan mereka selain Masjid Al Aqsa, ini sama saja memberikan hak shalat di dalam Masjid Al Aqsa kepada mereka menjadi hak untuk membangun sinagog di dalamnya.
“Ini adalah perbuatan paling buruk, paling hina, dan paling bodoh yang pernah dilakukan seorang Muslim dan Arab sepanjang sejarah,” pungkasnya.
Rouhani: Iran Siap Tingkatkan Hubungan dengan Malaysia
Presiden Republik Islam Iran mengucapkan selamat memperingati hari ulang tahun kemerdekaan nasional ke-63 kepada pemerintah dan rakyat Malaysia.
Hassan Rouhani dalam pesan yang disampaikan kepada Raja Malaysia, Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa hari Senin (31/8/2020) menyatakan kepuasannya atas posisi dan upaya pemerintah bersama rakyat Malaysia dalam menyikapi masalah krisis dunia Islam, termasuk Palestina, juga kedekatan pandangan kedua negara.
"Iran memandang dialog dan interaksi konstruktif antara negara-negara Muslim sebagai satu-satunya jalan keluar dari masalah yang dihadapi dunia Islam," tulis Rouhani dalam pesannya kepada Raja Malaysia.
Rouhani juga mengundang Raja Malaysia mengunjungi Iran untuk membahas masalah dunia Islam dan inisiatif Republik Islam untuk memperkuat perdamaian dan stabilitas dunia, serta mengembangkan hubungan bilateral.
Presiden Republik Islam Iran juga menyampaikan harapannya semoga hubungan kedua negara di semua bidang dari politik, ekonomi, hingga budaya akan semakin meningkat dari sebelumnya.
Malaysia memperingati hari kemerdekaannya setiap tanggal 31 Agustus, dan tahun ini memasuki 63 tahun.(
Rahbar: Keamanan Iran Berutang Budi pada Pertahanan Udara
Kepala Kantor Militer Panglima Tertinggi seluruh Angkatan Iran dalam kontak telepon dengan Komandan Angkatan Udara militer Iran, menyampaikan salam Panglima Tertinggi seluruh Angkatan Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei kepada Brigjen Alireza Sabahi Fard, personil pasukan AU Iran, jajaran komandan, pegawai dan keluarga mereka.
Fars News (31/8/2020) mengutip Humas Militer Iran melaporkan, Brigjen Mohammad Shirazi, kepala kantor militer Panglima Tertinggi seluruh Angkatan Iran dalam kontak telepon dengan Brigjen Alireza Sabahi Fard mengatakan, Panglima Tertinggi (Rahbar) meminta salam beliau disampaikan kepada para personil pertahanan udara Iran, dan mengatakan bahwa keamanan Iran berutang budi pada kesiapan dan kewaspadaan pertahanan udara. Rakyat Iran berterimakasih atas kerja keras tak kenal lelah Anda semua.
Brigjen Mohammad Shirazi dalam pembicaraan telepon itu juga meminta Komandan AU Iran untuk menyampaikan salam hangat Rahbar, dan terimakasih beliau kepada setiap personil, komandan dan keluarga pasukan AU Iran.