کمالوندی

کمالوندی

 

Imam Musa bin Ja'far a.s. yang dikenal dengan julukan Al-Kazhim, babul hawaa`ij (pintu terkabulnya hajat) dan hamba yang saleh dilahirkan di Abwa`, sebuah desa yang terletak di antara Makkah dan Madinah serta menurut salah satu riwayat beliau dilahirkan pada 20 Dzulhijjah 128 H. Ibunya bernama Hamidah.

Ia syahid pada tanggal 25 Rajab 183 H. di penjara Harun Ar-Rasyid pada usia 55 tahun dengan cara diracun. Kuburannya berada di kota Kazhimain, dekat kota Baghdad.

Para Imam Maksum dan Ahlul Bait Rasulullah Saw merupakan manusia mulia terbaik yang mengajarkan akhlak dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mereka meletakkan prinsip pendidikan dan pengajaran yang terbaik kepada masyarakat. Seluruh pelajaran yang mereka sampaikan berasal dari satu sumber yaitu Nabi Muhammad Saw yang diutus oleh Allah swt untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Peran Ahlul Bait dalam membimbing dan memberi petunjuk bagi umat manusia sepanjang sejarah diakui bukan hanya oleh kalangan Syiah, tapi juga Sunni. Berbagai literatur Sunni menunjukkan pengakuan terhadap ketinggian kedudukan Ahlul Bait Rasulullah Saw. Salah satu dari Ahlul Bait itu adalah Imam Musa Kazim.


Imam Musa Kazhim a.s. meneruskan metode ayahnya dalam berdakwah yang menekankan pentingnya sebuah perombakan pemikiran dan akidah masyarakat waktu itu dan memerangi aliran-aliran yang menyimpang dari rel Islam. Dengan argumentasi-argumentasi yang kokoh ia telah membuktikan kerapuhan pemikiran-pemikiran atheis dan menyadarkan orang-orang yang sedang menyeleweng akan kekeliruannya. Tidak lama berselang revolusi pemikiran yang dirintis oleh Imam Kazhim a.s. mengalami puncak kecemerlangannya dan mempengaruhi para ilmuwan yang hidup kala itu.

Realita ini sangat mengkhawatirkan para penguasa Abasiyah. Dengan ini mereka menggunakan tindak kekerasan dan penyiksaan dalam menangani para pengikutnya. Dikarenakan tindakan asusila mereka ini dan adanya kemungkinan bahaya yang mengancamnya, Imam Kazhim a.s. memerintahkan Hisyam, salah satu pengikut setianya untuk tutup mulut. Dan hingga Khalifah mati, ia meliburkan semua program diskusi dan pembahasan ilmiahnya.

Komitmen dan kegigihan Imam Musa Kazim dalam menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman menyebabkan beliau harus menjalani kehidupan yang sulit di era dinasti Abbasiah. Sejarah mengungkapkan bahwa Imam Musa Kazim mendekam di penjara selama 14 tahun. Penguasa lalim saat itu menghendaki Imam Musa menghentikan perlawanannya atas kezaliman. Bahkan Dinasti Abbasiah menjanjikan akan memberikan harta yang melimpah setiap bulannya kepada Imam Musa. Namun beliau menolak usulan tersebut dengan menyebutkan ayat 33 surat Yusuf, "Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku."

Meskipun berada dalam tekanan penguasa lalim, Imam Kazhim dengan berbagai cara melakukan penyadaran kepada umat Islam mengenai sistem politik dan sosial yang ideal berdasarkan ajaran Islam, sehingga masyarakat pun memahami nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial, termasuk dalam politik.

Di saat-saat sulit sekalipun, Imam Kazhim tetap konsisten membimbing umat Islam baik secara langsung maupun melalui para muridnya. Arahan dan bimbingan Imam Kazhim tentu saja sangat berpengaruh bagi masyarakat. Hisham bin Hakam adalah salah satu murid Imam Kazim. Ia banyak meninggalkan karya di berbagai ilmu. Imam kerap memberi nasehat kepada Hisham, salah satunya berkenaan dengan dunia dan akhirat. Beliau berkata, bukan dari kami orang yang rela menjual akhiratnya demi dunia atau sebaliknya.


Pada suatu hari, Imam Musa al-Kazhim as melintasi gang tempat kediaman Bishr bin Harits al-Hafi. Saat itu seorang pembantu wanita keluar dari rumah tersebut untuk membuang sampah dari sisa acara pesta.

Imam Kazhim kemudian bertanya kepada pembantu itu, "Apakah pemilik rumah ini orang bebas (merdeka) atau budak?" Dia menjawab, "Tentu saja dia orang bebas!" Imam lalu berkata, "Engkau benar, karena jika dia adalah seorang hamba, dia akan takut kepada Tuannya dan beramal sesuai tuntutan penghambaan."

Pembantu itu kembali ke rumah ketika Bishr sedang di meja anggur. Bishr bertanya mengapa ia tidak segera balik ke rumah setelah membuang sampah. Pembantu itu kemudian bercerita kepada Bishr tentang apa yang dikatakan Imam Kazhim as, "Bagaimana Bishr bisa menjadi hamba, sementara ia tidak patuh kepada Tuannya yaitu Allah (Maha Perkasa dan Maha Tinggi)."

Bishr terguncang dengan kata-kata itu. Dia bergegas keluar rumah untuk mengejar Imam Musa al-Kazhim sampai lupa memakai sandal. Dia berkata, "Wahai tuanku! Ulangilah padaku apa yang kau katakan kepada perempuan ini."

Imam Kazhim as kemudian mengulangi ucapannya. Seketika secercah cahaya bersinar dalam hati Bishr dan ia menyesali perilakunya. Dia mencium tangan Imam dan mengusapkan tanah pada pipinya. Diiringi isak tangis ia berkata, “Iya, aku adalah hamba... iya aku adalah hamba.”

Sejak saat itu, Bishr tidak memakai sandal lagi selama sisa hidupnya karena dia ingin mengingat keadaan yang ia alami ketika memutuskan untuk bertaubat. Dia kemudian dikenal sebagai al-Hafi yang berarti Bertelanjang Kaki.

Bishr bin Harits al-Hafi adalah salah satu contoh dari sosok yang memperoleh cahaya hidayah di tangan Imam Musa as dan mengubah jalan hidupnya ke arah yang diridhai Allah Swt.

Selama masa imamahnya, Imam Kazhim giat menjelaskan kepada masyarakat sistem ideal politik dan sosial. Dengan bersandar pada riwayat dan berbagai hadis, beliau berusaha keras menghidupkan tuntutan dan sirah Rasulullah Saw dan para kakeknya yang suci. Imam Kazhim juga memperkuat sistem yang dibentuk ayahnya, Imam Shadiq as.

Imam Musa Kazhim as melanjutkan program-program ayahnya Imam Jakfar Sadiq as. Guna mencegah penyusupan ateisme serta untuk menjaga tuntutan pemikiran dan ideologi masyarakat, beliau memusatkan upaya-upaya beliau di sektor budaya. Beliau menyampaikan hukum dan maarif Islam di berbagai bidang melalui para sahabat dan murid pilihan.

Imam Kazhim sebagaimana ayahnya, layaknya lautan ilmu pengetahuan dan keutamaan. Beliau berhasil mendidik banyak murid dan mengantarkan mereka hingga ke derajat guru, ahli fikih dan tafsir Al Quran serta bidang ilmu lainnya.

Salah satu ilmuwan besar Ahlu Sunnah, Ibn Hajar Haithami menggambarkan keluhuran ilmu Imam Kazhim seperti ini, Musa Kazhim adalah pewaris ilmu ayahnya.

Ia mewarisi keutamaan dan kesempurnaan ayahnya. Ia sangat pemaaf dan begitu sabar menghadapi masyarakat yang bodoh. Ia dijuluki Kazhim dan di masa itu tidak ada seorangpun yang mampu menandinginya dalam pengetahuan Ilahi dan kesabaran.


Imam Kazhim memberikan sebuah formula komprehensif dan efektif dalam manajemen hidup, beliau berkata, upayakanlah untuk membagi waktu kalian ke dalam empat bagian. Satu bagian khusus untuk bermunajat dengan Allah Swt. Bagian lain untuk mencari nafkah dan rezeki yang halal.

Bagian berikutnya untuk berinteraksi dengan saudara dan orang-orang terpercaya yang mengingatkan kalian akan aib dan tulus bersahabat. Bagian terakhir untuk menikmati hal-hal menyenangkan yang halal, karena berkat bantuan bagian ini, kalian akan mampu melewati ketiga bagian sebelumnya.

Imam Kazhim berkata, penuhilah keinginanmu dengan sesuatu yang halal dari dunia, namun jangan sampai merusak derajatmu dan jangan berlebihan. Menikmati yang halal bisa membantumu menyelesaikan urusan dunia.

Muhammad bin Saai Shafii berkata, Imam Kazhim memiliki kedudukan yang tinggi dan derajat yang luhur. Beliau dikenal sangat tekun beribadah dan memiliki kemuliaan agung. Ia menghabiskan malam dengan bersujud dan shalat, sementara siang dengan sedekah dan puasa.


Karena kesabaran dan kebijaksanaannya, ia dijuluki Kazhim. Beliau selalu berbuat baik kepada orang-orang yang menghinanya dan memaafkan yang bersalah. Ia juga dijuluki Abdu Shaleh karena sangat tekun beribadah. Di Irak ia dikenal dengan Bab Al Hawaaij, karena setiap fakir miskin yang mendatangi rumah beliau, selalu pulang tanpa tangan hampa.

