
کمالوندی
Sabda Nabi Saw yang Memerintahkan Menjadikan Ali sebagai Pemimpin
Sabda Nabi Saw yang Memerintahkan Menjadikan Ali sebagai Pemimpin
Rasulullah Saw bersabda:
"Hendaklah kalian bersama Ali bin Abi Thalib, lantaran ia adalah pemimpin dan maula kalian, cintailah ia. Ia adalah orang besar di antara kalian, ikutilah ia. Dan merupakan orang alim di antara kalian muliakanlah ia. Pemimpin kalian menuju firdaus, agungkanlah ia. Tatkala ia menyerumu penuhilah seruannya, ketika ia memerintahmu taatilah. Sebagaimana kalian mencintaiku, cintailah ia. Sebagaimana kalian memuliakanku, muliakanlah ia. Aku tidak berkata sesuatu apapun tentang Ali bin Abi Thalib kecuali menjalankan perintah Tuhanku."
(Dikutip Dalam Buku "Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah" karya Muhammad Ridha Jabbariyan)
Kunci Kebahagiaan dan Kesuksesan
“Aku mencari persahabatan dengan manusia maka aku dapatkan dalam keindahan budi pekerti”. – Imam Ja’far Shodiq as –
25 Kunci Kebahagiaan dan Kesuksesan dari Imam Ja’far Shodiq as
1- طلبتُ الجنة، فوجدتها في السخاء
“Aku mencari surga, maka aku temukan pada kedermawanan”.
2- و طلبتُ العافية، فوجدتها في العزلة
“Aku mencari Afiyah (keselamatan dari bencana dan kesulitan) maka aku temukan dalam menyendiri (mengisolasi diri dari keramaian yang tak berguna)”.
3- و طلبت ثقل الميزان، فوجدته في شهادة «ان لا اله الا الله و محمد رسول الله
“Aku mencari beratnya timbangan amal, maka aku dapatkan dalam bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya”.
4- و طلبت السرعة في الدخول الي الجنة، فوجدتها في العمل لله تعالي
“Aku mencari kesegeraan dalam memasuki surga, maka aku dapatkan pada amal kebajikan semata demi Allah SWT”.
5- و طلبتُ حب الموت، فوجدته في تقديم المال لوجه الله
“Aku mencari cinta pada kematian, maka aku mendapatkan pada mengajukan (mengirim pahala sedekah) harta demi mengharap ridha Allah SWT”.
6- و طلبت حلاوة العبادة، فوجدتها في ترك المعصية
“Aku mencari manisnya ibadah, maka aku temukan dalam meninggalkan maksiat”.
7- و طلبت رقة القلب، فوجدتها في الجوع و العطش
“Aku mencari kelembutan hati, maka aku dapatkan dalam rasa lapar dan dahaga”.
8- و طلبت نور القلب، فوجدته في التفكر و البكاء
“Aku mencari cahaya hati, maka aku temukan dalam pikiran”.
9- و طلبت الجواز علي الصراط، فوجدته في الصدقة
“Aku mencari restu untuk melewati jembatan pemeriksaan (shirat), maka aku temukan dalam sedekah”.
10- و طلبت نور الوجه، فوجدته في صلاة الليل
“Aku mencari cahaya wajah, maka aku dapatkan dalam shalat malam”.
11- و طلبت فضل الجهاد، فوجدته في الكسب الحﻻل للعيال
“Aku cari keutamaan jihad maka aku dapatkan dalam mencari rizki yang halal untuk keluarga”.
12- و طلبت حب الله عزوجل، فوجدته في بغض أهل المعاصي
“Aku cari kecintaan Allah maka aku dapatkan dalam membenci pelaku maksiat“.
13- و طلبت الرئاسة، فوجدتها في النصيحة لعبادالله
“Aku cari kepemimpinan maka aku dapatkan dalam tulus menasihati hamba-hamba Allah“.
14- و طلبت فراغ القلب، فوجدته في قلة المال
“Aku cari ketenangan hati maka aku dapatkan dalam sedikitnya harta”.
15- و طلبت عزائم الامور، فوجدتها في الصبر
“Aku mencari perkara-perkara yang teguh maka aku dapatkan dalam kesabaran”.
16- و طلبت الشرف، فوجدته في العلم
“Aku mencari kemuliaan maka aku dapatkan dalam ilmu”.
17- و طلبت العبادة فوجدتها في الورع
“Aku mencari ibadah maka aku dapatkan dalam Wara’ (kehati-hatian dalam agama)”.
18- و طلبت الراحة، فوجوتها في الزهد
“Aku mencari ketentraman maka aku dapatkan dalam kezuhudan”.
19- و طلبت الرفعة، فوجدتها في التواضع
“Aku mencari ketinggian maka aku temukan dalam kerendahan hati”.
20- و طلبت العز، فوجدته في الصدق
“Aku mencari kejayaan maka aku temukan dalam kejujuran”.
21- و طلبت الذلة، فوجدتها في الصوم
“Aku mencari kerendahan/keterhinaan maka aku dapatkan dalam berpuasa”.
22- و طلبت الغني، فوجدته في القناعة
“Aku mencari kekayaan maka aku dapatkan dalam Qana’ah (kepuasaan dengan apa yang telah Allah anugerahkan_red)”.
23- و طلبت الانس، فوجدته في قراءة القرءان
“Aku mencari ketentraman maka aku dapatkan dalam membaca Al Qur’an”.
24- و طلبت صحبة الناس، فوجدتها في حسن الخلق
“Aku mencari persahabat dengan manusia maka aku dapatkan dalam keindahan budi pekerti”.
25- و طلبت رضي الله، فوجدته في برالوالدين
“Aku mencari keridhaan Allah maka aku dapatkan dalam BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA”.
Sumber: Mustadrak al Wasail; Syeikh an Nuri ath Thabarsi,15/174-174/hadis no. 13810
Al-Qur’an, Iman dan Akhlak
Orang yang kikir tidak akan pernah merasakan ketenangan. Orang yang hasud tidak akan pernah merasakan kenikmatan. Para raja tidak akan mendapati janji. sedang si pembohong tidak akan mempunyai harga diri. – Imam Ali Ridho as
Tentang Iman
Siapa yang menyerupakan Allah dengan ciptaan-Nya, maka sungguh telah syirik. Dan barangsiapa yang menisbatkan kepada Allah, tentang perbuatannya yang terlarang, sungguh ia telah menjadi kafir.
