کمالوندی

کمالوندی

 

Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan istri, Melania mengunjungi India pada hari Selasa, 25 Febaruari 2020. Lawatan Trump ke New Delhi diwarnai dengan bentrokan dan kekerasan.

Bentrokan antara dua kubu pro dan kontra undang-undang kewarganegaraan baru di New Delhi telah menyebabkan 15 orang tewas dan ratusan lainnya terluka.

Kerusuhan terkait undang-undang kewarganegaraan baru itu telah dimulai pada bulan Desember tahun lalu.

Kondisi memburuk di New Delhi berlangsung pada akhir pekan dan semakin mencekam pada hari Senin, 24 Februari 2020.

Kekerasan meletus di berbagai wilayah di timur laut Delhi pada hari Selasa, yaitu hanya beberapa kilometer jauhnya dari tempat Trump dan Perdana Menteri India Narendra Modi bertemu.

New Delhi telah menjadi pusat kerusuhan terhadap Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan, yang memudahkan non-Muslim dari tiga negara tetangga yang didominasi Muslim untuk mendapatkan kewarganegaraan India.

Menurut TV lokal, asap besar mengepul dari pasar ban yang telah dibakar dan para saksi mata menyaksikan kelompok massa menggunakan tongkat dan batu berjalan di jalan-jalan di bagian timur laut New Delhi, di tengah insiden pelemparan batu.

Menteri Dalam Negeri India G. Kishan Reddy mengklaim kekerasan yang terjadi adalah konspirasi untuk mencemarkan nama baik India saat kunjungan Trump.

Para pengunjuk rasa mengatakan bahwa Modi dan partainya, Partai Bharatiya Janata (BJP), menargetkan Muslim dan memicu kekerasan.

Beberapa korban di kedua kubu telah menderita luka tembak, dan banyak yang terlihat terluka di kepala dan tubuh mereka. 

 

Pasukan pemerintah Turki dikabarkan telah memutus pasokan air di kota Hasakah, timur laut Suriah.

Kantor berita Xinhua (26/2/2020) melaporkan, pasukan pemerintah Turki menyerang para penjaga pusat persediaan air di sekitar kota Hasakah, kemudian menutup aliran pasokan air bersih untuk warga setempat.

Aksi pasukan Turki itu menyebabkan ratusan warga kota Hasakah tidak bisa lagi mendapatkan pasokan air bersih.

Ketegangan Turki dan Suriah dalam beberapa hari terakhir terus mengalami peningkatan, dipicu langkah militer dan campur tangan Turki di Idlib untuk melindungi teroris.

Sejak dua bulan lalu pasukan Suriah melancarkan operasi pembersihan teroris di Provinsi Idlib, namun Turki menentangnya. 

Kamis, 27 Februari 2020 14:42

Filipina Tolak Bantuan Militer dari Amerika

 

Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan Manila tidak membutuhkan bantuan militer dari Washington.

Duterte, seperti dilansir Associated Press, Rabu (26/2/2020) menuturkan Angkatan Bersenjata Filipina mampu memerangi terorisme dan ekstremisme di negaranya tanpa memerlukan bantuan militer AS.

Pemerintah Filipina sebelum ini membatalkan pakta militer yang mengizinkan kehadiran pasukan AS di wilayahnya dan menyampaikan keputusan tersebut kepada Washington.

Berdasarkan pakta militer itu, pasukan Amerika akan melatih tentara Filipina dan ini memungkinkan kehadiran pasukan Amerika di negara tersebut.

Menteri Pertahanan AS Mark Esper menyampaikan kekecewaan atas pembatalan pakta militer itu. 

 

Kementerian Pertahanan Turki, Kamis (27/2/2020) dinihari mengabarkan tewasnya dua tentara negara itu dalam serangan udara di Idlib, Suriah.

Fars News (27/2) mengutip surat kabar Daily Sabah melaporkan, Kemenhan Turki mengumumkan, dalam serangan udara di Idlib, Suriah, dua tentara Turki tewas, dan dua lainnya terluka.

Tiga hari lalu, media yang dekat dengan pemberontak Suriah mengabarkan tewas dan terlukanya 10 tentara Turki dalam serangan jet tempur Rusia dan Suriah di pos militer Turki di distrik Kansafra, selatan Idlib.

Baru-baru ini setelah pasukan pemerintah Suriah meraih sejumlah kemenangan atas teroris, pejabat Turki termasuk Presiden Recep Tayyip Erdogan terus melanjutkan propaganda operasi militer melawan pasukan Suriah di Idlib. 

Juru bicara kantor politik Taliban di Qatar mengatakan, kesepakatan damai Amerika Serikat dan Taliban, Sabtu (29/2/2020) akan ditandatangani, dan setelah itu pemerintah Afghanistan akan membebaskan 5000 anggota Taliban.

Fars News (27/2) melaporkan, dua hari menjelang penandatanganan kesepakatan damai Amerika-Taliban, para pemimpin kelompok itu mengabarkan rencana pembebasan ribuan anggotanya oleh pemerintah Kabul.

Jubir kantor politik Taliban di Qatar, Suhail Shaheen, Kamis (27/2) kepada wartawan menuturkan, kesepakatan damai Amerika dan Taliban akan ditandatangani hari Sabtu, setelah itu pemerintah Afghanistan akan membebaskan 5000 anggota Taliban.

Ia menambahkan, hingga kini tidak ada perubahan apapun soal waktu penandatanganan kesepakatan, dan rencananya setelah itu akan dimulai perundingan internal Afghanistan pada 10 Maret 2020.

Shaheen menegaskan, pembebasan 5000 anggota Taliban oleh pemerintah Afghanistan merupakan salah satu langkah penting dalam upaya membangun kepercayaan dua pihak guna memulai dialog.

Lima hari sebelumnya Amerika mengabarkan dimulainya program deeskalasi ketegangan di Afghanistan selama 7 hari. Washington mengumumkan, setelah program ini berakhir, kesepakatan Amerika dan Taliban akan ditandatangani. 

 

Perpecahan antar Sunni – Syiah sengaja didesain agar umat Islam selalu ribut dan melupakan urusan yang lebih penting, kerukunan Suni dan Syiah akan menguatkan umat Islam. Sebaliknya, perpecahan di antara kedua mazhab Islam ini akan semakin melemahkan Islam. Persatuan Sunni dan Syiah sudah lama digagas oleh para ulama beasar di berbagai negara.

Di kondisi saat ini, kembali pada ajaran Islam dan sirah Rasulullah Saw menjadi kebutuhan sangat penting, karena musuh umat Islam paling diuntungkan dari perpecahan di antara pengikut Nabi Muhammad. Padahal cahaya gemilang nabi akhir zaman ini bukan saja pelita hidayah bagi umat manusia, bahkan sandaran bagi pengokohan persatuan seluruh umat Islam di dunia.