Senin, 31 Agustus 2020 13:23

Dialog Damai Islam dengan Ahlul Kitab

 

Hari Mubahalah jatuh pada tanggal 24 bulan Dzulhijjah dan pada hari itu, Rasulullah Saw menawarkan mubahalah kepada Nasrani Najran yang menolak kebenaran dan mereka pun menerima tantangan ini.

Mubahalah adalah saling melaknat atau saling mendoakan agar laknat Allah Swt ditimpakan kepada kaum zalim dan mereka yang berdusta tentang kebenaran.

Rasulullah Saw datang ke lokasi mubahalah bersama keluarga terdekatnya yaitu Fatimah az-Zahra dan Imam Ali as serta kedua cucunya, Imam Hasan dan Imam Husein as. Dengan menyaksikan wajah-wajah suci ini, Nasrani Najran membatalkan mubahalah dan menyadari bahwa kebenaran berada di pihak Rasulullah.

Pada tahun kesepuluh Bitsat, Nabi Muhammad Saw menulis surat kepada Uskup Najran untuk menyeru kaum Nasrani kepada Islam. Mereka diberi pilihan yaitu memeluk Islam atau membayar jizyah (pajak) dengan tetap tinggal di negara Islam.

Uskup Agung Nasrani, Abu Haritsah membentuk sebuah dewan untuk membicarakan masalah tersebut dan pada akhirnya mereka memutuskan mengirimkan sebuah delegasi ke Madinah untuk berdialog dengan Rasulullah. Delegasi ini berjumlah 10 tokoh Nasrani dan ditugaskan untuk berdialog dengan Nabi Muhammad Saw di Madinah dan menyelidiki argumen-argumen kenabian akhir zaman.


Rasulullah Saw membuka dialog di Madinah dengan membacakan ayat al-Quran untuk memperkenalkan Islam dan mengajak mereka kepada agama Ilahi. Uskup Agung berkata, “Jika maksud engkau dari memeluk Islam adalah beriman kepada Tuhan, kami sudah beriman kepada Tuhan dan menjalankan hukum-hukumnya.”

Rasulullah menjawab, “Menerima Islam ada tanda-tandanya dan apa yang kalian yakini dan lakukan, tidak sesuai dengan tanda-tanda ini. Kalian meyakini Tuhan memiliki anak dan menganggap Isa al-Masih as sebagai anak Tuhan, padahal keyakinan ini bertentangan dengan penyembahan Tuhan Yang Maha Esa.”

Namun, delegasi Nasrani tetap mempertahankan konsep Trinitas dan menyebut Isa al-Masih sebagai anak Tuhan. Menurut mereka, Isa adalah anak Tuhan karena ia lahir tanpa perantaraan seorang ayah. Menurut ulama Nasrani, jika Isa adalah hamba dan makhluk Tuhan, lalu siapa ayahnya? Manusia adalah makhluk dan ia wajib punya ayah.

Pada saat itu, turunlah Malaikat Jibril as untuk menyampaikan ayat 59 surat Ali Imran kepada Rasul. “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, Jadilah (seorang manusia), maka jadilah dia."

Rasul Saw berkata kepada mereka, “Jika ketiadaan ayah merupakan bukti atas Uluhiyah (ketuhanan) Isa, maka Nabi Adam – yang tidak punya ayah dan ibu – lebih layak atas posisi Uluhiyah. Sungguh tidak demikian, keduanya adalah hamba dan makhluk Tuhan.”

Pada kesempatan itu, Allah Swt mengingatkan Rasulullah bahwa kaum Nasrani sengaja mencari-cari alasan agar bisa menolak kebenaran. Oleh karena itu, Dia memerintahkan Rasul untuk melakukan mubahalah dengan kaum Nasrani yang mengikutsertakan keluarga dan orang-orang terdekat dari kedua kelompok.

"… Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (QS. Ali Imran, ayat 61)

Setelah turun ayat ini, dua pendeta besar Nasrani berkata, “Jika Muhammad bersama kebenaran, ia akan datang dengan keluarga terdekatnya (Ahlul Bait). Jika ia datang bersama anak-anak dan orang terdekatnya, jangan lakukan mubahalah, karena jelas bahwa dia adalah Rasul dan orang yang jujur dan punya iman yang kuat sehingga membawa orang-orang terdekatnya. Tetapi jika ia datang bersama para komandan dan pasukannya, jelas ia adalah pendusta.”  

Satu hari kemudian, para pembesar Nasrani menyaksikan bahwa Rasulullah hanya ditemani oleh empat orang untuk bermubahalah. Rasul memegang tangan Sayidina Hasan sambil memangku Husein dan berjalan ke luar kota bersama Ali dan Fatimah as.


Ketika menyaksikan pemandangan itu, Uskup Agung Nasrani, Abu Haritsah bertanya kepada kaumnya, “Siapa mereka yang bersama Nabi Saw?” Kaumnya menjawab, "Yang di depan itu anak paman dan suami putrinya serta orang yang paling dicintai olehnya. Dua anak itu adalah putra-putranya dari putrinya dan wanita itu adalah Fatimah, putrinya yang paling dicintai."

Kaum Nasrani mulai menyadari bahwa Islam berada pada kebenaran dan mereka membatalkan mubahalah. Dalam ayat mubahalah, Imam Hasan dan Imam Husein disebut sebagai Abna’ana (anak-anak kami), kata Nisa’ana mengacu pada Sayidah Fatimah az-Zahra as, dan kata Anfusana merujuk pada Imam Ali as.

Sekelompok mufassir Ahlu Sunnah seperti, Zamakhsyari, Fakhrul Razi, dan Ibnu Atsir juga berbicara tentang peristiwa mubahalah dalam bukunya. Menurut catatan Zamakhsyari, Uskup Agung Najran, Abu Haritsah berkata, "Aku menyaksikan wajah-wajah yang jika mereka memohon kepada Tuhan untuk mengangkat sebuah gunung dari tempatnya, gunung tersebut akan terangkat. Jadi jangan bermubahalah. Jika kalian lakukan itu, kalian akan binasa dan tidak ada seorang Nasrani pun yang tersisa di bumi ini."

Zamakhsyari menyebut ayat mubahalah sebagai bukti terkuat atas keutamaan Ahlul Bait Nabi as dan saksi hidup atas kebenaran ajaran Islam.

Seorang mufassir besar Syiah, Allamah Sayid Muhammad Husein Tabatabaei mengatakan, “Mubahalah adalah salah satu mukjizat Islam yang tersisa. Setiap orang yang beriman, dapat melakukan mubahalah – dengan mengikuti Rasulullah Saw – dengan penentangnya untuk membuktikan kebenaran Islam dan memohon kepada Allah agar diturunkan siksa kepada pihak penentang (kebenaran).”

Kaum Yahudi dan Nasrani – yang disebut sebagai Ahlul Kitab oleh al-Quran – mengetahui tentang kebenaran Rasulullah Saw dan Ahlul Bait. Mereka menemukan nama Muhammad dalam kitab Taurat dan Injil serta mempelajari tentang Nabi akhir zaman dan kedatangan juru selamat. Namun, sebagian mereka menolak memeluk Islam setelah kedatangan Rasulullah.

Allah Swt menyinggung pembangkangan ini pada ayat 146 surat al-Baqarah dan menyebut mereka sebagai orang-orang yang menyembunyikan kebenaran. Allah berfirman, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.”


Sejumlah ayat dalam al-Quran menyinggung tentang kabar gembira yang diberikan oleh Taurat dan Injil mengenai kedatangan Rasulullah, di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani juga menantikan kedatangan ini, mereka bahkan mengenal sosok Muhammad seperti mengenal anak-anaknya sendiri.

Di ayat lain disebutkan bahwa Ahlul Kitab selain mengenal Rasulullah Saw, juga mengetahui tentang masyarakat yang akan dibentuk oleh Nabi akhir zaman di mana orang-orang yang bersamanya saling mengasihi.

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil…” (QS. Al-Fath, ayat 29)

Peristiwa mubahalah menunjukkan perilaku mulia dan rasional yang dibarengi dengan kelembutan dan kepalangan dada Rasulullah Saw dengan Ahlul Kitab. Rasulul tetap menawarkan dialog meskipun ia berada di puncak kekuatan politik dan militer pada waktu itu.

Rasul Saw memperlakukan orang-orang yang menentangnya dengan lembut dan terus berusaha membimbing mereka. Beliau membuktikan kebenaran Islam dengan argumentasi logis dan menyeru mereka pada kebenaran. 

Senin, 31 Agustus 2020 13:21

Rahasia Keabadian Asyura (7)

 

Rahasia lain dari keabadian Asyura adalah prinsip amar makruf nahi munkar (bahasa Arab: الأمر بالمعروف والنهی عن المنکر‎, al-amr bi-l-maʿrūf wa-n-nahy ʿani-l-munkar).

Di bagian sebelumnya kita telah membahas bersama sisi reformasi di kebangkitan Husseini. Kami ingatkan kembali bahwa memerangi kerusakan dan korupsi merupakan prasyarat bagi reformasi serta keniscayaannya adalah tidak patuh terhadap orang fasid. Selain itu, langkah terpenting untuk mereformasi setiap pemerintahan dan masyarakat adalah memperbaiki wawasan dan pandangan mereka.

Namun terlepas dari sisi teori, keharusan sebuah reformasi adalah menghidupkan nilai-nilai dan melawan gerakan anti nilai-nilai tersebut yang disebut amar makruf dan nahi munkar dalam budaya Islam di mana seluruh umat Muslim harus memiliki rasa tanggung jawab di masalah ini.

Imam Hussein as saat menjelaskan filosofi kebangkitannya mengatakan, Saya ingin menegakkan nilai-nilai dan mencegah arus anti nilai ini. Kemudian Imam menjelaskan urgensitas masalah ini dan berkata, Dalam hal ini Aku akan mengikuti sirah Kakekku Muhammad Saw dan ayahku Ali bin Abi Thalib as.