Sesungguhnya iman itu lebih tinggi sederajat dari Islam. Sedang takwa sederajat lebih tinggi dari iman. Yakin juga sederaj at lebih mulia dari keimanan. Dan Bani Adam tidak diberi sesuatu yang lebih utama dari keyakinan.
Iman itu ada empat perkara; Tawakkal kepada Allah. Ridha (rela) dengan ketentuan-Nya. Pasrah kepada-Nya Dan menyerahkan segala urusan hanya kepada-Nya.
Iman adalah ketika melaksanakan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Dan iman adalah pengenalan lewat hati serta pengakuan dengan lisan dan pelaksanaan dengan anggota badan.
Akhlak
Janganlah kalian mengabaikan perbuatan bahil atau keseriusan dalam beribadah, hanya karena mengandalkan kecintaan kepada keluarga Muhammad saww.
Hati-hatilah dari sifat rakus dan hasud, karena keduanya telah menghancurkan umat yang terdahulu. Dan hati-hatilah dari sifat kikir, karena kekikiran merupakan suatu penyakit yang tidak boleh disandang seorang yang merdeka apalagi oleh seorang mukmin. Dan sifat bahil (kikir), merupakan kebalikan dari keimanan.
Sesungguhnya diam itu merupakan salah satu pintu hikmah. Dan diam itu akan membuahkan kecintaan serta akan jadi petunjuk setiap kebaikan.
Temanilah teman dekatmu dengan merendah diri (tawadhu) dan hati-hatilah terhadap musuhmu serta gaulilah manusia secara keseluruhan dengan senyuman.
Allah membenci perdebatan yang tidak bermanfaat serta pemborosan harta dan banyaknya pertanyaan tentang hal-hal yang tidak berguna.
Orang yang kikir tidak akan pernah merasakan ketenangan. Orang yang hasud tidak akan pernah merasakan kenikmatan. Para raja tidak akan mendapati janji. sedang si pembohong tidak akan mempunyai harga diri.
Al-Qur’an
Suatu hari Imam Ridha a.s. berbicara tentang Al-Qur’an, beliau mengagungkan hujjahnya, dan bukti mukjizat pada susunannya yang luar biasa. Kemudian beliau bersabda: Aturannya adalah tali Allah yang kuat dan kokoh, jalan-Nya yang lurus yang akan menuntun ke arah surga serta menyelamatkan dari siksa api neraka. Tidak akan lapuk ditelan masa dan tidak kotor di ucapkan lisan, karena Al-Quran tidak diciptakan untuk zaman tertentu saja dan dapat dij adikan bukti kebenaran dan hujjah atas manusia. Tidak sedikit pun tercampur dengan kebatilan, dia adalah wahyu dari Dzat yang Maha Bijaksana dan maha Terpuji.
Aku bertanya kepada Imam Ridha a.s.: Apa pendapatmu tentang Al-Quran? Beliau menjawab: Ia adalah kalam ‘ Allah dan jangan kalian berpendapat lebih dari itu, jangan pula mencari petunjuk dari selainnya agar tidak tersesat.
(Syarah) Khotbah Imam Ali As Tentang Kaum Khawarij
Kata-kata Amirul Mukminin menjelaskan kenyataan bahwa kesesatan kaum Khariji tidak disengaja melainkan karena pengaruh iblis. Mereka keliru menganggap salah sebagai benar lalu bersikeras padanya.
Jangan membunuh kaum Khariji sesudah saya,[1] karena orang yang mencari yang hak tetapi tidak menemukannya tidak sama dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya (yang dimaksudnya adalah Mu’awiah dan kaumnya).
Sayid Radhi berkata: Yang dimaksud Amirul Mukminin ialah Mu’awiah dan orang-orangnya.
[1] Alasan menghentikan orang memerangi kaum Khariji ialah bahwa Amirul Mukminin jelas-jelas melihat bahwa sesudahnya wewenang dan kekuasaan akan jatuh ke tangan orang-orang yang tak tahu akan makna jihad yang sesungguhnya dan yang akan menggunakan pedang hanya untuk memelihara kekuasaannya. Dan ada orang yang bahkan melebihi kaum Khariji dalam mencerca dan mencemari Amirul Mukminin. Maka, orang-orang zalim tidak berhak memerangi orang yang salah.
Lagi pula, orang-orang yang dengan sengaja menempuh jalan batil tidak dapat diizinkan memerangi orang-orang yang salah karena kekeliruan. Jadi, kata-kata Amirul Mukminin menjelaskan kenyataan bahwa kesesatan kaum Khariji tidak disengaja melainkan karena pengaruh iblis. Mereka keliru menganggap salah sebagai benar lalu bersikeras padanya.
Pada sisi lain, posisi kesesatan Mu’awiah dan kalangannya lain; mereka menolak kebenaran dengan menyadari bahwa itu sebenarnya mcmang benar, dan mcnyukai kebatilan sebagai tata perilaku mereka dengan mengetahui sepenuhnya bahwa itu mcmang sebenarnya batil. Kesembronoan mereka dalam urusan keagamaan telah mencapai tahap yang tak dapat lagi dipandang sebagai akibat salah paham, tak dapat pula ditutupi dengan jubah kckeliruan penilaian. Karena, secara terang-terangan mereka melanggar batas-batas ketentuan agama dan tidak mempedulikan perintah Nabi (saw) tetapi mengikuti kehendak mereka sendiri.
Maka Ibn Abil Hadid menulis (dalam Syarh Nahjil Balaghah, V, h. 130), ketika sahabat Nabi, Abu ad-Darda’ melihat peralatan dari emas dan perak yang digunakan Mu’awiah, ia mengatakan bahwa ia telah mendengar Nabi berkata, “Orang yang minum dari wadah emas dan perak akan merasakan nyala api neraka dalam perutnya,” Mu’awiah mengatakan, “Saya tidak mclihat suatu kcburukan di dalamnya.”