Di berbagai ayat Alquran, Allah Swt menyeru umat Muslim bersatu dan Rasulullah beserta para Imam Maksum dengan mengikuti ajaran Alquran, baik di perkataan maupun perilaku senantiasa membela persatuan umat Islam. Misalnya di awal ayat 103 surat Al Imran, Allah menyeru umat Islam berpegang teguh pada Hablullah (tali Allah) dan menyebut persatuan sebagai salah satu nikmat besar.

Allah Swt berfirman di surat Al Imran ayat 103 yang artinya, ” Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara…”

Sejarah permulaan Islam membuktikan bahwa Rasulullah dengan prinsip La Ila ha Illa Allah, telah mencegah perpecahan dan kembalinya nilai-nilai perpecahan di era jahilihah di antara umat Islam melalui sabda dan sunnah beliau. Meski Muhammad  Saw diutus di tengah kaum Arab dan Alquran turun dengan bahasa Arab, namun risalah dan seruan beliau tidak mengenal batas teritorial dan etnis atau bahasa. Namun begitu sangat disayangkan meski ada pesan dan ajaran Rasulullah yang menekankan untuk menjaga kehormatan dan keagungan umat Muslim, setelah beliau meninggal benih-benih perpecahan mulai tumbuh di tubuh umat Islam.

Benih perpecahan ini bermula di peristiwa Saqifah. Api perpecahan yang sebelumnya terpendam kini mulai bangkit, namun berkat kewaspadaan dan pemikiran jangka panjang Imam Ali bin Abi Talib, perpecahan ini dapat diredam dan persatuan umat Islam tetap terjaga. Di fase penting sejarah ini, Imam Ali rela melepas haknya sebagai Amirul Mukmin umat Islam yang telah dikukuhkan oleh Rasulullah di Ghadir Khum dan hal ini dilakukan Imam Ali untuk menjaga persatuan dan solidaritas umat Islam. Selama pemerintahan para khulafa, Imam Ali juga tidak menunjukkan sikap menentang terhadap penguasa.

Tapi setelah gugurnya Imam Ali bin Abi Thalib, benih-benih perpecahan dan pemikiran jahiliyah kembali terkuak dan para pengobar perpecahan mulai berkoar dan menghidupkan gaya aristokrasi dan fanatisme etnis. Mereka pun mulai merusak sendi-sendi persatuan dunia Islam. Di era ini, pada awalnya penunjukan menjadi sistem pemilihan khalifah dan kemudian sistem ini berubah menjadi warisan.

Selama periode pemerintahan Bani Umayah, penguasa ini menerapkan strategi memecah belah antar etnis dan kebijakan ini menjadi peluangbagi aktifnya perpecahan sosial di tengah umat Islam. Oleh karena itu, penguasa terakhir bani Umayah menghadapi pemberotakan warga yang tak puas. Ketidakpuasan ini muncul dalam bentuk beragam pemberontakan, namun di antara pemberontakan ini yang mampu menggoyang kekuasaan penguasa adalah kebangkitan Allawi dan Abbasi.

Kubu Allawi dan Abbasi bergabung dan mampu menumbangkan pemerintahan Bani Umayah. Namun begitu yang menggantikan pemerintahan ini adalah kelompok Abbasiah bukannya Allawi. Penguasa baru ini mengklaim akan menciptakan era baru penuh keadilan, ketakwaan dan kemakmuran. Berbeda dengan yang dijanjikan Bani Abbasiyah, di periode ini bukan saja tidak ada era baru keadilan, ketakwaan dan kemakmuran di masyarakat Islam, bahkan peluang perpecahan semakin besar.

Di tengah-tengah berkecamuknya perpecahan ini, dunia Islam sempat mengalami masa gemilang dan kekuasaan Islam merambah ke Eropa. Namun tak lama kondisi ini berbalik dan era kolonialisme dunia Islam oleh Barat dimulai. Di sisi lain, meski masuknya negara-negara Barat dan Eropa ke negara Islam membuat perpecahan semakin besar, tapi hal ini juga menciptakan peluang bagi sejumlah reaksi positif yang menyeru persatuan. Kebangkitan tersebut serta kebangkitan politik dan sosial di tengah umat Islam dunia tersebut adalah terhadap penguasa despotik di dalam negeri dan kolonialisme asing.

Banyak tokoh yang muncul memberi pencerahan dan menyeru persatuan kepada umat Islam. Di antara mereka adalah Sayid Jamaluddin Asadabadi, Abd al-Rahman al-Kawakibi, Iqbal Lahore dan banyak tokoh lainnya menyadari bahwa akar ketertinggalan umat Islam adalah perpecahan dan perpecahan dunia Islam akibat kinerja para penguasa despotik dan imperalis asing yang terkadang saling bekerja sama. Kebangkitan Islam menentang despotisme dan kolonialisme tidak terbatas pada ideologi, dan muncul dalam pentas politik dan sosial, meski hal ini tidak berhasil menciptakan persatuan sejati di tengah masyarakat Islam.

Jamaluddin Asadabadi

Jamaluddin Asadabadi adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lain, serta pengaruhnya terbesar ditinggalkannya di Mesir. Dia dikenal sebagai seorang pembaharu politik di dunia Islam pada abad sembilan belas. Ia juga perintis modernisme Islam, khususnya aktivisme anti imperialis. Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang luas, dan juga karena menganjurkan dan mempertahankan sejak 1883, bahwa persatuan Islam merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi Barat.

Dia juga tokoh yang pertama kali menganjurkan untuk kembali pada tradisi muslim dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem, mengusik Timur Tengah di abad sembilan belas. Dengan menolak tradisionalisme murni yang mempertahankan Islam secara tidak kritis disatu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap Barat di pihak lain. Asadabadi menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktivitas politik, serta kekuatan militer dan politik.

Sheikh Shaltut

Ia merupakan sosok yang selalu menggeluti dunianya dengan aktivitas keagamaan, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan ketika masih muda, ia sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fikih besar, pembaharu masyarakat, penulis yang hebat, seorang khatib yang hebat dengan penyampaian bahasa yang mudah dipahami, argumentasi yang rasional dan pemikiran yang bijak.

Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, saat Shaltut diutus Majelis Tertinggi Al-Azhar untuk mengikuti muktamar tentang Al-Qanûn Ad-Dauli Al-Muqaran (Perbandingan Hukum Internasional) di Belanda. Dalam muktamar itu, ia sempat mempresentasikan pemikirannya, tentang relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan zaman. Sontak, pandangannya ini mendapat sambutan peserta.

Dalam upaya kontekstualitas Islam, Shaltut mencoba merumuskan suatu konsep yang memudahkan umat Islam. Formulasi itu secara ringkas dapat dijelaskan dalam pandangannya, bahwa Islam sebagai sebuah ajaran tidak pernah tertinggal oleh dinamika zaman dan karenanya akan selalu kontekstual dengan masa. Baginya, Islam adalah syariah dan akidah yang karena keduanya manusia akan menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup.