Untuk lebih memperjelas kesesuaian antara kebangkitan Imam Hussein as dengan sirah Rasulullah Saw, kami ajak anda untuk memperhatikan sabda Rasul, Ummatku akan selalu hidup dalam kebaikan, jika mereka saling menasehati untuk berbuat baik dan melarang berbuat buruk serta saling bekerja sama berdasarkan prinsip nilai-nilai agama dan kemanusiaan dan jika mereka tidak melakukan hal ini maka berkah besar Ilahi akan dicabut dari mereka dan mereka akan dikuasai oleh kelompok lain. Jika demikian maka mereka tidak akan memiliki penolong baik di bumi maupun langit.

Tak diragukan lagi jika umat Islam tidak mengindahkan petunjuk dan pencerahan Rasul ini, dan sejak meninggalnya Rasul mereka menentang penyelenggara Saqifah, serta mulut-mulut mereka mulai memprotes dan meletakkan Ali as di posisi Imam dan pemimpin Ilahi, maka sesuai dengan sabda Nabi, umat Islam akan hidup dalam kedamaian dan kemakmuran serta tidak akan terbuka bagi kelompok lain menguasai komunitas Islam. Dan yang lebih penting berkah Ilahi tidak akan terputus terhadap umat Islam.

Faktor kelalaian dan ketidakpedulian muslim di awal Islam dapat dicermati di sabda Rasul berikut ini, Sungguh, Tuhan sangat marah kepada manusia beriman yang tidak beragama. Para sahabat takjub dan bertanya, Wahai Rasul! Siapa orang beriman yang tidak beragama? Nabi menjawab: orang yang tidak melakukan amar makruf dan mencegah penyimpangan (nahi mungkar).

Bagaimana mungkin manusia yang beriman dan mengklaim beragama, namun pasif terhadap dekadensi sosial, politik, budaya, dan ekonomi serta mereka memilih bungkam.

Ali as berkata, orang yang tidak menolak kesesatan dan kerusakan melalui tangan, mulut dan hatinya serta tidak menunjukkan respon apapun, ia seperti mayat berjalan di tengah orang yang hidup.

Sementara itu, Rasulullah Saw bersabda, Ada dua kelompok di umatku jika mereka baik maka umatku juga akan baik. Dan jika mereka fasid dan rusak maka umatku juga akan rusak. Rasul ditanya siapa dua kelompok tersebut. Rasul menjawab, ulama dan pemimpin.

Sabda nabi ini dengan jelas mengungkapkan peran lebih besar para pemimpin agama dalam mengelola masyarakat dari pada penguasa. Karena para pemimpin agama (ulama) melalui pencerahan dan bimbingannya dapat mencegah berkuasanya penguasa zalim dan anti agama.

Terkait hal ini, al-Quran juga mengisyaratkan pemimpin agama sejumlah kaum yang membantu terbukanya sejumlah penyimpangan dan kesesatan di tengah masyarakat karena kebungkamannya. Al-quran mencela orang alim dan pemimpin agama seperti ini dan menyatakan, “Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (Al Maidah : 63)

Imam Hussein as seraya meneladani wahyu Ilahi saat berada di Mina dan dua tahun sebelum kematian Muawiyah serta di tengah-tengah 200 sahabat Rasul dan 500 tabiin menyampaikan khutbah yang panjang.

Saat itu, Imam Hussein mengkritik keras pada sahabat dan tabiin serta bersandar pada ayat yang telah kami nukil, beliau berkata, Mengapa kalian tidak mengambil pelajaran dari firman Tuhan? Mengapa kalian bungkam dan tidak protes seperti ulama Yahudi dan Kristen dihadapan penyimpangan dan bid’ah yang terjadi dan bertentangan dengan sirah serta metode Rasulullah karena takut atas nyawa kalian?

Kemudian Imam Hussein melanjutkan, Kalian mengenal halal dan haram, kalian mendapat posisi tinggi dan dihormati di tengah masyarakat berkat kemurahan Allah Swt, lantas mengapa kalian diam dan tidak melawan penguasa zalim (Bani Umawiyah)? Apakah kalian mengira akan duduk bersama Rasul di surga dengan sikap dan kinerja buruk kalian ini? Betapa angan-angan palsu...

Tak diragukan lagi tanggung jawab amar makruf yakni menyuruh ke perbuatan baik dan nilai-nilai serta nahi munkar berada di pundak seluruh anggota masyarakat. Yakni mereka dengan mengikuti teladan pemimpin dan ulama berkomitmen dan sadar serta bangkit melawan penguasa yang tidak layak serta menyuarakan protes dan jika mereka memilih bungkam serta tidak peduli, maka mereka nantinya akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Mereka akan seperti ulama yang memilih kompromi, layak untuk dicela.

Sama seperti firman Tuhan terkait Bani Israel, Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (al-Maidah: 78-79)

Akhirnya solusi untuk setiap pemerintah khususnya komunitas Islam untuk bebas dari penyimpangan dan kesesatan ideologi dan praktis adalah menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dan Islami serta melawan kerusakan moral, sosial, politik, budaya dan ekonomi.


Allah Swt di Surah at-Taubah ayat 71 berfirman yang artinya, Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Oleh karena itu, Imam Hussein as berkata ketika amar makruf dan nahi munkar dijalankan, semua hal yang diperintahkan Tuhan untuk dilakukan akan terpenuhi. Karena amar makruf dan nahi munkar adalah seruan untuk menghidupkan Islam di seluruh dimensi dan peluang untuk menghancurkan segala bentuk kezaliman, melawan orang zalim, rampasan perang serta pendapatan umum dibagi secara adil, zakat dan sedekah dikumpulkan serta dialokasikan untuk keperluan yang tepat.

Ketika utusan Imam Hussein, yakni Muslim bin Aqil dihadapkan pada pengkhianatan warga Kufah dan dijatuh ke dalam cengkeraman Ibnu Ziyad, serta Ubaidillah berusaha mencitrakan kebangkitan Hussein sebagai kerusakan dan merugikan kepentingan umat Islam, Muslim dengan keberaniannya menjelaskan esensi kebangkitan Imam Hussein. Ia berkata, justru kalian yang menampilkan perbuatan buruk dan tak terpuji serta menghancurkan perbuatan baik dan memaksakan hegemoni kalian terhadap warga (melalui ancaman dan kerakusan) serta membentuk pemerintahan kalian berbeda dengan perintah dan hukum Tuhan dan merebut kekuasaan. Karena kalian berperilaku layaknya kaisar terhadap rakyat, maka kami datang mengajak rakyat untuk menegakkan nilai dan kebaikan di tengah mereka dan mencegah kemungkaran. Kami menyeru mereka menjalankan ajaran Tuhan dan sunnah Rasul seperti yang disabdakan Nabi: Kamilah yang pantas melakukan hal ini.

Kesimpulannya adalah membela hal baik dan melawan kemunkaran yang selaras dengan fitrah suci dan tauhid seluruh manusia adalah salah satu rahasia keabadian spirit Husseini yang dapat menjadi inspirasi umat manusia dan pecinta keutamaan dan kehormatan manusia.

Senin, 31 Agustus 2020 13:21

Rahasia Keabadian Asyura (6)

 

Salah satu tujuan mulia dan transformatif para Nabi adalah melawan rezim lalim yang menindas masyarakat. Para Nabi juga meletakkan dasar bagi perubahan sosial menuju perbaikan di tengah masyarakat.

Para Nabi mengusung perjuangan tauhid bangkit melawan para penguasa korup dan lalim. Mereka juga datang untuk melakukan reformasi dan perbaikan di muka bumi ini. Alquran menjelaskan perjuangan para Nabi melakukan reformasi melawan para penguasa lalim sebagaimana dalam  surat ash-Shuara ayat 151-152 yang berbunyi, "Dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan".

Imam Hussain bin Ali mengambil jalan perjuangan Nabawi melawan rezim lalim Yazid. Beliau dalam salah satu perkataannya menunjukkan tujuan perlawanan dengan mengatakan, "ُSesungguhnya, perjuangan yang aku lakukan bukan untuk meraih kekuasaan, tamak atau menyulut kerusuhan maupun penindasan, tetapi tujuanku untuk memperbaiki urusan kakekku (Nabi Muhammad Saw)".

Dengan pernyataan ini, Imam Hussein menyangkal kampanye hitam dan perang psikologis Bani Umayyah yang mencoba menunjukkan perjuangannya demi meraih kekuasaan, sekaligus mengungkap sifat ambisius dan haus kekuasaan dari Yazid bin Muawiyah.

Kemudian, Imam Hussein memperkenalkan motivasi utamanya memerangi yazid untuk memberantas kezaliman, korupsi dan kerusakan yang merajalela di tengah masyarakat. Lebih jauh, ia berupaya menciptakan reformasi di kalangan umat Islam dan mengembalikan tatanan sosial yang telah melenceng menuju jalan kenabian yang agung.

Nabi Muhammad Saw yang menjadi acuan dari perjuangan Imam Hussein bersabda, "Manusia terbaik adalah yang orang yang melakukan perbaikan untuk urusan masyarakatnya."

Pertanyaan penting yang muncul di benak kita dalam hal ini adalah di mana dan bagaimana memulai reformasi dalam sistem dan masyarakat yang korup? Untuk menjawab pertanyaan mendasar ini, tampaknya harus merujuk pada perjuangan Imam Husein yang menjadikan Al-Quran dan Sunnah rasulullah Saw sebagai pijakannya. 