Demikian pula, mengakui Ziyad ibn Abih sebagai saudara scayahnya mcnurut maunya sendiri merupakan suatu pengabaian total terhadap perintah Nabi; mencerca para anak cucu Nabi di mimbar, melanggar batas-batas syariat, menumpahkan darah orang-orang yang tak bersalah dan menempatkan diri di atas kaum Muslim (dengan mengaku Khalifah) adalah keji dan membuka jalan kepada kejahatan dan kekafiran; dengan scmua itu kita tak dapat mcngatributkannya sebagai salah paham. Mengatakan demikian sama saja dengan menutup mata terhadap kenyataan.
Masa Minimal Kehamilan Menurut Imam Ali As
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.” (QS.Al-Baqarah:233)
Buku-buku tafsir seperti Durul Mantsur, tafsir Fakhrurrozi dan yang lainnya pernah mengangkat satu kejadian tentang “mengumpulkan dua ayat”. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa kejadian ini terjadi di zaman pemerintahan Umar dan sebagian lagi menyebut di zaman pemerintahan Ustman.
Dikisahkan ada seorang suami yang mengadukan istrinya pada khalifah di zaman itu. Ia mencurigai istrinya telah berbuat serong karena melahirkan anak sebelum waktunya. Ia baru menikahinya selama 6 bulan sementara istrinya sudah melahirkan.
Akhirnya diputuskan hukuman rajam oleh pemerintahan saat itu. Namun ada seorang sahabat yang melaporkan kejadian ini kepada Ali bin Abi thalib.
Beliau segera datang ke lokasi dan berkata, “Bukankah Allah Berfirman dalam Al-Qur’an
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً
“Dan Kami Perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan.” (QS.Al-Ahqaf:15)
Kemudian dalam ayat lain, Allah Berfirman
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.” (QS.Al-Baqarah:233)
Pada ayat pertama, Allah Menyebut waktu mengandung hingga menyapih (mengakhiri masa menyusui) adalah 30 bulan. Lalu pada ayat kedua, Allah Mengajarkan waktu menyusui adalah 2 tahun penuh, yaitu 24 bulan. Maka 30 dikurangi 24 adalah 6 bulan. Maka menurut hukum Al-Qur’an, wanita itu sudah memasuki waktu untuk melahirkan.”
Akhirnya, sebagian riwayat menyebutkan wanita itu selamat dari hukumannya. Sementara riwayat yang lain menyebutkan bahwa ia sudah terlanjur dirajam dan meninggal dunia
Wasiat Para Nabi tentang Orang Tertindas
“Carilah aku di tengah-tengah kaum lemah (tertindas), karena kalian hanyalah diberi rezeki dan ditolong berkat orang-orang lemah di antara kalian.”
Ketika Nabi Musa As bertanya kepada Allah Swt, “Tuhanku, di mana aku harus mencari-Mu?”. Lalu Allah Swt menjawab, “Carilah Aku di tengah-tengah mereka yang hancur hatinya, karena Aku mendekat kepada mereka setiap hari dua bentangan tangan. Jika tidak ada hal itu niscaya kalian hancur.”
Hilyah al-Awliya’, juz 6, hal 177
Senada dengan Nabi Musa as, Rasulullah Saw juga berpesan kepada umatnya, “Carilah aku di tengah-tengah kaum lemah (tertindas), karena kalian hanyalah diberi rezeki dan ditolong berkat orang-orang lemah di antara kalian.”
Sunan Abi Dawud juz 4 hal 236 hadis 2594
Kemudian Rasulullah saw juga berpesan, “Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia serta rakus dalam mengumpulkan harta, maka mereka akan ditimpa empat bencana. Yakni, zaman yang berat (penuh fitnah dan kesulitan), pemimpin yang zalim, penegak hukum yang khianat, dan musuh yang mengancam”.
Hadis Tsaqalain
“Kutinggalkan sepeninggalku Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”
Hadis Tsaqalain (حدیث ثقلین) adalah sebuah hadis yang sangat masyhur dan mutawatir dari Nabi Muhammad Saw yang bersabda, “Kutinggalkan sepeninggalku Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”
Hadis ini diterima oleh seluruh kaum Muslimin baik Syiah maupun Sunni, dan termaktub dalam kitab-kitab hadis dari kedua mazhab besar tersebut.
Bagi muslim Syiah, hadis ini merupakan pegangan utama untuk menguatkan doktrin pentingnya keimamahan, menguatkan dalil kemaksuman para Imam As dan juga sebagai dalil yang menetapkan keharusan adanya imam di setiap zaman.
Matan Hadis
Hadis ini meski diriwayatkan dengan jalur yang berbeda, dan dengan bunyi teks yang beragam namun tetap mengandung muatan pesan yang sama. Dalam Ushul Kāfi, yang merupakan salah satu dari empat kitab utama mazhab Syiah menyebutkan:
«...إِنِّی تَارِک فِیکمْ أَمْرَینِ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا- کتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ أَهْلَ بَیتِی عِتْرَتِی أَیهَا النَّاسُ اسْمَعُوا وَ قَدْ بَلَّغْتُ إِنَّکمْ سَتَرِدُونَ عَلَی الْحَوْضَ فَأَسْأَلُکمْ عَمَّا فَعَلْتُمْ فِی الثَّقَلَینِ وَ الثَّقَلَانِ کتَابُ اللَّهِ جَلَّ ذِکرُهُ وَ أَهْلُ بَیتِی...».
“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang jika kalian mengikuti keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, (yaitu) Kitab Allah dan Itrahku dari Ahlulbaitku. Wahai manusia, dengarkanlah, aku sampaikan kepada kalian, kalian akan menemuiku di tepi telaga al-Haudh. Aku akan mempertanyakan kepada kalian, apa yang telah kalian perbuat terhadap dua pusaka berharga ini, yaitu Kitab Allah dan Ahlulbaitku.” [1]
Sunan Nasai, salah satu dari enam kitab sahih Ahlusunnah, meriwayatkan”
«... کأنی قد دعیت فاجبت، انی قد ترکت فیکم الثقلین احدهما اکبر من الآخر، کتاب الله و عترتی اهل بیتی، فانظروا کیف تخلفونی فیهما، فانهما لن یفترقا حتی یردا علی الحوض...».