Berkaitan dengan perbedaan pendapat, Shaltut menilai hal itu sebagai sesuatu yang wajar. Perbedaan pendapat, jelasnya, disebabkan oleh metodologi yang berbeda pada seorang mujtahid dalam memahami nash syar’i, juga cara pandang yang berbeda dalam sebuah masalah, sehingga hasil ijtihadnya pun berbeda. Perbedaan yang muncul akhirnya menjadi sekte atau aliran dan merupakan proses menyejarah. Hal demikian pun terjadi pada zaman nabi dan sahabat. Namun perbedaan itu pada hakikatnya memiliki sasaran yang sama yaitu, upaya pribumisasi Islam.

Karena antara satu mazhab dengan mazhab lainnya, khususnya Sunni dan Syiah, berbeda pandangan dalam memahami nash-nash, Syaltut melontarkan gagasan jalan tengah yang dikenal sebagai Taqrîb Al-Madzâhib (rekonsiliasi mazhab-mazhab). Artinya, kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi pemahaman keagamaan tanpa melihat simbol-simbol aliran yang kita yakini, dan dengan meminimalisir fanatisme mazhab yang selama ini membekas dalam perilaku keagamaan.

Ayatullah Boroujerdi

Ayatullah Boroujerdi, salah satu pelopor persatuan di dunia Islam. Beliau adalah salah satu marji besar Syiah dan penggagas dibentuknya Majelis Pendekatan Antar Mazhab Islam, khususnya antara Syiah dan Sunni. Ide persatuan dunia Islam dan mengabaikan friksi sejarah Sunni-Syiah oleh ulama dan marji besar seperti Imam Khomeini bukan saja sekedar teori, tapi juga dalam praktek dijalankan.

Imam Khomeini

Bertahun-tahun lalu, Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran memanfaatkan rentang waktu perbedaan keyakinan dua mazhab Islam ini untuk menggalang persatuan dan mendekatkan mazhab-mazhab Islam.

Imam Khomeini menetapkan rentang waktu tersebut sebagai pekan persatuan. Dengan demikian untuk selanjutkan, pekan persatuan menjadi moment penting untuk memperkokoh solidaritas dan persatuan di antara umat Islam. Ajaran Islam sendiri sangat menekankan persatuan, tapi sayangnya saat ini kita menyaksikan bentrokan dan konfrontasi serius antar umat Islam. 

 

Imam Jafar Shadiq hidup di masa ketika Dinasti Umayah sedang mengalami kemunduran, dan Dinasti Abbasiyah mulai merebut kekuasaan. Di tengah pertarungan kekuasaan kedua dinasti itu, Imam Shadiq menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Periode kehidupan Imam Shadiq merupakan era pemikiran dan munculnya berbagai aliran dan mazhab. Situasi dan kondisi tersebut menyulitkan masyarakat Muslim untuk menemukan ajaran-ajaran Islam yang benar dan menyeret mereka kepada jalan sesat. Namun cahaya petunjuk Imam Shadiq yang terang benderang telah menyinari sudut-sudut kegelapan pemikiran masyarakat ketika itu.

Baca Biografi Singkat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s

Para ulama dari berbagai mazhab Islam memandang Imam Shadiq sebagai pelopor berbagai ilmu seperti kalam, fikih, tafsir, akhlak dan disiplin ilmu lainnya. Dilaporkan tidak kurang dari empat ribu orang dengan semua perbedaan yang mereka miliki, telah menimba ilmu kepada Imam Shadiq dan menulis berbagai karya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan ketinggian akhlaknya. Imam Shadiq menyebut sesama Muslim sebagai satu saudara, dan mereka tidak boleh bersikap saling memusuhi.

Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq disebutkan bahwa “Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Seorang Muslim adalah cermin dan panduan Muslim lainnya. Seorang Muslim tidak akan pernah mengkhianati, menipu dan menindas Muslim lainnya, dan tidak berbohong kepadanya serta tidak mengghibahnya.”

Imam Shadiq selalu berpesan kepada para pengikut Ahlulbait untuk menjalin hubungan baik dengan para pengikut mazhab Islam lain. Perilaku, perbuatan dan perkataan beliau telah menarik perhatian para pemimpin dan para pengikut berbagai mazhab lainnya. Beliau berkata, “Satu sama lain harus saling mencintai. Mereka berbuat kebaikan kepada sesamanya dan saling menyayangi”.

Baca Pesan Imam Jafar Shadiq tentang Persaudaraan

Imam Shadiq memberikan nasehat kepada para pengikutnya supaya saling mengasihi sesama Muslim. Imam Shadiq berkata, “Sampaikan salam kepada para pengikutku dan katakan kepada mereka Allah swt merahmati hamba-Nya yang mencintai sesama,”.

Di bagian lain statemennya, Imam Shadiq menegaskan solidaritas dan persaudaraan seagama yang berpijak pada tiga faktor. Pertama meninggalkan kedengkian untuk mencegah dan menghindari lemahnya masyarakat Islam, sehingga umat Islam tidak terpecah belah dan tercerai-berai. Faktor kedua, saling meningkatkan ikatan persaudaraan dan solidaritas. Faktor ketiga saling membantu sehingga meningkatkan kemuliaan umat Islam.

Kemuliaan akhlak dan ketinggian ilmu Imam Shadiq telah menarik perhatian Abu Hanifah dan para pemimpin mazhab Ahlusunah lainnya sehingga mereka berbondong-bondong mendatangi beliau untuk memanfaatkan kekayaan ilmu cucu Rasulullah Saw ini.

Abu Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi hadir di kelas-kelas Imam Shadiq selama dua tahun. Terkait hal ini, ia berkata, “Kalau bukan karena dua tahun [menimba ilmu dari Imam shadiq], maka Nu`man (Abu Hanifah) telah celaka.” Malik bin Anas, pemimpin mazhab Maliki mengenai Imam Shadiq berkata, “Belum ada mata yang melihat dan belum ada telinga yang mendengar serta belum ada manusia yang hadir dalam hati, yang lebih baik dari Imam Jafar Shadiq dari sisi keutamaan, ilmu, ibadah, wara` dan ketakwaannya.”

Orang-orang yang hadir dalam majelis ilmu Imam Shadiq mengakui keunggulan beliau di bidang ilmu pengetahuan, meskipun sebagian dari mereka tidak sejalan dengan garis pemikirannya. Imam Shadiq mendidik murid-murid besar di antaranya Hisyam bin Hakam, Muhammad bin Muslim dan Jabir bin Hayan.

Baca Teladan Ukhuwah Guru Besar Imam 4 Mazhab

Sebagian dari mereka memiliki berbagai karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya Hisyam bin Hakam menulis 31 buku. Jabir bin Hayan menulis lebih dari 200 buku dan pada abad pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Mufadhal juga merupakan salah satu murid terkemuka Imam Shadiq yang menulis buku “Tauhid Mufadhal”.