Pada tahap pertama, reformasi harus dilakukan dengan mengubah cara pandang dan cakrawala berpikir, sebagaimana yang dilakukan semua Nabi ilahi. Dalam hal ini, Al-Quran surat An-Nahl ayat 36 menjelaskan,"Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di ant orang yang telah pasti kesesatan kasihan. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan menunggulah bagaimana cara kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)."

Pemikiran reformis yang berpijak dari pandangan tauhid adalah penyangkalan terhadap kekuatan berhala atau dalam bahasa al-Quran disebut "Taghut", yang muncul dalam berbagai bentuk, terutama pemerintaha lalim dan despotik sebagaimana ditampakkan Yazid yang diperangi Imam Hussein. 

Hussein Ibn Ali dengan sikap tauhid yang begitu dalam telah menunjukkan siapa yang layak memerintah dan memimpin umat Islam dengan mengatakan, "Pemimpin hanya berhak dipegang oleh orang yang layak, berpegang tegung pada kitab suci dan menegakkan keadilan serta membela kebenaran, serta keberadaannya didedikasikan di jalan ilahi,".

Sementara itu, para pemimpin dan penguasa dinasti Umayyah bertentangan dengan jalan yang diambil semua Nabi. Mereka bukan hanya tidak berusaha menegakkan dan mengibarkan panji keadilan, tetapi juga melanggar semua batas agama dan kemanusiaaan, dengan melakukan berbagai kejahatan. Dalam hal ini, Imam Hussein berkata, "Lihatlah bagaimana mereka tidak menegakkan kebenaran, dan tidak melarang kebatilan. Di zaman seperti ini, orang yang beriman dan berkomitmen terhadap jalan kebenaran harus mempersiapkan dirinya untuk berjuang di jalan ilahi dan bertemu dengan Tuhannya." 

Pencerahan ini diilhami oleh al-Quran, yang menggambarkan karakteristik pemimpin dan pemimpin yang layak sebagaiman dijelaskan dalam surat Al-anbiya ayat 73, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah,".

Penguasa lalim Bani Umayyah, terutama Yazid bin Mu'awiyah, bukan hanya tidak memiliki salah satu sifat mulia yang dimiliki Imam Hussein, bahkan bertentangan dengannya. Mereka menjadikan yang haram sebagai halal, dan juga sebaliknya, mereka melanggar aturan ilahi dan puncaknya menciptakan tragedi besar sepanjang sejarah seperti Asyura demi menghancurkan nilai-nilai Islam.

Imam Hussein bangkit untuk melakukan reformasi di bidang agama, moral, sosial, budaya dan politik umat Islam. beliau berkata: "Tuhanku, engkau tahu kami tidak mengumpulkan kekayaan, tetapi tujuan kami demi memulihkan kondisi saat ini dan menegakkan nilai-nilai agama-Mu, dan membela orang-orang yang tertindas,".

Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan Imam Hussein adalah membebaskan umat Islam dari dominasi anti-agama dan ambisi politik rezim lalim demi membela orang-orang yang tertindas dan menegakkan keadilan.

Sayangnya, ribuan orang yang menulis surat kepada Imam Hussein dengan tujuan yang sama, akhirnya berbalik arah karena takut menghadapi ancaman dan godaan. Mereka  melupakan semua tanggung jawab agama, moral dan kemanusiaannya. Sikap mereka ini dikecam al-Quran sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Araf ayat 179 yang berbunyi, "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai,".

Langkah Imam Hussein dalam gerakan reformasinya adalah mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana dibawa Nabi Muhammad Saw, yang telah mengalami penyimpangan di masa dinasti Umayah. Ajaran Islam mengalami penyimpangan yang dimulai setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw karena adanya pemisahan antara Al-Quran dengan Ahlul Baitnya, dan puncak penyimpangan ini terjadi pada masa pemerintahan Yazid.

Senin, 31 Agustus 2020 13:20

Rahasia Keabadian Asyura (5)

 

Salah satu ciri paling mendasar dari para Nabi Allah adalah penentangan dan perlawanannya terhadap penindasan dan berupaya menegakkan keadilan. Oleh karena itu, para Nabi mengemban misi membangun sistem yang adil di muka bumi.

Berdasarkan al-Quran dan sejarah, Nabi Ibrahim adalah pengibar panji tauhid, Nabi Musa berhadapan dengan pemerintahan lalim Firaun, Nabi Isa menghadapi penguasa haus darah di Roma, dan para Nabi lainnya bertempur melawan para penguasa tiran yang despotik. Tujuan dari semua Nabi adalah untuk membebaskan bangsa-bangsa yang tertindas dari perbudakan untuk menghidupkan kembali spirit pembebasan dan kemerdekaan serta keadilan.

Imam Ali bin Abi Thalib yang dibesarkan dalam naungan Nabi Muhammad Saw menjelaskan tentang peran tauhid yang mencerahkan dan membebaskan, dengan mengatakan, "Sesungguhnya Allah swt mengutus Muhammad Saw untuk membebaskan manusia dari perbudakan dan penghambaan (kekuasaan dan kekayaan) menuju penyembahan dan pengabdian kepada Tuhan. Mengeluarkan manusia dari perjanjian (kehinaan dan perbudakan) menuju perjanjian (kehormatan ilahi) dan membebaskan dari ketaatan buta dan tunduk tanpa kesadaran menjadi penerimaan terhadap keesaan Tuhan dan membebaskannya dari ketergantungan terhadap selain-Nya. "

Ketauhidan yang diusung para Nabi dan aulia Allah secara subtansial mengajak manusia menuju pembebasan dari segala bentuk belenggu keterikatan kepada selain Allah swt, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat Al-Araf ayat 157 sebagai berikut, "....menghilangkan dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada padanya. Maka orang-orang yang beriman kepadanya memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung,". 

Melanjutkan perjuangan ilahi, Imam Hussein Ibn Ali yang terinspirasi dari ajaran Islam bangkit melawan penindasan yang dilakukan Bani Umayyah. Ketika melihat Yazid sedang berusaha untuk mengambil baiat darinya dengan ancaman, Imam Husein tidak tinggal diam menyaksikan meningkatnya penindasan yang dilakukan dinasti Abu Sufyan yang merusak nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, Hussein bin Ali menggunakan semua kesempatan untuk mengungkapkan kebenaran kepada masyarakat, meskipun harus ditebus dengan darahnya sendiri.

Ketika melihat pasukan Hurr di depannya, Imam Husein berbicara kepada mereka dengan mengatakan, "Wahai manusia, Nabi Muhamamad Saw pernah mengungkapkan barang siapa yang melihat penguasa lalim mengharamkan yang dihalakan oleh Allah swt, melanggar aturan-Nya dan bertindak bertentangan dengan jalan Rasullah Saw, serta melakukan dosa dan penindasan terhadap orang lain, tetapi kalian tetap diam dan tidak perduli, maupun tidak bertindak atau berbicara menentangnya; maka Tuhan akan menempatkan kalian sama dengan posisi penguasa tiran (di neraka),".

Hussein bin Ali melanjutkan kata-katanya yang mencerahkan dengan menunjukkan beberapa penyimpangan yang dilakukan Bani Umayah. Beliau berkata, "Sadarlah, lihatlah mereka yang mengikuti jalan setan dan menjadikan ketaatan terhadap dirinya sebagai kewajiban bagi orang lain, menolak untuk menaati aturan ilahi, menampakkan kerusakan di depan publik, aturan Allah ditiadakan dan menjadikan harta pampasan perang dan kekayaan umum menjadi milik pribadi, mengharamkan yang sudah dihalalkan Allah, maupun sebaliknya. dengan semua sifat ini, apakah aku tidak layak untuk menggantikan mereka memimpin umat ?" 

Meskipun Imam Husein sudah menyampaikan pencerahan mengenai kondisi yang ada saat itu, tapi ribuan orang yang jemu dengan tirani Bani Umayah dan dua belas ribu orang yang mengirim surat kepada Imam Hussein supaya bangkit melawan Yazid, pada akhirnya hanya sedikit yang benar-benar bersama Imam Hussein melawan pemerintahan lalim.

Sebagian besar orang yang mengirim surat kepada Imam Husein tersebut mengingkari janjinya dan takut terhadap Yazid maupun ancaman Ubaidillah dengan melepaskan tanggung jawabnya dan meninggalkan Imam Hussein bersama sejumlah kecil pasukannya di padang Karbala. 

Imam Hussein menjelaskan penyebab bencana ini dalam salah satu perkataannya, "Orang yang menjadi budak dunia (dan terpesona oleh kemegahannya) dan agama sebagai bahasa mereka (mereka berpura-pura menjadi religius) yang beragama selama menguntungkan kepentingannya dan memenuhi mata pencahariannya. Ketika menghadapi bencana, maka orang-orang yang beriman akan berkurang".

Faktanya, agama menjadi ancaman utama para pemuja dunia karena dianggap mengancam keberlangsungan penindasan yang mereka. Mereka yang mendukung penguasa otoriter dengan sikap diam, ketidakpedulian, dan kurangnya dukungan terhadap pemimpin sejati dan merakyat, sama saja dengan ikut serta dalam semua penindasan dan kejahatan yang dilakukan oleh para penindas, karena merekalah yang memperkuat dan melanggengkan fondasi para penguasanya yang brutal dan kejam. Imam Sadiq berkata, "Jika Bani Umayyah tidak dibantu oleh masyarakat sendiri ...,maka mereka tidak akan pernah bisa merebut hak kepemimpinan ilahiah kami,".

Oleh karena itu, jika orang-orang Kufah, yang menulis dua belas ribu surat kepada Imam Hussein, tidak mengkhianati beliau, apakah tragedi Asyura akan terjadi?