“Ajalku sudah mendekat. Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua sesuatu yang sangat berharga, yang salah satu dari yang lainnya lebih besar, (yaitu) Kitab Allah dan Itrah Ahlulbaitku. Karenanya perhatikan bagaimana kalian memperlakukan keduanya. Keduanya tidak akan terpisah sampai kalian menemuiku di tepi telaga al-Haudh.” [2]
Sumber dan Sanad Hadis
Hadis ini termasuk dalam riwayat yang diterima oleh semua ulama Islam baik dari kalangan Syiah maupun Sunni, yang dari sisi sanad tidak seorangpun yang mampu melemahkan dan mengkritiknya.
Sumber dari Literatur Ahlusunnah
Menurut kitab Hadits al-Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait [3], hadis Tsaqalain ini diriwayatkan lebih dari 25 orang perawi dari kalangan sahabat yang mendengarkan langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Berikut di antara nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadis Tsaqalain:
*Zaid bin Arqam. Darinya terdapat 6 jalur periwayatan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Sunan Nasai [4], al-Mu’jam al-Kabir Thabrani [5], Sunan Tirmidzi [6], Mustadrak Hākim [7], Musnad Ahmad [8] dan sejumlah kitab yang lain.
*Zaid bin Tsabit. Dimuat dalam Musnad Ahmad [9] dan al-Mu’jam al-Kabir Thabrani. [10]
*Jabir bin Abdullah. Dimuat dalam kitab Sunan Tirmidzi [11], al-Mu’jam al-Kabir [12], dan al-Mu’jam al-Ausath [13] Thabrani.
*Huzaifah bin Asid. Dalam kitab al-Mu’jam al Kabir Thabrani. [14].
*Abu Sa’id Khudri. Dalam empat bab dari Musnad Ahmad [15] dan Dhua’fa al-Kabir al-Aqili. [16].
*Imam Ali As, dengan dua jalur periwayatan yang terdapat dalam Dar al-Bahr al-Zakhār atau juga dikenal dengan kitab Musnad al-Bazāz [17] dan Kanz al-‘Ummāl. [18]
*Abudzar Ghifari. Dalam kitab al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf Dāruqutni. [19]
*Abu Huraira. Dalam kitab Kasyf al-Atsār ‘an Zawaid al-Bazār. [20]
*Abdullah bin Hanthab. Dalam Usd al-Ghabah. [21]
*Jubair bin Math’am. Dalam Dhalāl al-Jannah. [22]
Dan sejumlah dari sahabat Anshar, di antaranya: Khuzaimah bin Tsabit, Sahl bin Sa’ad, ‘Adi bin Hatim, Uqbah bin ‘Amir, Abu Ayyub Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Syarih al-Khaza’i, Abu Qadamah Anshari, Abu Laila, Abu al-Haitam bin al-Taihan, dan sebagian lagi dari Bani Qurays yang menghendaki Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As untuk bangkit dengan menukilkan hadis Tsaqalain tersebut. [23]
Bahrani, penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām juga menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan melalui 39 jalur yang terdapat dalam banyak kitab Ahlusunnah.
Jadi sebagaimana yang telah disebutkan, hadis ini terdapat setidaknya dalam kitab Musnad Ahmad, Sahih Muslim, Manāqib ibn al-Maghāzali, Sunan Tirmidzi, al-‘Umdah Tsa’labi, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Ausath Thabrani, al-‘Umdah ibn al-Bathriq, Yanābih al-Mawaddah Qunduzi, al-Tharaif ibn al-Maghāzali, Faraid al-Simthain dan Syarah Nahj al-Balāgah Ibn Abi al-Hadid. [24]
Sumber dari Literatur Syiah
Bahrani, penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām menyebutkan dalam sumber periwayatan Syiah terdapat 82 hadis yang mengandung muatan sebagaimana hadis Tsaqalain, diantaranya terdapat dalam kitab al-Kāfi, Kamāl al-Din, Amāli Shaduq, Amāli Mufid, Amāli Thusi, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, al-Ghaibat Nu’māni, Bashāir al-Darajāt dan banyak lagi dari kitab yang lain. [25]
Ulama-ulama Syiah yang secara khusus membahas hadis Tsaqalain dalam karyanya diantaranya terdapat dalam kitab-kitab berikut:
Kitab berbahasa Persia: Hadits Tsaqalain, karya Qawam al-Din Muhammad Wasynawi Qumi, Sa’ādat al-Dārin fi Syarah Hadits Tsaqalain buah karya Abdul Aziz Dahlawi.
Kitab berbahasa Arab: Hadits Tsaqalain karya Najm al-Din Askari, Hadits Tsaqalain karya Sayyid Ali Milani dan Hadits Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait karya Ahmad al-Mahuzi.
Waktu dan Tempat Keluarnya Hadis
Mengenai kapan dan dimana hadis Tsaqalain disampaikan oleh Rasulullah Saw, terdapat perbedaan pendapat. Misalnya, Ibnu Hajar Haitami [26] menyebutkan bahwa hadis Tsaqalain disebutkan Nabi Muhammad Saw sekembalinya dari Fathu Mekah di Thaif, namun yang lain menyebutkan waktu dan tempat yang berbeda dari pendapat tersebut.
Perbedaan pendapat yang terjadi tidak bisa ditinggalkan begitu saja, namun setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena memang Nabi Muhammad Saw telah menyampaikan hadis tersebut diberbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda. Terutama di waktu-waktu terakhir dari kehidupannya, ia sering mengingatkan kaum muslimin akan keutamaan Tsaqalain (dua pusaka berharga) yang ditinggalkannya, yaitu Al-Quran dan Ahlulbait. [27]
Berikut riwayat-riwayat yang menyebutkan tempat dan waktu keluarnya hadis ini:
*Pada hari Arafah, disaat menunggangi unta [28], pada saat penyelenggaran haji wada’ [29]
*Di persimpangan jalan, di sekitar wilayah Ghadir Khum, sebelum para jemaah haji terpisah satu sama lain. [30].