Berbagai kitab sejarah baik dari kalangan Sunni maupun Syiah menjelaskan dialog dan perdebatan ilmiah yang diikuti oleh Imam Shadiq. Menariknya, seluruh perdebatan tersebut tidak berujung debat kusir, apalagi pertengkaran. Imam Shadiq kepada para pengikutnya menekankan prinsip akhlak mulia di berbagai bidang, termasuk ketika berdialog. Beliau sangat menjunjung tinggi pesan al-Quran dalam berdialog untuk menggunakan cara yang baik, atau “Jidal Ahsan”.

Para lawan Imam Shadiq pun mengakui ketinggian akhlaknya. Ketika pihak lawan dalam debat menyampaikan pandangan, beliau mendengarkan argumentasinya hingga selesai, lalu secara singkat menanggapinya. Beliau juga menghormati dan menjaga etika berdebat, kemudian mengemukakan pandangannya dengan kalimat yang benar dan berisi, yang disampaikan secara singkat dan padat. Ketika berdebat, Imam Shadiq membela keyakinannya secara tegas dan terang-terangan, tapi disampaikan dengan cara yang bijaksana.

Imam Shadiq meminta para pengikutnya untuk menghormati sesama Muslim, dan menjaga persatuan Islam. Cucu Rasulullah Saw ini memberikan nasehat kepada salah seorang sahabatnya bernama Zaid bin Hisyam supaya menghormati Ahlusunnah.

Beliau berkata, “Datangilah masjid-masjid mereka dan shalatlah di sana. Jenguklah mereka jika sakit, dan iringilah jenazahnya ketika mereka meninggal. Bersikap baiklah kalian, sehingga mereka datang dan ikut bersama-sama shalat dengan kalian. Jika akhlak kalian demikian, mereka akan berkata inilah pengikut mazhab Jafari; Tuhan merahmati Imam Shadiq yang telah mendidik pengikutnya demikian….. Tapi jika akhlak kalian buruk, maka mereka akan memandang buruk mazhab Jafari, dan menilai sebegitu burukkah Imam Shadiq mendidik para pengikutnya”.

Suatu hari Hisyam bin Hakam menanyakan kepada Imam Shadiq alasan mengapa umat Islam diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji. Imam Shadiq menjawab, “Allah swt menciptakan makhluk supaya mereka menaati aturan agama dan menjauhi yang dilarang agama, demi kemaslahatan hidupnya di dunia. Dalam ibadah Haji terdapat sarana bagi orang-orang yang ada di timur dan barat untuk saling mengenali. Lalu kelompok dan suku yang satu mengunjungi satu kota ke kota lain, sehingga terjalin perniagaan yang menguntungkan di antara mereka… selain itu warisan Rasulullah saw lebih dikenali dan selalu teringat dan tidak akan pernah terlupakan,”

Dalam pandangan Imam Shadiq fondasi kuat dari persatuan Muslim adalah itikad baik dan berbuat baik serta saling membantu. Mengharapkan terwujudnya sebuah umat yang kuat dan terorganisir tanpa infrastruktur moral yang kokoh hanya sekedar penantian sia-sia. Akar perpecahan dan kelemahan masyarakat Muslim harus dilihat dari moralitas umat Islam sendiri.

Selain menekankan masalah akhlak dan persatuan Islam, Imam Shadiq menegaskan mengenai masalah politik dan nasib masyarakat, termasuk mengkritik kinerja buruk pemerintahan lalim yang merugikan masyarakat. 

 

Mengenai Perbedaan Syiah dan Sunni, Imam Khomeini berpendapat sebagai berikut:

Jika terjadi suatu perselisihan di antara bangsa Iran dan bangsa-bangsa lain, atau di antara saudara Sunni dan Syiah, itu akan merugikan kita semua, semua umat muslim. Orang-orang yang ingin menyebabkan perpecahan bukan Syiah ataupun Sunni. Mereka adalah para pemimpin Adi Kuasa dan mereka yang sedang melayaninya. Orang-orang yang mencoba menciptakan perpecahan di antara saudara Sunni dan saudara Syiah kita, adalah kelompok-kelompok yang menyusun rencana diam-diam dengan musuh Islam. Mereka ingin membantu musuh-musuh Islam untuk mengalahkan umat Muslim. Mereka adalah para pengikut Amerika, dan sebagian adalah pengikut USSR. Umat Muslim, di mana pun mereka berada harus sadar bahwa perpecahan di antara suatu negeri di ujung terjauh dunia dan negeri lain di ujung dunia yang lain, tidak berarti perselisihan lokal.

Dunia hari ini tidak seperti yang sebelumnya. Ia tidak akan merupakan soal yang menyangkut bagian dunia yang itu saja. Jika ada perselisihan di antara kalian saudara di Iran, itu akan menjadi perhatian seluruh dunia, dan jika ada perselisihan para saudara Iran dan saudara Irak, yaitu, bangsa Irak, ia merupakan soal yang menyangkut seluruh dunia, bukan soal lokal di antara Iran dan Irak saja. Hal itu dipertimbangkan di seluruh dunia, karena ada orang-orang di dunia yang ingin menaruh keuntungan-keuntungan dunia di kantongnya sendiri dan memaksakan pengendalian mereka ke seluruh dunia, mereka mengeksploitasi segala perpecahan yang mungkin terjadi di antara saudara Syiah dan saudara Sunni di Iran. Demikian pula, jika terjadi perselisihan dintara saudara Iran kita dan dan saudara-saudara yang ada di Pakistan, mereka juga mengekploitasi situasi itu.

Kita harus bangun dan tahu bahwa pertimbangan ilahi mengatakan: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” (Surah al-Hujurat: 10). Di antara mereka tidak ada selain persaudaraan, dan mereka diwajibkan untuk bertingkah laku secara persaudaraan. Membuat semua bangsa Muslim yang berjumlah hampir satu milyar saling bersaudara satu sama lain adalah suatu nilai politis, bila itu terjadi tidak ada kejahatahan yang akan menimpa mereka dan tidak ada kekuatan Adi Kuasa yang akan melampaui mereka.

Wahai saudaraku! Perhatikan hal ini! Mengenai Keharusan Menghindari Segala Perselisihan Sekelompok Muslim adalah Syiah, sekelompok Muslim adalah Sunni, sekelompok adalah Hanafi , sekelompok adalah Hanbali, sekelompok adalah Akhbari. Pada dasarnya sejak awal kelirulah mengusulkan ide seperti itu. Dalam suatu masyarakat di mana semua orang ingin mengabdi pada Islam dan ada untuk Islam, hal-hal demikian tidak boleh diusulkan. Kita semua bersaudara dan bersama-sama. Hanya karena ulamamu mengeluarkan sekumpulan fatwa dan kamu mengikutinya dengan cara meniru, maka kamu menjadi Hanafi . Kelompok yang lain menjadi Shafi’i dan mengikutinya.