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa para penindas dan yang tertindas sama-sama masuk ke dalam api neraka yang membakarnya. Penindas masuk neraka karena dia melakukan penindasan dan kejahatan. Sedangkan yang tertindas karena dia datang untuk mendukung penindas dan membantunya. Faktanya, akar dari semua penyimpangan, pelanggaran perjanjian, pengkhianatan dan kejahatan adalah kurangnya ketaatan terhadap dua prinsip dasar yaitu tauhid dan hari akhirat.

Berkaitan dengan masalah ini, Imam  Ali mengatakan, "Demi Tuhan, lebih baik aku berada di atas ranting-ranting dari pagi hingga malam hari dan lumpur yang kotor di dunia ini daripada di hari kiamat kelak harus mempertanggungjawabkan penindasan kepada hamba Allah selama di dunia. Bagaimana aku bisa melakukan kelaliman padahal tubuh ini akan hancur di telan tanah?" 

Imam Hussein yang dibesarkan dalam bimbingan Nabawi bangkit melawan Bani Umayyah dengan mengatakan, "Tidakkah kamu melihat bahwa bagimana kebenaran tidak ditegakkan, dan yang salah tidak dilarang? Apakah engkau mengingkari pertemuan dengan Tuhanmu,".

Beliau menegaskan, "Sungguh, aku tidak melihat kematian (kesyahidan di jalan Tuhan) kecuali kebahagiaan, dan  kehidupan di bawah bayang-bayang penindas  sebagai kesengsaraaan.

Senin, 31 Agustus 2020 13:19

Rahasia Keabadian Asyura (4)

 

Salah satu rahasia keabadian Asyura adalah sisi cinta kebebasan Imam Hussein as dan para sahabatnya yang ditampilkan secara heroik di peristiwa Padang Karbala.

Di budaya kesempurnaan Islam Muhamadi, salah satu sisi unggul eksistensi setiap manusia adalah mencapai puncak kebebasan. Karena dengan mencapai kebebasan, manusia mampu hidup dengan ringan dan bebas, bergerak serta bersemangat. Mereka bebas terbang di atmosfer spiritual dan kemanusian, serta di kehidupannya yang bergelimang harta materi akan bangkit dan membaskan dirinya dari belenggu duniawi.

Kebebasan merupakan syarat utama dari gerakan dan lompatan. Dalam pandangan mendasar, perjuangan keras manusia atas kebenaran dan kebatilan, mereka akan memiliki komitmen yang lebih kuat. Pemimpin agama atau politik mana yang menjadi sumber perubahan dunia dengan asuhan manja?

Tak diragukan lagi Imam Hussein as dan sahabat setianya merupakan manifestasi utuh kebebasan dan ini faktor lain dari keabadian Asyura. Mereka memilih melakukan transaksi dengan Tuhan ketimbang bergelimang dengan kemewahan duniawi dan menjual agamanya demi kekayaan atau kekuasaan dunia. Transaksi ini untuk menjaga kehormatan, nilai-nilai tinggi Ilahi dan kemanusiaannya serta memanifestasikan kebebasannya dan untuk menghindar dari jebakan kehinaan dan juga tidak menjual derajat tinggi yang diperolehnya dengan harga murah dan sesuatu yang fana.

Allah Swt di Surah al-Taubah ayat 111 berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”

Benar Imam Hussein as dan sahabatnya yang setia, yang gugur di Padang Karbala merupakan manifestasi dari ayat di atas. Mereka melakukan transaksi dengan Tuhan, sebuah transaksi yang sangat menguntungkan ketimbang bergelimang dengan harta duniawi dan kemudian mereka nantinya akan disiksa dengan azab yang pedih. Darah pada syuhada Karbala menjadi imbalan surga yang akan mereka nikmati tanpa batas. Inilah arti sejati dari kebebasan.

Hussein bin Ali as untuk menunjukkan kepada para pecintan kebebasan di dunia, kebebasan dan tidak bergantung terhadap keduniawian, ketika ia ingin bertolak ke kota Kufah bertemu dengan penyair terkenal Farazdaq. Farazdaq berkata kepada Imam Hussein: Wahai putra Rasulullah Saw! Bagaimana anda percaya kepada warga Kufah? Mereka adalah orang yang membuah sepupu Anda, Muslim bin Aqil dan sahabatnya.

Setelah memohon ampunan bagi Muslim, Imam Hussein berkata, “Ia menuju ridwan Ilahi. Ia telah menunaikan tanggung jawabnya dan kami saat ini masih tetap komitmen dengan tanggung jawab kami.” Kemudian Imam bersyair, Jika dunia dianggap berharga, maka harus disadari bahwa akhirat yang merupakan tempat pahala Ilahi lebih mulai dan berharga. Jika ini adalah takdir Ilahi bahwa manusia diciptakan untuk mati, maka ketahuliah mati di jalan Tuhan lebih mulia dan jika rezeki manusia dibagi secara tertentu, maka kita harus sadari bahwa tidak tamak lebih indah dan baik. Jika menimbun harta hanya akan ditinggalkan setelah manusia meninggal, maka apa nilainya hal tersebut sehingga kita bakhil.

Para sahabat Imam Hussein as, mengikuti teladan Imamnya, memalingkan muka dari semua afiliasi mereka dan menanggapi panggilan untuk bantuan pemimpin para syuhada (Imam Hussein) dengan penuh dan dari lubuk hati mereka yang paling dalam. Di antara sahabat ini adalah Zuhair yang kembali dari ibadah haji  menuju Kufah.

Peringatan duka Imam Hussein di bulan Muharram (dok)
Saat itu, ia tengah berada di meja makan bersama keluarganya, ketika utusan Imam Hussein as mendatanginya dan mengundangnya untuk bertemu dengan Imam Hussein. Ia terkejut karena selama perjalanannya tersebut, ia berusaha menjahui rombongan Imam Hussein. Istrinya berkata kepadanya, “Apakah kami tidak memberi jawaban, ketika putra Rasul mengirim utusan kepadamu? Bangkit dan cepatlah mendatangi putra Rasul, apa yang diminta darimu dan kembalilah kesini!

Zuhair langsung bangkit dan mendatangi Imam Hussein. Tak lama kemudian Zuhair kembali ke kafilahnya dengan muka berseri-seri dan menginstruksikan seluruh kemah dibongkar dan kemudian mendirikan kemah di sisi rombongan Imam Hussein. Kemudian ia menghadap istrinya sambil berkata, Kamu dapat bergabung dengan familimu, karena aku tidak ingin kamu cidera karenaku, Aku hanya menginginkan kebaikan bagi dirimu? Ia juga menghadap sahabatnya dan berkata, siapa saja yang ingin menolong putra Rasul, maka kenakan pakaian kalian dan ini akhir perjumpaan kita.

Zuhair memilih jalannya dengan penuh kebebasan dan kesadaran. Selama perjuangan Imam Hussein, ia memainkan peran gemilang. Setiap kali ada ancaman dari musuh, dia akan bangkit, terkadang dengan khutbah dan terkadang dengan mengangkat senjata, ia berperang dan mengusir bahaya.

Di pagi hari tanggal 10 Muharram (Asyura), ketika Zuhair menyaksikan barisan musuh menerjang perkemahan Imam Hussein, ia bangkit menuju medan pertempuran. Ia berkata, Wahai warga Kufah, Aku memperingatkan kalian atas azab pedih Tuhan. Hak muslim terhadap saudara muslinya adalah menasihatinya dan menyadarkan mereka, kita saat ini masih bersaudara dan seagama, selama pedang kita tidak saling berbenturan dan kalian tidak tidak melanjutkan permusuhan membabi buta kalian, maka kalian layak untuk diberi nasihat. Namun ketika pedang kita saling berbenturan di medan perang, maka tidak ada batasan di antara kita....Benar Tuhan menguji kita dengan keluarga Nabi sehingga tampak bagaimana kita memperlakukan mereka...

Pencerahan Zuhair yang telah berhasil membebaskan dirinya dari segala bentuk ketergantungan, bukan saja tidak efektif terhadap tentara bayaran Bani Umayah yang ikut dalam pertempuran baik karena ancaman atau kerakusan, bahkan para pecinta kekuasaan dan harta pun memusuhinya. Mereka ini mengungkapkan sikap seorang budak dan penyerahan dirinya dengan memuji pemimpin zalim dan anti agama dari Bani Umayyah.

Zuhair yang telah muak dengan kebodohan dan perudakan ini akhirnya dengan ijin Imam, tampil di medan pertempuran sambil melantunkan syair, Aku Zuhair putra Qain, Aku bela Husein dangan pedangku. Husein salah satu cucu Rasul – dari keluarga yang baik dan bertakwa. Ia utusan suci Tuhan dari generasi Nabi- Aku bertarung dengan kalian dan aku bangga dengannya.

Salah satu tokoh kebebasan di Padang Karbala adalah Hurr bin Yazid al-Riyahi. Ia sebelumnya komandan salah satu pasukan di bawah Ubaidillah dan bertugas mencegah perjalanan rombongan Imam Hussein di manapun berada. Hurr bersama seribu pasukannya berbaris di depan rombongan Imam. Imam Hussein kemudian memerintahkan untuk memberi minum pasukan dan kuda-kuda tentara Hurr. Saat itu, tibalah waktu shalat. Setelah shalat, di mana Hurr dan pasukannya bermakmum kepada Imam Husien, cucu Nabi ini memerintahkan rombongannya segera berangkat. Saat itu, Hurr berkata, kami mendapat tugas untuk membawa Anda kepada Ubaidillah. Kemudian Imam menolaknya.