*Disampaikan saat khutbah di hari Jum’at bersamaan dengan disampaikannya hadis Ghadir. [32]
*Sehabis shalat berjama’ah di masjid Khaif, dihari terakhir hari Tasyrik. [33]
*Di atas mimbar. [34]
*Di penghujung khutbah yang dibacakan untuk seluruh jama’ah. [35]
*Di dalam khubah setiap selesai shalat berjamaah. [36]
*Di ranjang, saat Nabi Saw terbujur sakit, sementara para sahabat berdiri mengelilinginya. [37]
Sunnah atau Itrah?
Sebagian literatur Ahlusunnah menyebutkan “sunnati” sebagai pengganti “itrahti” dalam hadis Tsaqalain. [38] Namun teks tersebut jarang ditemukan, bahkan tidak terdapat sama sekali dalam kitab-kitab muktabar Ahlusunnah. Para ulama Ahlusunnah sendiri tidak memberikan perhatian yang cukup besar terhadap hadis yang memuat teks “sunnati” termasuk dari kalangan ahli kalam khususnya dalam pembahasan ikhtilaf antar mazhab.
Siapakah yang Dimaksud Itrah?
Dalam banyak periwayatan, kata ‘Ahlulbait’ mucul sebagai penjelas dari ‘Itrahti’, namun sebagian riwayat hanya menyebutkan ‘Itrat’ [39] dan sebagian lainnya hanya menyebut ‘Ahlulbait’ [40] yang kemudian terulang lagi ketika Nabi Saw menyampaikan pesannya. [41]
Pada sebagian periwayatan-periwayatan Syiah dari hadis Tsaqalain, mengenai penjelasan Ahlulbait Nabi Saw mengisyaratkan keberadaan 12 Imam maksum. [42]
Keutamaan Hadis
Para ulama Syiah meriwayatkan hadis ini dalam banyak kitab-kitab mereka. Yang dengan keberadaan hadis tersebut, mereka menggunakannya sebagai dalil yang menguatkan aqidah Syiah mereka. Mirhamad Husain Kunturi Hindi (w. 1306 H) dalam kitab ‘Abaqāt al-Anwar, jilid 1 sampai 3 menukilkan hadis ini dengan menyandarkan pada periwayatan Ahlusunnah, dan menyebutkan betapa penting dan tingginya posisi hadis ini di sisi mereka. Dalam pembahasan mengenai imamah, hadis ini ia dahulukan sebagai hujjah dibandingkan hadis yang lain.
Dari hadis ini, dapat diambil beberapa poin penting yang dapat menetapkan dan membuktikan kesahihan ajaran Syiah:
Kewajiban Mengikuti Ahlulbait
Dalam riwayat ini, Ahlulbait diposisikan berdampingan dengan Al-Quran. Sebagaimana kaum muslimin diwajibkan untuk menataati Al-Quran, maka menaati Ahlulbait juga wajib hukumnya.
Kemaksuman Ahlulbait
Ada dua poin yang terdapat dalam hadis Tsaqalain yang menguatkan bukti kemaksuman Ahlulbait:
*Menegaskan jika Al-Quran dan Ahlulbait dijadikan pedoman dan petunjuk, maka tidak akan terjadi penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini menunjukkan dalam bimbingan dan ajaran Ahlulbait tidak terdapat kesalahan sedikitpun.
*Ketidakterpisahan Al-Quran dan Ahlulbait, Posisi keduanya sama sebagai pusaka Nabi Saw yang sangat berharga dan menjadi pedoman bagi umat manusia. Sebagimana telah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa dalam kitab Al-Quran tidak terdapat kesalahan, maka tsaqal lainnya yaitu Ahlulbait, sudah tentu juga tidak terdapat kesalahan padanya.
Sebagian dari muhakik/peneliti Ahlusunnah juga menjadikan hadis Tsaqalain sebagai dalil yang menunjukkan keutamaan besar yang dimiliki Ahlulbait dan hujjah atas kesucian mereka dari kotoran dan kesalahan. [43]
Keharusan Adanya Imam
Pada matan hadis, juga terdapat poin penting yang menguatkan dalil akan keharusan adanya imam sampai akhir zaman.
*Ketidakterpisahan Ahlulbait dengan Al-Quran menunjukan bukti akan keniscayaan imam dari kalangan Ahlulbait Nabi Saw yang akan terus bersama Al-Quran. Sebagaimana diyakini, al-Quran adalah sumber abadi pedoman dalam berislam, maka meniscayakan akan selalu ada dari kalangan Ahlulbait yang akan mendampingi Al-Quran untuk memberikan penjelasan dan sebagai sumber rujukan.
*Nabi Saw menegaskan bahwa kedua pusaka berharga yang diwariskannya, tidak akan terpisah sampai Nabi Muhammad Saw ditemui di tepi telaga Kautsar.
*Nabi Saw menjamin, barangsiapa mengikuti keduanya, tanpa memisahkannya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya.
Imam Zarqani Maliki, salah seorang ulama Ahlusunnah, dalam kitab Syarah a-Mawāhib [44] menukil Allamah Samhudi yang menyatakan, “Dari hadis ini dapat dipahami bahwa, sampai kiamat akan tetap ada dari kalangan Itrah Nabi Saw yang ia layak untuk dijadikan pegangan. Jadi sebagaimana yang tersurat, maka hadis ini menjadi dalil akan keberadaannya. Sebagaimana kitab (yaitu Al-Quran) tetap ada, maka mereka (yaitu Itrah) juga tetap ada di muka bumi.” [45]
Ilmu Ahlulbait Sebagai Narasumber
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Quran adalah rujukan utama aqidah dan ahkam amali semua kaum muslimin, sementara hadis ini menyebutkan bahwa Ahlulbait tidak akan pernah terpisah dengan Al-Quran, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Ahlulbait adalah juga sumber rujukan keilmuan Islam yang tidak terdapat di dalamnya kesalahan.