Kelompok lain lagi mengikuti fatwa Imam Sadiq dan menjadi Syiah. Ini tidak boleh menjadi penyebab perbedaan. Kita tidak boleh mempunyai perbedaan atau kontradiksi apa pun. Kita semua adalah saudara. Saudara Syiah dan Sunni harus menghindari segala perbedaan. Hari ini, perbedaan-perbedaan kita diinginkan oleh orang-orang yang tidak menganut Syiahisme maupun pada Hanafi atau pada madzhab-madzhab lain. Mereka menginginkan yang ini atau yang itu tidak ada. Cara mereka adalah menyebabkan perbedaan di antara kita. Kita harus menyadari bahwa kita semua adalah Muslim, pengikut Alquran dan tauhid, dan kita harus bekerja keras untuk Alquran dan mengabdi kepada tauhid.

Mengenai Kerjasama Umat Islam Imam Khomeini berkata:

Mereka mencoba dengan sia-sia untuk menciptakan perpecahan. Umat Muslim adalah saudara dan tidak akan dipecah-pecah oleh propaganda jahat dari beberapa unsur yang korup. Asal-usul persoalan mengenai Syiah dan Sunni, yang satu di sisi satunya dan yang lain di sisi yang lain, disebabkan oleh ketaktahuan dan oleh propaganda yang diusahakan oleh pihak asing. Mereka bahkan menyebabkan perpecahan di kalangan Syiah sendiri. Mereka juga melakukan hal yang sama di kalangan madzhab-madzhab Sunni, mengadu domba kelompok yang satu dengan yang lain. Hari ini semua madzhab Muslim sedang menghadapi kekuatan-kekuatan setan yang ingin menumbangkan Islam karena mereka tahu bahwa apa yang dapat membahayakan mereka adalah Islam, dan bahaya terbesar adalah kesatuan bangsa- bangsa Muslim.

Hari ini adalah hari ketika umat Muslim di seluruh dunia harus bersatu. Hari ini bukan hari untuk suatu kelompok di suatu tempat berkata: “Hanya kita”. Hari ini adalah hari ketika semua bersatu berdasarkan aturan Islam dan Penilaian Alquran. Mereka tidak berselisih. Perselisihan di kalangan Muslim, dalam bentuk apa pun, dilarang oleh Alquran. Perselisihan akan membuat mereka gagal dan menghapus kualitas-kualitas menarik dari manusia dan bangsa. Ini adalah perintah Allah, sang Pemurah.

Orang-orang yang mencoba menciptakan perpecahan, tetapi mengklaim sebagai Muslim, belum menemukan Islam yang Kitabnya adalah Alquran, Islam yang qiblahnya adalah Ka`bah. Mereka tidak percaya pada Islam. Orang-orang yang percaya pada Islam adalah orang-orang yang menerima Alquran dan isinya, isi yang mengatakan: “Orang-orang beriman sesungguhnya bersaudara”. Karena itu mereka harus mematuhi apa yang diperlukan persaudaraan. Persaudaraan menghendaki bahwa jika kemalangan terjadi kepadamu semua saudara yang lain, di mana pun berada, harus bersimpati kepadamu. Jika kamu bahagia, semuanya juga bahagia.

Dengan kata lain, umat Muslim percaya kepada Allah yang sama, nabi Muahammad yang sama dan Alquran yang sama jadi mengapa harus ada perbedaan, konflik dan kekerasan melawan satu sama lain? Sebaiknya harus ada toleransi antar-religius, penghargaan kepada keberagaman dan dialog. Oleh karena itu, kaum ulama, yang merupakan anggota berpengaruh di masyarakat dan juga penjaga Islam, mempunyai pengaruh langsung pada komunitas Muslim mulai dari desa hingga negeri, diharapkan bertindak secara bertanggung jawab dan harus menjadi sumber untuk pembangunan kesatuan bukan perpecahan. Di sisi lain, para akademisi perlu melakukan hal yang sama di bidang pendidikan untuk pembentukan kesatuan pikiran, pemikiran dan masyarakat Muslim ditengah-tengah keberagaman.

Realitas sekarang ini bahwa dunia Muslim adalah korban terorisme baik dari luar maupun dari dalam. Hal ini sebagain besar disebabkan oleh campur tangan pihak luar dalam dunia Muslim dan juga perpecahan Muslim. Hanya tekad Muslim kepada kesatuan agama dan ummah dan bekerja untuk memajukan ummatan Muhammadan yang dapat mempersiapkan kita untuk menghadapi dan mengalahkan terorisme.

Ruhollah Khomeini and Hamid Algar, Islam and Revolution: Writings and Declaration of Imam Khomeini (Berkeley, CA: Mizan Press, 1981) yang dikutip dari buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara.

 

Ijtihad

a. Ijtihad Secara Linguistik

Pembahasan sebelumnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [1/4]

Ibn Al-Atsîr berkata: “Ijtihad adalah mengerahkan segala upaya untuk mendapatkan sesuatu. Kata ini adalah bentuk wazan ifti‘âl dari kosa kata juhd yang berarti daya.” [1]

Kata ini digunakan dalam arti tersebut pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat hingga penghujung abad pertama (Hijriah).

Berkenaan dengan hal ini ada beberapa hadis yang telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW berikut ini:

  • Adapun pada saat sujud, maka bersungguh-sungguhlah untuk berdoa, karena doamu pada saat itu akan dikabulkan. [2]
  • Kirimkanlah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. [3]
  • Keutamaan orang alim atas orang yang selalu bersungguh-sungguh (untuk beribadah) adalah seratus derajat. [4]

Diriwayatkan dari Muhammad Al-Qurazhî: “Di kalangan Bani Israil terdapat seorang faqih yang alim dan seorang abid yang selalu bersungguh-sungguh (untuk beribadah).” [5]

Diriwayatkan dari ‘Aisyah: “Rasulullah saw. senantiasa bersungguh-sungguh (dalam beribadah) pada sepuluh malam terakhir di mana beliau tidak bersungguh-sungguh seperti itu pada malam-malam selainnya.” [6]

Dalam hadis Thalhah tentang dua orang yang hidup pada masa Rasulullah SAW disebutkan: “Salah seorang dari mereka lebih bersungguhsungguh daripada yang lain. Kemudian ia mengikuti perang dan syahid.”[7]

Diriwayatkan dari Abu Sa‘îd: “Jika Rasulullah saw. bersumpah dan bersungguh-sungguh dalam sumpahnya, beliau berkat ….” [8]

Pada peristiwa perang Bani Mushthaliq, diriwayatkan dari Abdullah bin Ubay: “Beliau bersungguh-sungguh melaksanakan sumpahnya.” [9]

Ketika seorang sahabat wanita yang bernama Ummu Hâritsah bertanya tentang anaknya kepada Rasulullah saw., ia berkata: “Jika ia berada di dalam surga, maka aku akan bersabar dan jika selain itu, aku akan bersungguhsungguh menangisinya.” [10]