Akhirnya Hurr kembali ke pasukan Ubaidillah dalam kondisi bingung atas dua jalan bagi nasibnya. Akhirnya Hurr berinisiatif membebaskan dirinya dari belenggu harta dan pangkat duniawi. Khususnya ketika ada seruan Imam Husien minta bantuan. Ia kemudian mendatangi Umar bin Saad dan bertanya, “Apakah Kamu benar-benar ingin memerangi Husein? Umar berkata, Benar! Aku bersumpah akan memeranginya, paling tidak kepala dan tangan terpisah dari badan. Hurr yang hati nuraninya terbangun dan pada akhirnya memilih jalan yang sangat menentukan, bergerak menuju perkemahan Imam Hussein as.

Salah satu tentara yang hadir di medan pertempuran ketika merasakan niat Hurr meninggalkan perkemahan Ubaidillah, bertanya kepadanya mengapa ia membuat pilihan seperti ini? Hurr berkata: Ketika aku dihadapkan pada pilihan neraka atau surga, Aku bersumpah bahwa aku pasti memilih surga.

Hurr yang membuat Husein dan sahabatnya ditahan di tempat tanpa air dan tumbuhan, mendatangi Imam dalam keadaan malu dan berkata, “Aku kembali dan menyesal. Apakah kamu menerima taubatku? Imam berkata, Allah menerima taubatmu. Hurr langsung gembira dan sama seperti pecinta kebebasan lainnya, merasa bahagia. Ia kemudian menuju medan pertempuran dan berperang melawan tentara Ubaidillah. Ketika ia gugur, jenazahnya di bawah ke perkemahan Imam Hussein. Imam berkata, kesyahidannya seperti kesyahidan para nabi dan keluarganya.

Di riwayat lain disebutkan, ketika Hurr mereguk cawan syahadah, Imam memandangnya dan berkata, Kamu bebas seperti ibumu memberi kamu nama Hurr. Dan kami bebas di dunia dan akhirat.

Contoh lain dari kebebasan Imam Hussein dan sahabatnya adalah kisah keluarga Wahab di mana anak, istri dan ibunya memiliki peran di Karbala. Wahab bertempur dengan tentara Yazid di puncak usia mudanya. Ia dikelilingi banyak musuh dan pada akhirnya kedua tangannya terpotong. Istrinya mendatanginya sambil membawa tombak. Wahab berusaha menghalau istrinya, tapi istri yang setia ini berkata, aku akan tetap berada di sisimu dan berperang melawan musuh hingga aku gugur.

Imam Hussein berkata kepadanya, Semoga pahala dari Ahlul Baitku menjadi bagianmu dan semoga Allah merahmati kalian. Kembalilah ke perkemahan perempuan. Saat itu, salah satu tentara Ubaidillah memotong kepala Wahab dan melemparkannya ke perkemahan Imam Hussein. Ibu Wahab mengambil kepala anaknya dan membersihkan darah dari wajahnya serta berdoa: Segala puji bagi Allah yang telah membuat wajahku bercahaya dan mataku bersinar dengan kesyahidan putraku. Kemudian ia melemparkan kepala anaknya ke pasukan Ubaidillah dan mengenai salah satu tentara musuh hingga mati.

Budak Syimr yang menyaksikan peristiwa mendadak tersebut, langsung menyerang ibu Wahab hingga gugur.

Senin, 31 Agustus 2020 13:18

Rahasia Keabadian Asyura (3)

 

Salah satu rahasia keabadian Asyura terletak pada karakter Imam Husein yang membentuk warna perjuangannya.

Ketika Imam Hussein melihat tentara musuh akan menyerang wanita dan anak-anak yang tidak bersalah, dengan keberaniannya beliau berseru, "Wahai pengikut Abu Sufyan, jika kalian tidak memiliki agama, dan tidak takut menghadapi kehidupan akhirat kelak, setidaknya jadilah manusia merdeka di dunia ini."

Pesan abadi yang disampaikan Imam Hussein ini dengan jelas menunjukkan bahwa setiap manusia dan masyarakat, terlepas dari semua kecenderungan politik, ras, bangsa dan budayanya, dapat berpegang pada nilai moral dan kemanusiaan yang tinggi. 

Imam Ali bin Abi Thalib dalam pernyataan senada, mengatakan, "Jika kita tidak memiliki harapan di surga, dan kita tidak takut neraka, dan tidak meyakini adanya hukuman atau pahala, tetap saja kita harus memperjuangkan martabat moral (manusia), sebab jalan menuju kesuksesan dan kemenangan adalah menghiasi diri dengan keutamaan moral.

Nabi Muhammad Saw juga mempresentasikan filosofi diutusnya menjadi Rasul Allah swt sekitar 14 abad yang lalu dengan mengatakan, "Aku diutus oleh Allah swt untuk menyempurnakan akhlak yang mulia,".

Oleh karena itu, rahasia keabadian Asyura terletak pada pesan-pesan inspiratif dari gerakan Husseini yang bersifat universal, bukan spesifik untuk kelompok, ras dan kebangsaan tertentu saja, tapi mencakup semua manusia yang berpikiran bebas dan cinta kebebasan, dan orang-orang yang tulus hatinya. 

Di antara rahasia lain yang telah mengabadikan epos Hosseini abadi mengenai peran penting wawasan penyadaran yang ada di dalamnya. Banyak gerakan sepanjang sejarah lahir dari  hasutan sentimen rasial seperti rasisme di Jerman atau Slavia di Rusia, maupun gerakan yang mengusung kesamaan bahasa seperti Pan-Turkisme atau Pan-Arabisme. Gerakan yang dibangun dari aspek sektarian ini lambat atau cepat akan pudar, bahakn hilang di telan sejarah.

Tetapi epos Hosseini telah mempertahankan keabadian dan menginspirasi  semua umat manusia di dunia karena prinsip-prinsip ketuhanan, manusiawi dan logis, pengetahuan, kesadaran, dan wawasannya.

Dengan kata lain, semua Nabi dan pemimpin ilahi mengusung gagasannya dengan argumen yang kuat, dan rasional. Mereka tidak pernah mencoba untuk memaksakan pandangannya kepada masyarakat dengan cara apa pun, karena mereka tahu betul bahwa gagasan yang dipaksakan tidak akan bertahan lama. Demikian juga dengan Imam Hussein.

Imam Hussein dalam salah satu doanya mengatakan,"Ya Tuhan, tuntunlah perjuanganku, juga wawasan, petunjuk, metode, dan caraku sesuai bimbingan-Mu sehingga aku dapat mencapai tujuan dan cita-citaku demi membimbing orang lain,".

Mengenai peran penting kesadaran, Imam Ali dalam Nahjul Balaghah mengungkapkan, "Manusia yang sadar adalah orang yang mendengar perkataan dan pesan yang diterimanya, lalu merenungkan dan kemudian belajar dari peristiwa yang terjadi. Sehingga bisa menempuh jalan yang jelas dan (bertujuan) dan menghindari jatuh ke jurang." 

Lembaran sejarah menunjukkan bahwa semua sahabat setia Imam Hussein memiliki karakteristik luar biasa dari orang-orang yang sadar. Ketika Hussein bin Alimerasa bahwa musuh telah membuat keputusan akhir untuk perang dan pertumpahan darah, lalu beliau mengumpulkan para sahabatnya.

Imam Husein berkata, "Kalian bebas dan saya telah mengambil kesetiaan dari Anda. Aaya mengizinkan Anda semua untuk menggunakan kegelapan malam ini dan mengambil tangan anggota keluarga Anda berpindah ke desa dan kota Anda dan menyelamatkan hidup Anda dari kematian. Sebab, orang-orang ini hanya mengejar saya, dan jika saya pergi mereka tidak akan ada hubungannya dengan orang lain. Semoga Tuhan memberimu hadiah yang baik,". 

Dengan kata-kata tersebut, Imam Hussein ingin memberikan kesempatan kepada para sahabatnya untuk memilih dan meningkatkan kesadaran dan wawasan mereka mengenai pilihan hidupnya.

Setelah mendengar pernyataan tersebut, mereka berdiri satu demi satu dan akhirnya menyatakan kesetiaan mereka. Salah satu sahabat Imam yang bernama Saad Ibn Abdullah berkata, "Aku bersumpah demi Tuhan, jika aku tahu aku akan dibunuh tujuh puluh kali dan tubuhku akan dibakar dan abuku dihidupkan kembali, aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Zuhair Ibn Qain berkata: "Wahai putra Rasulullah, aku bersumpah kepada Tuhan, jika sampai dibunuh seribu kalipun pasti akan tetap mendukung Anda, untuk hidup kembali dan dibunuh lagi ..... "

Pada saat kondisi semakin kritis, Imam Hussein mendengat berita tentang penawanan putra Muhammad ibn Bashir al-Hadral. Lalu, Imam Hussein di hadapan Muhammad ibn Bashir berkata, "Engkau bebas, sekarang berusahalah untuk menyelamatkan puteramu yang ditahan,". 

Tapi ketika itu, Muhammad ibn Bashir mengungkapkan, "Demi Tuhan, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Jika penguasa gurun memotongku dan menjadikanku sebagai mangsanya, maka aku tetap tidak akan melepaskan dukunganku kepadamu,". 

Contoh menonjol lainnya yang tidak melepaskan kesetiaannya kepada Imam Hussein sampai saat-saat terakhir dari hidupnya yang cemerlang adalah Sayidina Abul Fadl Abbas, sebagaimana disampaikan dalam pernyataan Imam Sadiq yang mengatakan, "Paman kita Abbas bin Ali memiliki kesadaran yang tinggi dan keimanan yang menghunjam. Beliau bersama Abu Abdullah berjihad dan bertempur dengan segenap kekuatannya hingga keluar dari ujian ilahi ini sebagai pemenang, dan akhirnya menjadi syahid,".