Sayid Abdul -Husain Syaraf al-Din dalam dialognya dengan Syaikh Sulaim Busyra –sebagaimana dimuat dalam kitab al-Murāja’āt- menjelaskan dengan sangat baik mengenai kemarjaan ilmu para Aimmah As dan wajibnya untuk mengikuti petunjuk dan ajaran-ajaran mereka. [46]
Hadis Tsaqalain dan Pendekatan antar Mazhab
Sebagaimana telah disebutkan bahwa hadis Tsaqalain adalah hadis mutawatir yang diakui kesahihannya oleh Syiah dan Sunni, maka sepatutnya keberadaan hadis ini menjadi penyebab dan pendorong upaya persatuan Islam dan upaya pendekatan antar mazhab. Sebagaimana misalnya, yang pernah diupayakan oleh Sayid Abdul Husain Syarafuddin, salah seorang ulama Syiah dengan Syaikh Sulaim Busyra dari ulama Ahlusunnah. Dialog keduanya yang penuh semangat ukhuwah dan persaudaraan Islami dapat dirujuk dalam kitab al-Murājā’at. Atau sebagaimana upaya keras dan konsisten dari Ayatullah Burujerdi untuk menggalakkan aktivitas pendekatan antar mazhab yang tersinpirasi dari pesan hadis Tsaqalain ini. [47]
Sumber: http://id.wikishia.net
Catatan Kaki
[1] Kulaini, Kāfi, jld. 1, hlm. 294.
[2] Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
[3] Atsar Ahmad Mahauzi.
[4] Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
[5] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 186.
[6] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hadis 3876.
[7] Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 110.
[8] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371.
[9] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 183, 189.
[10] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 166.
[11] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 328.
[12] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 66.
[13] Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, jld. 5, hlm. 89.
[14] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 180.
[15] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 3, hlm. 13, 17, 26, 59.
[16] Al-‘Aqili, Dhu’afa al-Kabir, jld. 4, hlm. 362.
[17] Al-Bazzar, al-Bahr al-Zakhār, hlm. 88, hadis 864.
[18] Mutqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 14, hlm. 77, hadis 37981.
[19] Daruquthni, al-Mutalaf wal Mukhtalaf, jld. 2, hlm. 1046.
[20] Al-Haitami, Kasyf al-Astār, jld. 3, hlm. 223, hadis 2617.
[21] Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 219, no. 2907.
[22] Al-Bani, Dzhalāl al-Jannah, hadis 1465.
[23] Teks lengkap hadis ini terdapat dalam Istijlāb Irtiqā al-Ghraf karya Syams al-Din Sakhawi hlm. 23. Juga terdapat dalam kitab Yanābi’ al-Mawaddah Qunduzi, jld. 1, hlm. 106-107 dan al-Ashābah Ibnu Hajar ‘Asqalani, jld. 7, hlm. 284-245.
[24] Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 304-320.
[25] Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 320-367.
[26] Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.
[27] Mufid, al-Irsyād, jld. 1, hlm. 180; Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150; Syaraf al-Din, al-Murājā’at, hlm. 74.
[28] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 662, hadis 3786.
[29] Ahmad bin Ali Tabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 391.
[30] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873.
[31] Shaduq, Kamāl al-Din wa Tamām al-Ni’mah, jld. 1, hlm. 234, hadis 45 dan hlm. 268, hadis 55; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109; Syamhudi, Jawāhir al-‘Aqidain, hlm. 236.
[32] Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 4, hadis 3.
[33] Shafar Qumi, Bashāir al-Darajāt, hlm. 412-414.
[34] Shaduq al-Amāli, hlm. 62; Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268.
[35] Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 5, hadis 9; Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 216.
[36] Dailami, Irsyād al-Qulub, jld. 2, hlm. 340.
[37] Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.
[38] Rujuk ke: Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 1, hlm. 187, hadis 948.
[39] Rujuk ke: Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm. 92, hadis 259; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109.[40] Rujuk ke: Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 23, hlm. 131, hadis 64.
[41] Rujuk ke: Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 367; Darami, Sunan al-Darami, hlm. 828; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873, hadis 36; Jauni Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 250, 268.
[42] Rujuk ke: Shaduq, Kamāl al-Din, jld. 1, hlm. 278, hadis 25; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 36, hlm. 317.
[43] Manawi, Faidh al-Qadir, jld. 3, hlm. 18-19; Zarqani, Syarah al-Mawāhib al-Diniyah, jld. 8, hlm. 2; Sanadi, Dirāsāt al-Labaib, hlm. 233, sebagaimana dinukil oleh Husaini Milani dalam Nafahāt al-Azhār, jld. 2, hlm. 266-269.
[44] Jilid 8, hlm. 7.
[45] Sebagaimana yang dinukil oleh Amini dalam kitabnya al-Ghadir, jld. 3, hlm. 118.
[46] Silahkan merujuk ke kitab al-Murājāt oleh Syaraf al-Din, hlm. 71-76.
[47] Rujuk ke: Wa’idzhazadeh Khurasani, Hadits Tsaqalain, hlm. 39-40.
Mengapa Peristiwa Al-Ghadir Disebut ‘Id?
الحمد لله الذى جعلنا من المتمسكين بولاية اميرالمؤمنين علي ابن ابى طالب عليه السلام
Tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10 H. tercatat dalam sejarah sebagai hari dimana Rasulullah saw diperintahkan Allah swt melalui Jibril as untuk menyampaikan kabar bahwa agama islam telah disempurnakan oleh-Nya dan Imam Ali bin Abi Thalib as telah ditunjuk sebagai pengganti Nabi saw.
Perintah Allah ini sangatlah penting. Sampai-sampai jika Rasulullah saw tak menyampaikan hal ini (pengangkatan Imam Ali as sebagai pengganti Rasulullah saw), maka seakan-akan Rasulullah saw tidak menyampaikan apa-apa selama 23 tahun berdakwah. Sebagaimana yang termaktub dalam al-qur’an:
يَأَيهَا الرَّسولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْك مِن رَّبِّك وَ إِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْت رِسالَتَهُ وَ اللَّهُ يَعْصِمُك مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يهْدِى الْقَوْمَ الْكَفِرِينَ
“Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjagamu dari (bahaya) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Al-Maidah:67)
Peristiwa ini masyhur dengan sebutan Idul Ghadir. Pertanyaannya, mengapa peristiwa ini disebut hari raya (‘id)?