Dari contoh-contoh tersebut dan hadis-hadis serupa lainnya yang serupa dengannya, kita dapat mengetahui bahwa arti yang dapat dipahami dari ijtihad pada abad pertama adalah mengerahkan segala daya dan upaya (untuk mendapatkan sesuatu). Setelah itu, arti kata ijtihad ini berkembang di kalangan muslimin dan menurut istilah mereka, kata itu mengindikasikan usaha untuk menyimpulkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci.

b. Ijtihad Menurut Terminologi Muslimin

Dalam mendefinisikan ijtihad, Al-Ghazâlî berkata: “Ijtihad adalah mengerahkan segala daya dan upaya dalam sebuah aktivitas. Kata ini tidak digunakan kecuali dalam aktivitas yang memerlukan usaha keras dan upaya (yang harus dikerahkan) … Akan tetapi, lambat laun kata ini— di dalam tradisi (‘urf) para ulama— digunakan secara khusus dalam usaha seorang mujtahid untuk mengerahkan segala daya dan upayanya demi mengetahui hukum-hukum syariat ….” [11]

Ad-Dihlawî berkata: “Hakikat ijtihad adalah mengerahkan segala daya dan upaya untuk mendapatkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci—yang secara global adalah kitab, sunah, ijmâ‘, dan qiyâs.” [12]

Muhammad Amin juga mendefinisikan dalil-dalil hukum-hukum syariat demikian dalam bukunya, Taisîr At-Tahrîr. [13]

Inilah arti ijtihad yang terdapat di kalangan para pengikut mazhab Khulafâ’, dan istilah ini juga tersebar di kalangan para ulama pengikut mazhab Ahlulbait as. setelah abad kelima Hijriah. Hal ini disebutkan dalam buku Mabâdi’ Al-Wushûl, karya ‘Allâmah Al-Hillî (wafat 726 H.), pasal kedua belas, pembahasan pertama tentang ijtihad —yang ringkasan-nya— adalah sebagai berikut: “Ijtihad adalah mengerahkan segala daya dan upaya dalam rangka mencari hukum-hukum syariat yang bersifat zhannî (tidak pasti) dengan cara yang tidak berlebihan.

Ijtihad ini tidak dibenarkan bagi Nabi saw. lantaran beberapa hal:

a. Allah swt. berfirman, ‘Dan ia tidak berbicara atas dasar [dorongan] hawa nafsu.’ (QS. An-Najm [53]:4)
b. Ijtihad hanya menghasilkan prasangka (zhann), sedangkan beliau mampu menerima hukum syariat dari wahyu (secara langsung).
c. Dalam menentukan banyak hukum, beliau selalu menahan diri (untuk mengutarakan pendapat) sampai wahyu datang. Seandainya ijtihad diperkenankan bagi beliau, niscaya beliau akan melakukannya.
d. Seandainya ijtihad diperbolehkan bagi beliau, niscaya hal itu juga diperbolehkan atas malaikat Jibril as., dan hal ini akan menutup pintu keyakinan bahwa seluruh ajaran yang telah dibawa oleh Muhammad SAW berasal dari Allah Swt.
e. Ijtihad bisa betul dan juga bisa salah. Dengan demikian, tidak boleh kita menerima seluruh sabda beliau secara ta‘abbudî, karena ijtihad dapat menghilangkan kepercayaan terdapat sabda beliau.

Begitu juga, tidak diperbolehkan—menurut pendapat kami—setiap imam ma‘shûm as. berijtihad, karena mereka adalah ma‘shûm (terjaga dari dosa dan kesalahan) dan mereka hanya mengambil hukum-hukum syariat dari pengajaran Rasulullah SAW.

Adapun para ulama, diperbolehkan bagi mereka untuk berijtihad dengan cara menyimpulkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalil umum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunah dan dengan cara menguatkan (tarjîh) satu dalil di antara dalil-dalil yang saling bertentangan. Adapun dengan cara menyimpulkan hukum dengan jalan qiyâs dan istihsân, maka hal ini tidak diperbolehkan.”[14]

Kita juga melihat ketika para ulama mazhab Ahlulbait as menggunakan istilah ‘ijtihad’ dan ‘mujtahid’, mereka tidak meninggalkan istilah ‘fiqih’ dan ‘faqih’. Tetapi, mereka menggabungkan kedua istilah tersebut, sebagaimana hal itu dilakukan oleh Jamâluddîn, penulis buku Al-Ma‘âlim. Ia berkata di permulaan bukunya—seperti telah kita ketahui bersama: “Dalam bahasa, fiqih adalah pemahaman, dan dalam istilah, adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat furû‘uddîn dari dalil-dalilnya yang terperinci.”

Setelah itu, ia membuka sebuah pasal khusus untuk mendefinisikan ijtihad. Pada pasal yang lain ia menulis: “Di dalam bahasa, ijtihad adalah mengerahkan seluruh daya dan upaya …, dan di dalam istilah, ijtihad adalah mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk mendapatkan sangkaan tentang hukum syariat ….” [15]

Dengan memperhatikan pembahasan-pembahasan sebelumnya, kedua mazhab berbeda pendapat tentang sebagian dalil-dalil hukum syariat, sebagaimana akan kami paparkan pada pembahasan mendatang, insyâ-Allah.

Setelah kita mempelajari kelima istilah itu, kita akan menelaah pandangan kedua mazhab berkenaan dengan masing-masing istilah-istilah tersebut pada pembahasan berikut ini.

Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah

Catatan Kaki

  1. Mabâdi’ Al-WUshûl ilâ ‘Ilm Al-Ushûl, hal. 240-241.
  2. Ma‘âlim Ad-Dîn, pembahasan kesembilan tentang ijtihad dan taklid, hal. 381.
  3. Nihâyah Al-Atsar, karya Ibn Al-Atsîr, kata جهد
  4. Shahîh Muslim, kitab Ash-Shalâh, hadis ke-207; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 219.
  5. Sunan An-Nasa’î, bab Al-Amr bi Ash-Shalâh ‘alâ An-Nabi, jil. 1, hal. 190; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 199, dengan disebutkan secara ringkas.
  6. Al-Muqaddimah Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 100.
  7. Muwaththa’ Mâlik, kitab Al-Janâ’iz, hadis ke-43.
  8. Shahîh Muslim, kitab Al-I‘tikâf, hadis ke-8; Sunan Ibn Mâjah, kitab Ash-Shiyâm, hadis ke-1767.
  9. Sunan Ibn Mâjah, kitab Ar-Ru’yâ, hadis ke-3925; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 163, jil. 2, hal. 323 dan 363, jil. 6, hal. 82, 123, dan 256, dan jil. 5, hal. 40.
  10. Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 33 dan 148.
  11. Shahîh Al-Bukhârî, kitab At-Tafsir, tafsir surat Al-Munafiqun, jil. 3, hal. 136; Shahîh Muslim, kitab Al-Munafiqun, hadis ke-1; Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 373.
  12. Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Jihâd, jil. 2, hal. 92; Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 260 dan 283.
  13. Al-Mushtashfâ fî Ushûl Al-Fiqh, karya Abu Hâmid Muhammad Al-Ghazâlî (wafat 505 H.), cet. Mushthafâ Al-Bâbî, Mesir, tahun 1356 H., jil. 2, hal. 101. Silakan Anda rujuk biografinya dalam buku Kasyf Azh-Zhunûn, jil. 2, hal. 1673, dan rujuk juga Al-Ahkâm, karya Al-Âmidî, jil. 4, hal. 141.
  14. Pendapat ini dinukil oleh Muhammad Farîd Wajdî di dalam Dâ’irah Ma‘ârif Al-Qarn Al-‘Isyrîn, jil. 3, hal. 236 dari sebuah makalah berjudul Al-Inshâf fî Bayân Al-Ikhtilâf, karya Ahmad bin Abdurrahim Ad-Dihlawî Al-Fârûqî Al-Hanafî, seorang ahli hadis dan faqih (wafat 1176 atau 1179 H.). Biografinya terdapat dalam buku, karya Az-Zarkulî, jil. 1, hal. 144.
  15. Buku aslinya berjudul At-Tahrîr fî Ushûl Al-Fiqh, karya ‘Allâmah Kamâluddîn Muhammad bin Abdul Wâhid yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hamâm Al-Hanafî (wafat 861 H.). Buku ini telah disyarahi oleh muridnya, Al-Fâdhil Muham-mad bin Muhammad bin Amirul Hâj Al-Halabî Al-Hanafî (wafat 879 H.), dan syarah ini juga disyarahi oleh Muhammad Amin yang lebih dikenal dengan nama Amir Badsyâh Al-Bukhârî, yang berdomisili di Mekkah dan memberinya judul Taisîr At-Tahrîr. Dalam, hal ini, kami telah merujuk cet. Mushthafâ Al-Bâbî. Mesir, tahun 1351 H., jil. 1, hal. 171. Silakan Anda rujuk biografi mereka dalam buku Kasyf Azh-Zhunûn, jil. 2, hal. 358.

 

Fiqih

sebelumnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [1/5]

Secara Linguistik, fiqih—seperti disebutkan di dalam kamus-kamus (bahasa Arab)—adalah pemahaman. Fiqih di dalam di dalam kitab dan sunah, penjelasannya adalah sebagai berikut:

Allah Swt berfirman: Mengapa tidak pergi dari beberapa golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka [liyatafaqqahû] tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apa mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Rasulullah SAW bersabda: “Semoga Allah membahagiakan seorang hamba yang mendengar sabdaku ini, lalu menyampaikannya. Alangkah banyak-nya pembawa fiqih yang ia sendiri tidak faqih dan alangkah banyaknya pembawa fiqih kepada orang yang bisa lebih faqih dari dirinya.”[1]

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Satu orang faqih lebih berat atas setan daripada seribu orang ‘abid.”[2]

Beliau bersabda: “Orang yang faqih dalam agama Allah dan bermanfaat terhadapnya ajaran yang Allah telah mengutusku untuk mengembannya, lalu ia mengetahui dan mengajarkan (adalah lebih berat bagi setan).”[3]

Rasulullah SAW bersabda: “Orang terbaik di kalangan kamu adalah orang-orang yang paling terpuji akhlaknya jika mereka faqih (dalam agama).”[4]

Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang yang terbaik pada masa Jahiliyah adalah orang terbaik pada periode Islam jika mereka faqih (dalam agama).”[5]

Rasulullah bersabda: “Dua karakteristik tidak akan pernah berkumpul dalam diri seorang munafik: kebaikan dalam cara hidup dan kepahaman dalam agama.”[6]

Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan atasnya, Dia akan memberikan kepahaman yang dalam tentang agama.” [7]

Rasulullah bersabda: “Ada beberapa orang yang akan datang kepadamu dari segala penjuru dunia yang mereka memiliki kepahaman (fiqih) dalam agama. Jika mereka datang kepadamu, maka mintalah wasiat kebaikan kepada mereka.” [8]

Rasulullah saw. pernah berdoa untuk Ibn Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepahaman kepadanya tentang agama.” [9]

Di dalam dialog-dialog yang pernah terjadi antara Ahlulbait  dan para sahabat sepeninggal Rasulullah SAW juga telah disebutkan sebagai berikut ini:

Imam Ali as. bertanya kepada para sahabat: “Ketahuilah, maukah kuberitahukan kepadamu tentang seorang faqih yang sejati?” Mereka menjawab: “Iya, wahai Amirul Mukminin.” Beliau melanjutkan: “Dia adalah orang yang tidak membuat orang lain putus asa terhadap rahmat Allah, tidak memberikan rasa aman terhadap siksa Allah, dan tidak mengizinkan mereka untuk berbuat maksiat kepada Allah.”[10]

Yahya bin Sa‘îd Al-Anshârî berkata: “Aku tidak pernah menjumpai fuqaha di dunia kita ini kecuali mereka mengucapkan salam pada setiap dua waktu di siang hari.” [11]

Umar berkata: “Perdalamlah (agama) sebelum kamu menjadi pemimpin.”[12] Barang siapa diangkat oleh kaumnya menjadi pemimpin berdasarkan pemahamannya (terhadap agama), maka ia akan menjadi sumber kehidupan bagi dirinya sendiri dan bagi mereka, dan barang siapa diangkat oleh kaumnya menjadi pemimpin bukan atas dasar pemahamannya (terhadap agama), maka ia akan menjadi sumber kebinasaan bagi dirinya sendiri dan bagi mereka. [13]

Ketika menjelaskan karakteristik Ibn Abbas, Ibn Abdurrahman berkata: “Ia adalah seorang qârî kitab Allah dan seorang faqih dalam agama Allah.” [14]

Di dalam Sunan Ad-Dârimî, bab Ikhtilâf Al-Fuqahâ’ disebutkan: “Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat ke seluruh penjuru negara Islam supaya setiap kaum menentukan hukum sesuai dengan pendapat yang disepakati oleh para faqih mereka.” [15]

Dalam kitab itu juga disebutkan: “Jika mereka duduk pada salat Isya’, mereka duduk (sambil mendiskusikan) fiqih”, [16]

“Tidak ada masalah kita begadang malam demi memperdalam fiqih”,[17] dan “Mereka selalu mem-bentuk majelis pada malam hari dan mendiskusikan masalah fiqih.” [18]

Hal ini juga disebutkan di dalam kitab Shahîh Al-Bukhârî, bab As-Samr fî Al-Fiqh. [19] Asy-Sya‘bi berkata: “Ketika ‘Adî bin Hâtim tiba di Kufah, kami mendatanginya bersama beberapa orang faqih penduduk Kufah.” [20]