Mengenai pengorbanan Abul Fadhl Abbas, Imam Shadiq menjelaskan, "Aku bersaksi engkau tidak melakukan kelemahan dan kelalain apapun (dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita ilahi) dengan hati yang terang dan bertindak sebagai orang yang saleh dan mengikuti para Nabi. "

Salah satu wujud cemerlang dari ilmu dan wawasan Abul Fadl Abbas terjadi pada petang hari kesembilan Muharram tahun 61 H yang berada di tengah-tengah pergerakan musuh Shimir bin Di Al-Jausyan menemui Abul Fadl dan berkata, "Saya membawakan surat perlindungan ini dari gubernur Kufah untuk Anda. Jika Anda berhenti membantu Hussein, maka hidup Anda akan aman."

Sayidina Abul Fadl Abbas yang keluar dari tenda bersama tiga saudara laki-lakinya yang lain, berkata dengan teriakan marah, "Kutukan dan murka Tuhan atasmu dan surat keamananmu itu. Apakah kamu ingin kami berhenti membantu orang yang paling terhormat di jalan Tuhan dengan membiarkan putra Fatimah sendirian dan aku meninggalkannya sendirian, padahal aku telah berbaiat kepadanya".

Ya, jika kesadaran telah tertanam begitu kuat,  maka hal ini akan memperkuat tekad manusia untuk berjuang hingga tetas darah penghabisan demi memperjuangkan nilai-nilai luhur yang diaykininya. Hal ini sebagaimana Imam Hussein dan para sahabatanya yang syahid. Mereka tidak akan melepaskan tujuan dan cita-citanya membela agama ilahi.

Senin, 31 Agustus 2020 13:17

Rahasia Keabadian Asyura (2)

 

Kebangkitan Imam Hussein melawan pemerintahan tiran Yazid bertujuan untuk menjaga kelangsungan agama Islam yang terkena erosi kerusakan di berbagai sendi kehidupan masyarakatnya.

Oleh karena itu, motivasi perjuangan Imam Husein demi menjaga kesucian Islam dari berbagai penyimpangan yang dilakukan penguasa lalim di masanya. Imam Husein bangkit melawan Yazid bin Muawiyah bukan karena menghendaki kekuasaan, tapi karena ketulusannya membela ajaran agama Islam dan mengembalikan umat Islam dari berbagai penyimpangan. 

Imam Hussein dalam salah satu munajatnya berkata,"Ya ilahi, Engkau tahu tujuan kebangkitanku bukan bersaing untuk meraih kekuatan politik atau merebut kekayaan dan kemegahan dunia. Tetapi motif utama kebangkitanku demi menghidupkan kembali ajaran-Mu, mengibarkan tanda-tanda keagungan agama-Mu dan memperbaiki urusan di muka bumi. Kami akan membela hak-hak mereka yang dilanggar dan mengembalikannya kepada mereka. Kami akan mengikuti aturan yang telah Engkau wajibkan kepada para hamba-Mu untuk mengikutinya..."

Imam Husein dalam munajatnya ini dan berbagai perkataannya yang lain memiliki motif ketuhanan yang terlihat jelas di berbagai bidang, termasuk dalam gerakan perlawanannya menghadapi rezim lalim Yazin bin Muawiyah.

Salah satu rahasia lain dari keabadian Asyura, karena setiap tindakan Imam Husein yang diikuti para pengikut setianya di Padang Karbala mengambil warna ilahiah, sehingga terbentuk totalitas dalam gerakannya demi memperjuangkan nilai-nilai Islami, sebagaimana  dalam surat Ar Rahman ayat 26 dan 27 yang menegaskan, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan,".

Para wali Allah swt dan ulama yang meneruskan jejak para Nabi berperan besar dalam menjaga obor petunjuk kebenaran petunjuk supaya tetap menyala untuk menerangi umat. Demikian juga yang dilakukan Imam Hussein dengan menyampaikan pidato penyadaran kepada para ulama dan tokoh masyarakat di zaman dengan mengatakan, "Jika Anda tidak membantu kami dan tidak bergabung dengan kami dalam memperjuangkan kebenaran, maka para penindas akan memiliki lebih banyak kekuatan untuk melawanmu dan akan menjadi lebih aktif dalam memadamkan sinar matahari yang bersinar dari Nabi kalian."

Melanjutkan pidatonya, Imam Husein bersandar pada prinsip ketauhidan dengan menjelaskan, "(jika Anda tidak membantu kami) Tuhan cukup bagi kami, dan kami bertawakal kepada-Nya, sebab takdir kita ada di tangan-Nya. Kita semua akan kembali pada-Nya".

Selain menjelaskan prinsip ketauhidan, Imam Hussein setiap pidatonya, Imam Hussein mengajak orang lain dengan cara yang baik dalam memperjuangkan nilai-nilai ketauhidan.

Para pencari kebenaran sejati memandang seluruh kehidupan manusia dilakukan demi meraih ridha Allah swt. Sebab, dalam posisi tinggi ini, manusia menyerahkan seluruh keberadaannya kepada Tuhan dalam menghadapi semua peristiwa terjadi. demikian juga dengan Imam Hussein yang menyampaikan khutbah di Mekah, termasuk menyinggung peristiwa getikyang diprediksi akan terjadi padanya. Beliau dengan totalitas ketakwaan dan ketawakalannya berkata: "Apapun yang Allah tetapkan, aku ridha, dan aku akan bersabar dalam menghadapi kesulitan dan rintangan yang menghadang,".

Menghadapi pihak-pihak yang menentang perjalanan Imam Hussein ke Karbala, beliau mengajak orang-orang yang tulus berjuang demi meraih ridha Alalh dengan sebagai prinsip utama perjuangannya dengan mengatakan, "Ketahuilah, siapa pun yang siap berjuang di jalan ilahi ini, maka bersiaplah untuk berangkat bertemu Allah (menjemput kesyahidan)..."

Manifestasi lain dari ketauhidan sebagai poros perjuangan Hussein ibn Ali dapat dilihat dengan jelas dalam tanggapan Imam terhadap surat perlindungan yang diberikan 'Umar ibn Sa'id, penguasa  Mekah  yang disampaikan Abd al-Ja'far, suami Sayidah Zainab, dengan yang mengatakan, "Orang yang beramal salih dan berserah diri kepada-Nya, niscaya tidak akan menentang Allah dan Rasul-Nya ..... Namun mengenai surat perlindungan yang telah kalian bawa, ketahuilah bahwa jaminan keselamatan terbaik hanya dari Allah swt.  Keamanan dari Allah berada dalam agama. Jika tidak takut kepada Allah, maka tidak akan aman di akhirat. Dalam pandangan ilahi, takut kepada Allah di dunia ini, akan menyelamatkan kita di akhirat nanti,".

Imam Hussein berkata, "Aku bersumpah demi Tuhan, jika aku terbunuh sejengkal lebih jauh dari Mekah, maka  lebih aku sukai dari pada  darahku tumpah di tempat suci ini, dan jika aku terbunuh dua kali lebih jauh dari Mekah, maka lebih baik bagiku.".

Pernyataan ini disampaikan Imam Husein sebagai reaksi atas kelaliman Yazid dan kerusakan yang dilakukannya dengan mengatasnamakan sebagai khalifa Muslim. Imam Husein bersedia sayahid demi menjaga kesucian Kabah yang berusaha dinodai oleh  penguasa lalim semacam Yazid. 

Tidak seperti dinasti Umayah yang duduk di atas takhta kekuasaan dengan menghancurkan nilai-nilai Islam yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya, Hussein bin Ali yang dibesarkan di tengah keluarga Nubuwah dan Imamah sangat prihatin menyaksikan penodaan terhadap ajaran Islam dan berupaya mengembalikan umat menuju jalan kebenaran. 

Oleh karena itu, Imam Hussein menyampaikan seruannya,"Sadarilah bahwa mereka adalah orang-orang mengikuti setan dan telah meninggalkan ketaatan kepada Tuhan, menyebarkan kerusakan dan kehancuran, serta melanggar syariat Allah, juga menjarah properti umum dan memonopolinya, dan menghalalkan yang diharamkan oleh Allah swt maupun sebaliknya. Sementara aku akan datang untuk mencegah berlanjutnya situasi ini dan mengubahnya.".

Dukungan terbesar dari para pejuang yang mengorbankan dirinya demi mengharapkan ridha Allah swt merupakan hasil dari ketauhidan sebagai prinsip paling utama dalam hubungan antara Imam Husein dengan Allah swt, yang menginspirasi para pengikutnya untuk berjuang demi mempertahankan nilia-nilai agung dan luhur. 

Pada malam Asyura, ketika pasukan musuh mengepung tenda-tenda Imam Husein dan pengikutnya, Imam Hussein sedang tenggelam dalam munajat dan doa. Di hadapan pengikutnya, beliau berkata  "... Aku ingin menunaikan shalat dan marilah kita memohon ampunan ilahi. Allah tahu bahwa aku menyukai doa, membaca al-Quran, shalat dan manajat serta banyak beristigfar,".

Dengan ketauhidan yang begitu kuat terhunjam, Imam Hussein dan para sahabatnya yang setia tenggelam doa dan ibadah yang sangat khusuk. Mereka hidup seolah-olah tidak memiliki kekhawatiran sedikitpun tentang peristiwa Asyura dan kesyahidan yang akan menimpanya, meskipun musuh sedang mengepung mereka di luar. 

Sebelum peristiwa Asyura terjadi, salah seorang sahabat bernama Abu tsamamah bin Saidi mengingatkan waktu shalat segera tiba kepada Imam Hussein. Ketika itu Imam Hussein kepada pengikutnya berkata, "Kamu sudah mengingatkan kami akan waktu sholat. Allah menjadikanmu sebagai salah seorang yang mengingat Allah."