Pertama-tama kita harus tahu apa makna dari kata ‘id. Kata ‘id (عید), dalam bahasa Arab, menunjukkan sesuatu yang kembali berulang-ulang, baik dari sisi waktu atau tempatnya. Kata ini berasal dari kata al-‘aud (العود) yang berarti kembali dan berulang.
Dinamakan ‘id karena pada hari tersebut Allah memiliki berbagai macam kebaikan yang diberikan kembali untuk hamba-hamba-Nya. Kebaikan ini berupa boleh makan dan minum setelah sebulan dilarang darinya. Terkadang juga berupa zakat fitri, penyempurnaan haji dengan thawaf, penyembelihan daging kurban, dan sebagainya.
Begitu pula, terdapat kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat baru dengan berulangnya berbagai kebaikan ini. (Ahkamul Iedain, Syekh Ali bin Hasan)
Yang membuat peristiwa al-Ghadir menjadi hari raya, bukan hanya karena banyak orang yang bahagia, bersuka cita, dan gembira pada itu, namun juga karena momen yang telah disiapkan oleh Allah swt setelah peristiwa itu sangatlah istimewa.
Sebagaimana yang kita ketahui, Idul Fitri terjadi setelah umat muslim melaksanakan dan menyempurnakan puasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Idul Adha terjadi setelah umat muslim yang berhaji melakukan dan menyempurnakan rukun yang paling penting dalam haji, yaitu wukuf di Arafah. Karena pentingnya wukuf, sebagian perawi meriwayatkan, “Haji adalah wukuf di Arafah.” (HR. An-Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no. 3015. Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Tapi beda halnya dengan Idul Ghadir. Peristiwa ini terjadi bukan karena umat muslim telah melakukan haji atau ibadah yang lain. Bukan juga karena umat Muhammad saw telah tersebar di berbagai negeri. Namun ini terjadi karena Allah swt telah menyempurnakan agama islam dan Rasulullah saw menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai washi-nya. Sebagaimana yang difirmankan Allah swt dalam al-qur’an
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah:3)
Oleh karena itu, cukuplah bagi kita, dengan dasar ini, menjadikan peristiwa Ghadir Khum sebagai hari raya (‘id). (Darut-Taqrib/Adrikna!)
Toleransi Sunni Syiah
Belajar toleransi itu tidak cukup dengan membaca buku. Menghadiri seminar-seminar bertema toleransi. Atau mendengarkan ceramah dosen di kelas. Semua cara ini tidak akan efektif jika kita enggan berinteraksi secara langsung dengan kelompok yang berbeda. Dalam ungkapan lain, kita harus lebih sering melakukan perjumpaan dengan liyan. Tidak sekadar berjumpa dan “say hello” tentunya. Tapi berusaha memahami detil jengkal perbedaan yang ada pada setiap kali kesempatan bersua.
Setidaknya itulah pengalaman saya sore kemarin ketika melakukan safari dari Jepara menuju Yogyakara bersama dengan teman-teman Gusdurian. Di tengah perjalanan, Kiai Fuad Allatifi mengingatkan kami serombongan agar mampir di masjid terdekat untuk menunaikan shalat Ashar. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 Wib. Akhirnya, juru mudi menghentikan kendaraan yang kami tumpangi di salah satu pom bensin di kawasan Secang Magelang.
Ternyata, di antara kami bertujuh, hanya 3 orang yang “asharan”. Saya, Kiai Fuad, dan Mas Ahis, santri dari pesantren Nailun Najah Kalinyamatan Jepara. Sementara empat orang lainnya hanya istrahat, sekadar melepas lelah. Karena penasaran, Kiai Fuad memberanikan diri bertanya kepada Ustad Mana Kala, “Gak shalat, tad?”
“Kami sudah shalat, tadi!” Jawab Ustad Manakala.
“Kalau saya juga sudah. Dijamak dari Jepara,” sambung Bu Nyai Ikfina Maufuriyah.
Selepas shalat berjamaah, saya bilang kepada Kiai Fuad, “Orang Syi’ah itu waktu shalatnya beda dengan kita. Makanya mereka gak shalat.”
“Maksudnya?” Kiai Fuad tampak semakin kepo.
“Nanti kamu bisa minta kepada Ustad Manakala buat menjelaskan persoalan ini secara langsung,” sahutku sambil perlahan meninggalkan area surau.
Ekspidisi pun dilanjutkan. Sembari menikmati perjalanan, Kiai Fuad mendapatkan wejangan dari Ustad Manakala mengenai pembagian waktu shalat perspektif penganut Syi’ah. Ternyata, terdapat perbedaan antara kelompok pecinta “ahlulbait” ini dengan kalangan Sunni tentang rincian waktu shalat. Jika kita sebagai mayoritas orang Indonesia yang berpaham ahlusunnah wal jamaah memiliki lima waktu shalat, Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh, maka tidak dengan Syi’i. Fiqh Syi’ah menyederhanakan waktu shalat yang lima tersebut menjadi tiga saja. Pertama, waktu untuk menunaikan dua salat wajib di siang hari, yaitu Zuhur dan Ashar. Kedua, waktu untuk dua shalat wajib di malam hari, Maghrib dan Isya’. Ketiga, waktu untuk shalat Subuh.
Ketidaksamaan klasifikasi waktu ibadah shalat antara Sunni-Syi’ah ini disebabkan oleh perbedaan “fiqhiyyah” dalam menafsirkan ayat:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 78).
Dari ayat tersebut, ahli fiqih Syi’ah menyimpulkan bahwa waktu shalat wajib hanya terbagi menjadi tiga, bukan lima sebagaimana pendapat “fuqoha'” Sunni. Jadi, Sunni-Syi’i tetap sama-sama berkewajiban menunaikan shalat Subuh, Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’, akan tetapi tata-caranya yang berlainan.
Secara teknis, shalat Zuhur, menurut Fiqh Syiah, dimulai saat matahari tergelincir. Sedangkan waktu shalat Ashar dimulai setelah dilakukan salat Zuhur hingga menjelang matahari terbenam. Dengan kata lain, salat Zuhur dan Ashar memiliki batas waktu yang khusus. Pelaksanaan shalat Maghrib dimulai setelah hari benar-benar gelap. Kamudian disambung shalat Isya’. Rentang waktunya berakhir sampai menjelang fajar, tanda Subuh tiba. Dengan demikian waktu salat wajib harian bisa dibagi menjadi tiga ufuk waktu; syuruq, zawal dan ghurub.