Diriwayatkan dari ‘Imrân Al-Minqarî bahwa ia pernah memprotes Hasan berkenaan suatu ucapannya seraya berkata: “Hai Abu Sa‘îd, bukan demikian pendapat fuqaha.” Ia menimpali: “Celaka engkau. Engkau belum pernah melihat seorang faqih sama sekali. Seorang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, selalu merindukan akhirat, memahami agamanya, dan selalu menghamba kepada Tuhannya.” [21]

Ini adalah sebagian hadis yang telah disebutkan dalam buku-buku referensi hadis mazhab Khulafâ’. Hadis-hadis tentang masalah ini juga disebutkan dalam buku-buku referensi mazhab Ahlul Bait as. berikut ini:

a. Rasulullah saw. bersabda: “Fuqaha adalah orang-orang kepercayaan para rasul selama mereka tidak masuk dalam urusan dunia” [22] dan “Barang siapa menghafal untuk kepentingan umatku empat puluh hadis tentang agama mereka dan memanfaatkannya demi urusan agama mereka, maka Allah akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan faqih dan alim.” [23]

b. Di dalam Nahjul Balâghah, Imam Ali berkata: “Barang siapa melakukan perdagangan tanpa berbekal fiqih, maka ia akan tenggelam ke dalam lautan riba”, [24] “… dan musim semi bagi kalbu fuqaha”,[25]  “Dan perdalamilah pemahaman tentang agama.”[26]

c. Imam Ash-Shâdiq as. berkata: “Aku akan meletakkan cemeti di atas kepala para sahabatku sehingga mereka memperdalam pengetahuan tentang halal dan haram”[27] dan “Setiap individu dari kamu tidak akan menjadi seorang faqih sehingga ia mengetahui seluk-beluk ucapan kami.” [28]

Begitu ucapan beliau: “Jika ada di antara fuqaha yang menjaga dirinya, memelihara agamanya, menentang hawa nafsunya, dan menaati perintah Tuhannya, maka bagi masyarakat awam untuk mengikutinya.” [29]

Ini semua adalah arti kata fiqih di dalam kitab dan sunah. Setelah itu, istilah fiqih di kalangan mazhab Ahlul Bait as. hanya dikhususkan untuk sebuah disiplin ilmu tentang hukum-hukum syariat yang disimpulkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Di dalam Ma‘âlim Ad-Dîn yang lebih dikenal dengan nama Ma‘âlim Al- Ushûl, Jamâluddîn Hasan bin Zainuddîn (wafat 1011 H.) berkata: “Secara Linguistik, fiqih berarti pemahaman, dan secara terminologis, fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang termasuk kategori furû‘uddîn dengan disimpulkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.” [30]

Yang ia maksud dengan terminologi (istilah) di sisi adalah terminologi para ulama mazhab Ahlulbait as.

bersambung………

Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah

Catatan Kaki

Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab 18 Man Balagha ‘Ilman, hadis ke-23, 231, dan 236 dan kitab Al-Manâsik, bab Al-Khuthbah Yaum An-Nahr; Sunan Abi Dâwûd, bab Fadhl Nasyr Al-‘Ilm, hadis ke-3660 dan bab 10; Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-‘Ilm, bab 7 Mâ Jâ’a fî Al-Hats ‘alâ Tablîgh As-Simâ‘, jil. 10, hal. 124 dan 136; Sunan Ad- Dârimî, Al-Muqadimah, bab 24, jil. 1, hal. 74-76; Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 225, jil. 4, hal. 80 dan 82 dan jil. 5, hal. 173.
Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-‘Ilm, bab Mâ Jâ’a fî Fadhl Al-Fiqh ‘alâ Al-’Ibâdah, jil. 10, hal. 154.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab al’Ilm, bab 20, jil. 1, hal. 18; Shahîh Muslim, kitab Al- Fadhâ’il, hadis ke-15; Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 399.
Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 467, 469, dan 481.
Shahîh Al-Bukhârî, jil. 2, hal. 175; Shahîh Muslim, kitab Al-Fadhâ’il, bab Khiyâr An-Nâs, hadis ke-199; Sunan Ad-Dârimî, Al-Muqadimah, bab 24, hal. 73; Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 257, 260, 391, 431, 485, 498, 525, 539, jil. 3, hal. 367 dan 383 dan jil. 4, hal. 101.
Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-‘Ilm, bab Mâ Jâ’a fî Fadhl Al-Fiqh ‘alâ Al-’Ibâdah, jil. 10, hal. 157.
Shahîh Al-Bukhârî, jil. 1, hal. 16; Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 74; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 306, jil. 2, hal. 234, jil. 4, hal. 91, 93, 95-99, dan 101.
Sunan At-Tirmidzî, jil. 10, hal. 119; Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab 22.
Shahîh Al-Bukhârî, jil. 1, hal. 28; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 266, 314, 328, dan 335.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 89; Al-Kâfî, jil. 1, hal. 36; Tuhaf Al-‘Uqûl, bab Mâ Ruwiya ‘an Amiril Mukminin, pasal Wa Ruwiya ‘anhu fî Qishâr Hâdzihil Ma‘ânî; Ma‘ânî Al-Akhbâr, karya Ash-Shadûq, bab Ma‘nâ Al-Faqîh Haqqan; Kanz Al- ‘Ummâl, kitab Al-‘Ilm, bab At-Targhîb fîhi, jil. 10, hal. 103, hadis ke-278; Hilyah Al- Awliyâ’, jil. 1, hal. 77; Bihâr Al-Anwâr, jil. 17, hal. 407.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab At-Tahajjud, bab 25, jil. 1, hal. 141.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-‘Ilm, jil. 1, hal. 16; Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 79.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 79.
Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 349.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 151.
ibid., hal. 149.
Ibid., hal. 150.
Ibid.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Mawâqît, bab 40, jil. 1, hal. 79.
Sunan Ibn Mâjah, hadis ke-87.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 89.
Bihâr Al-Anwâr, jil. 2, hal. 110.
Ibid., hal. 156, hadis ke-10. Begitu juga hadis ke-9 serupa dengannya.
Nahjul Balâghah, Hikmah, no. 447, jil. 3, hal. 259.
Ibid. ketika beliau menjelaskan karakteristik Alquran, Pidato ke-196, jil. 2, hal. 252.
Ibid. Wasiat Imam Ali kepada Imam Hasan, no. 31, jil. 3, hal. 42.
Al-Mahâsin, karya Al-Barqî, hadis ke-161; Bihâr Al-Anwâr, cet. Amin adh-Dharb, jil. 1, hal. 66.
Bihâr Al-Anwâr, jil. 2, hal. 184, hadis ke-5.
Safînah Al-Bihâr, jil. 2, hal. 381, kata [فقه.[
Ma‘âlim Ad-Dîn, dengan penelitian ulang oleh Abdul Husain Muhammad Ali Al- Baqqâl, hal. 66.

Alquran

Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan…

Nahjolbalaghe

Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009, IMAM ALI DAN HAK…