Ketika dzuhur tiba, Imam Husein meminta sedikit waktu untuk bermunajat kepada Allah untuk terakhir kalinya. Musuh menolak permintaan itu, tetapi Imam tetap mendirikan shalat tanpa peduli dengan tekanan dan hujanan panah musuh, dua sahabatnya gugur syahid dalam peristiwa itu.

Kekhusyukan dan ketenangan Imam Husein dalam shalat membuat para sahabatnya menitikkan air mata. Fenomena ini mengingatkan mereka pada sosok ayahnya, Imam Ali yang tidak pernah melewatkan shalat dalam perang dan berkata, "Kita berperang untuk menegakkan shalat."

Senin, 31 Agustus 2020 13:16

Rahasia Keabadian Asyura (1)

 

Salah satu pertanyaan yang terus muncul hingga kini mengenai keabadian peristiwa Asyura, mengapa tragedi besar yang terjadi lebih dari seribu tahun ini tidak pernah lekang oleh zaman dan masih lestari hingga kini.

Sepanjang sejarah begitu banyak gerakan perjuangan yang datang dan pergi silih berganti, tetapi seiring berjalannya waktu banyak yang hilang dari memori kolektif bangsa-bangsa, dan kehilangan perannya. Tetapi fenomena ini tidak menimpa gerakan Asyura Husseini yang terus diperingati dan lestari hingga kini, bahkan memberikan inspirasi dalam perjuangan di negara-negara tertindas melawan penguasa otoriter. 

Hal yang sangat penting dari gerakan Asyura adalah kenyataan bahwa antusiasme ini tidak hanya terjadi di dunia Islam, tetapi telah mempengaruhi opini publik bangsa-bangsa dunia, terutama para pencari kebebasan yang melintasi batas geografis. Fenomena yang paling menonjol selama beberapa tahun terakhir bisa dilihat dalam epik pawai akbar Arbain yang diikuti belasan juta orang yang datang dari berbagai penjuru dunia. 

Faktanya, peristiwa besar dan menakjubkan dari gerakan Asyura bukan hanya peristiwa yang tunduk pada perjalanan waktu, tetapi peristiwa universal dan abadi dalam sejarah yang harus diidentifikasi secara mendalam mengenai rahasia dan misteri keabadiannya, sehingga menjadi landasan bagi gerakan pembebasan negara-negara tertindas dunia dalam menghadapi dominasi penindas dan kekuatan imperialisme global.

Apabila peringatan Asyura Imam Hussein hanya sebatas penyelenggaraan peringatan ritual duka cita, maka tentu saja musuh-musuh Islam tidak akan merasa terancam, bahkan mereka akan membiarkan penyelenggaraan acara ini dengan melucuti spirit dan pesan penting yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi fenomena ini, tampaknya perlu dipelajari rahasia keabadian Asyura demi meraih spirit dan pesan utama di dalamnya.

Salah satu rahasia terpenting dari keabadian perjuangan Asyura adalah kehadiran para pengikut setia Imam Husein yang berupaya menjaga Islam Muhammadi. Sejak Nabi Muhammad Saw wafat, sebagian kalangan berupaya memisahkan Alquran dari Ahlul Bait Rasulullah Saw, menyingkirkan Ali dari kekhalifahan, memalsukan hadits dan membakar hadits Nabi Muhammad Saw dan juga melimpahkan tanggung jawab utama kepada Dinasti Umayyah.

Mereka juga mengancam, menindas, dan membunuh Abu Dzar, Hujr bin Adi, dan berijtihad yang bertentangan dengan teks Alquran dan Sunnah Rasulullah Saw untuk mendistorsi Islam Muhammadi, sehingga Islam di masa Yazid hanya tinggal cangkangnya saja. Oleh karena itu, ketika Yazid membuat keputusan serius untuk memaksa Imam Hussein supaya berbaiat kepadanya, Imam Husein secara tegas menyatakan kepada Marwan Ibn Hakam, "... Kita berasal dari Allah dan  akan kembali kepada-Nya. Ketika umat Islam dipimpin oleh seorang penguasa seperti Yazid, maka kita harus menyampaikan perpisahan dengan agama Islam. ".

Perhatian paling penting dan mendasar dari perjuangan Imam Hussein adalah menjaga Islam di tengah berbagai rongrongan. Imam Husein mengungkapkan berbagai penyimpangan dari jalur kepemimpinan Nabawi yang diciptakan oleh para penguasa yang haus kekuasaan semacam Yazid.

Mengenai masalah ini, Imam Husein berkata, “Orang yang kalian harapkan baiatku kepadanya adalah peminum minuman keras dan tangannya berlumuran darah orang-orang tak berdosa. Dialah orang yang melanggar perintah Ilahi dan melakukan dosa secara terbuka di depan mata banyak orang. Apakah pantas bagi orang seperti saya untuk bersumpah setia kepada orang yang rusak seperti dia?  Dalam hal ini, kita harus mempertimbangkan masa depan untuk melihat siapa di antara kita yang pantas menjadi pemimpin Umat Islam dan pantas mendapatkan bait dari mereka.(Tabari vol. 7 hal. 18-216, Ibn Athir 23 hal. 263-264)

Berdasarkan literatur otentik Syiah dan Sunni, sifat Imam Husein dan Yazid tidak bisa dibandingkan seperti langit dan bumi. Yazid adalah orang yang berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan Islam dan Ahlul Bait Rasulullah Saw. Ketika berkuasa, dia menyatakan, "Bani Hasyim bermain dengan kekuasaan, karena itu bukan wahyu ataupun risalah."(Al-Ghadir hal. 342)

Tidak diragukan lagi, jika Imam Hussein tidak melawan kebijakan jahat yang diwarisi Yazid dari pendahulunya, maka tidak ada jejak Islam yang tersisa. Oleh karena itu, benar kiranya jika dikatakan bahwa agama Islam didirikan dengan kebangkitan Nabi Muhammad Saw, tetapi dipertahankan melalui perjuangan Imam Hussein.  

Di zaman sekarang, arogansi global telah mengambil kebijakan yang sama sebagaimana Dinasti Umayyah yang melawan Nabi Islam untuk menghancurkan Islam. Tapi Imam Khomeini, pendiri Revolusi Islam, yang sepenuhnya memahami kedalaman kebijakan jahat mereka mengambil mengambil perjuangan Imam Hussein sebagai inspirasi perjuangannya.

Imam Khomeini, mengatakan, “Kita memiliki kewajiban untuk memelihara Islam. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang penting.... Darah Hussein tumpah demi membela Islam demi membela nilai-nilai agung Islam. Kita harus memahami makna ini dan mengajarkannya kepada orang lain."

 

Tanggal 1 Shahrival diperingati sebagai hari dokter nasional di Iran dengan menajdikan tanggal wafatnya Ibnu Sina sebagai momentum memperingati kebesaran filsuf yang juga dokter terkemuka Iran ini. 

Abu Ali Sina atau Ibnu Sina, seorang ilmuwan besar muslim terlahir ke dunia pada 3 Safar 370 Hq di kota Balkh. Ibnu Sina pada usia remaja telah menghapal al-Quran dan kemudian mempelajari ilmu teknik dan astronomi. 

Sejak kecil Ibnu Sina memang pembelajar yang serius. Di usia belasan tahun ia sudah mulai membaca buku terjemahan Metafisika Aristoteles. Di masa kanak-kanak, ia sering mengajukan pertanyaan ‘tak wajar’ pada gurunya. Tapi, rasanya tak akan ada nama besar Ibnu Sina tanpa dukungan luar biasa dari Abdullah, sang ayah.

Abdullah sangat tanggap dengan potensi yang dimiliki putranya. Ia pun berhijrah memboyong keluarga dari dusun kelahirannya ke kota Bukhara, demi mencari tempat belajar kondusif bagi Husain, nama kecil Ibnu Sina. Tak henti, ia mencari guru yang mumpuni sampai akhirnya bertemu Mahmud Massah, yang mengusai matematika.

Pada usia 18 tahun, Ibnu Sina telah menguasai semua ilmu yang berkembang pada zaman itu. Meski menguasai sangat banyak bidang ilmu, Ibnu Sina paling terkenal atas kemampuannya di bidang kedokteran.

Sedemikian berkembangnya pengetahuan Ibnu Sina sehingga gurunya menjadikannya sebagai guru dirinya, padahal ia belum berusia 20 tahun. Di masa-masa itu juga ia getol mempelajari filsafat. Setiap kali ia terbentur dengan sebuah masalah, dengan segera ia mengambil air wudhu dan pergi ke masjid melaksanakan shalat sunnah dua rakaat, kemudian berdoa kepada Allah untuk memberi jalan menyelesaikan masalah keilmuan yang dihadapinya.

Atas keberhasilannya mengobati seorang raja Dinasti Samani, Ibnu Sina diizinkan untuk memanfaatkan perpustakaan besar yang dimiliki oleh raja tersebut. Ibnu Sina kemudian banyak melakukan penelitian di perpustakaan tersebut. 

Karya-karya penulisan yang dihasilkan Ibnu Sina sedemikian hebatnya, sehingga menjadi rujukan bagi para ilmuwan di berbagai zaman dan berbagai tempat, termasuk di dunia Barat. Karya terkenal Ibnu Sina antara lain berjudul Syifaa, yang merupakan buku filsafat dan Qanun yang membahas tentang masalah kedokteran.

Ibnu sina meninggal dunia di kota Hamedan dan dimakamkan di kota itu pula di usia 58 tahun. Sebagai bentuk penghormatan kepada beliau, hari meninggalnya Ibnu Sina, setiap tanggal 1 Shahrivar diperingati di Iran sebagai Hari Kedokteran.

Alquran

Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan…

Nahjolbalaghe

Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009, IMAM ALI DAN HAK…