Kiai Fuad pun manggut-manggut mendengar ulasan singkat Ustad Manakala. Melalui perjumpaan dalam satu mobil, tumbuh sikap saling memahami. Sunni-Syi’ah bergandeng mesra dalam bingkai toleransi. Jau
Mengenal Sahabat Maksumin: Kumail bin Ziyad an-Nakhai
Setiap malam Jum’at, umat islam menghabiskan waktunya dengan berdoa. Salah satu doa yang paling disarankan untuk dibaca adalah doa Kumail. Doa Kumail adalah doa panjang yang sangat indah. Di dalamnya, terdapat permohonan-permohonan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Baik berupa permohonan duniawi maupun ukhrawi. Lihatlah kata-kata indah yang mengalun menyelimuti bumi di malam Jum’at itu, “ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu. Dengan kekuatan-Mu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu. Dan dengannya menunduk segala sesuatu… Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang meruntuhkan penjagaan, dosa-dosaku yang menyebabkan petaka, dosa-dosaku yang merusak nikmat, dosa-dosaku yang menghalangi doa, dosa-dosaku yang menurunkan bencana…”
Siapakah Kumail?
Doa ini dinamakan doa Kumail. Sedangkan Kumail sendiri adalah seorang sahabat Imam Ali bin Abi Thalib as yang sangat setia. Nama lengkapnya adalah Kumail bin Ziyad an-Nakhai. Ia berasal dari Yaman. Keluarganya bermukim di Kufah selama masa kekhalifahan Imam Ali as. Ia juga tercatat sebagai orang yang memimpin kelompok para pembaca al-Qur’an dalam revolusi Abdurrahman bin al-Ashath melawan al-Hajjaj, gubernur Kufah yang sangat kejam di waktu itu.
Doa Nabi Khidir
Dalam Iqbal al-A’mal, Ibn Thawus menuturkan bahwa Kumail an-Nakhai berkata, “suatu kali aku duduk bersama Imam Ali bin Abi Thalib as di masjid Bashrah bersama sekelompok sahabat beliau. Lalu, seorang di antara kelompok itu bertanya: ‘apa maksud ayat, ‘pada malam itu diuraikan segala urusan yang penuh hikmah?’ (ad-Dukhan: 4) ’
Imam Ali menjawab, ‘malam itu malam pertengahan Sya’ban. Demi Zat yang nyawa Ali berada di genggaman-Nya, baik-buruk segenap hamba dibagikan pada malam pertengahan bulan Sya’ban hingga akhir tahun. Dan barangsiapa yang menghidupkannya (dengan amalan-amalan baik) dan berdoa di waktu itu dengan doa Nabi Khidir, maka Allah akan menjawabnya.’ ”
Singkat cerita, karena penasaran, Kumail meminta imam Ali untuk mengajarinya. Maka, imam Ali lantas mendiktekan doa itu, dan dicatat oleh Kumail dengan penuh kekaguman.
Bangkit melawan al-Hallaj
Sejarah mencatat bahwa al-Hajjaj adalah orang yang sangat keji. Ia juga amat membenci keluarga Nabi saw. Rakyat Kufah hidup menderita di bawah kediktatorannya. Pada tahun 81 H, Abdurrahman bin al-Ashath memberontak kepada atasannya itu, al-Hajjaf bin Yusuf. Pasukannya berjumlah lebih daari seratus orang. Termasuk kelompok pembaca al-Qur’an yang dipimpin oleh Kumail bin Ziyad. Pertempuran sengit terjadi antara dua kubu. Akhirnya, para pejuang berhasil mengalahkan tentara al-Hajjaj. Mereka membebaskan beberapa kota seperti Sajestan dan Kirman (di Iran), serta Basrah dan Kufah (di Irak). Tidak terima dengan kekalahannya, Abdul Malik mengirim pasukan tambahan kepada al-Hajjaj. Kedua pasukan kembali bertempur di Dir al-Jumajum. Setelah pertempuran sengit, pasukan Abdurrahman kalah. Pasukan mereka kocar-kacir. Ada yang terbunuh, melarikan diri dan bersembunyi. Kumail bin Ziyad beberapa pejuang lainnya menghilang. Al-Hajjaj mulai mencari mereka. Al-hajjaj mencari Kumail kemana-mana, tapi mata-mata al-Hajjaj tak mampu menangkap Kumail. Hingga akhirnya, al-Hajjaj menggunakan cara licik; menyiksa dan mengganggu para pengikut Kumail. Mendengar peristiwa itu, Kumail akhirnya menyerah. Orang-orang lantas membawa kumail menghadap al-Hallaj.
Di hadapan al-Hajjaj
Wajah Kumail bersinar. Janggutnya telah memutih. Hatinya teguh. Kumail memasuki istana al-Hajjaj dengan gagah. Ia menatap semua hadirin dengan tatapan mata tajam. Tak ada rasa takut sedikitpun di hatinya. Ia tahu bahwa ia akan dibunuh oleh al-Hallaj. Karena kekasihnya, Ali bin Abi Thalib, telah memberitahunya. Tanpa menghiraukan al-Hajjaj, Kumail berkata, “pemimpinku, Imam Ali, telah mengatakan kepadaku bahwa kau akan membunuhku. Wahai musuh Allah, lakukan apa yang ingin kau inginkan! Ketahuilah bahwa hari pembalasan akan muncul setelah pembunuhan ini.”
Al-Hajjaj berkata, “ingkari Ali, bila ingin selamat.”
Kumail menjawab, “Tunjukkan padaku agama yang lebih baik dari agama Ali.”
Al-Hajjaj pun langsung memerintah algojonya untuk memenggal kepala Kumail bin Ziyad an-Nakhai, seorang sahabat besar imam Ali as yang memegang rahasia beliau as. Makam beliau sekarang berada di atas bukit Wadi as-Salam di kota suci Najaf. Kumail boleh mati, tapi namanya selalu abadi dalam hati umat islam.