کمالوندی

کمالوندی

 

Sunah Dan Bid‘ah

Baca sebelumnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [1/5]

Sunah dan bid‘ah adalah dua istilah yang mengetahui arti salah satunya tergantung kepada yang lain, dan untuk memahami suatu penggunaan kita juga perlu membandingkan antara keduanya. Penjelasan kedua istilah ini adalah sebagai berikut:

Sunah

Secara Linguistik, sunah berarti metode dan cara jalan hidup (tharîqah wa sîrah), baik yang terpuji maupun yang tercela. Dan di dalam syariat Islam, sunah adalah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan
oleh Rasulullah saw., baik berupa ucapan maupun tindakan, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an yang mulia.

Arti ini juga meliputi seluruh persetujuan (taqrîr) beliau, yaitu beliau melihat seorang muslim mengerjakan suatu amalan dan tidak melarangnya. Dengan tindakan diam tersebut, beliau telah melegitimasi keabsahan amalan itu. [1] Oleh karena itu, disebutkan bahwa dalil-dalil (yang diakui dalam) syariat Islam adalah kitab dan sunah, yaitu Alquran dan hadis.

Bid‘ah

Secara Linguistik, Bid’ah adalah sesuatu yang diciptakan untuk pertama kalinya. Bid‘ah di dalam agama adalah mengucapkan suatu ucapan atau melakukan suatu tindakan di mana pengucap dan pelakunya tidak mengikuti pemilik syariat dalam semua itu.

Sunah Sebagai Salah Satu Sumber Syariat Islam

Sunah Rasulullah SAW termasuk salah satu dari sumber-sumber syariat lantaran firman-firman Allah Swt.

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 7)

Dan tiadalah ia berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan [kepadanya].” (QS. An-Najm: 3-4)

Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzâb: 21)

Katakanlah: “Jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali ‘‘Imrân: 31)

Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummî yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia ….” (QS. Al-A‘râf: 158)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain. Di dalam banyak hadis juga disebutkan bahwa beliau menganjurkan
muslimin untuk mengikuti sunah beliau dan melarang mereka untuk menentangnya. Seperti sabda beliau: “Barang siapa yang membenci sunahku, maka ia bukanlah dari aku.”

Atas dasar ini, sunah adalah sebuah istilah Islami dan hakikat syar‘î, dan cara penyampaian sunah Rasulullah SAW, yaitu sirah, hadis, dan persetujuan beliau, kepada kita hanya terbatas melalui hadis-hadis yang telah diriwayatkan dari beliau sendiri dan telah dibukukan pada masa kita sekarang ini dalam buku-buku referensi hadis, sirah, tafsir, dan sumber-sumber kajian Islam lainnya, seperti hadis-hadis berikut ini:

Di dalam hadis ‘Aisyah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Pernikahan adalah sunahku. Barang siapa tidak mengamalkan sunahku, ia bukan dariku.”[2]

Diriwayatkan dari ‘Amr Al-Muzanî bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menghidupkan sebuah sunah dari sunah-sunahku dan orang lain mengamalkannya, ia akan memiliki pahala seperti pahala orang yang
mengamalkannya dan Allah tidak akan mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa menciptakan bid‘ah dan diamalkan oleh orang lain, ia akan menanggung dosa orang yang telah mengamalkannya dan Allah tidak akan mengurangi dosa-dosa orang yang telah mengamal-kannya sedikit pun.”

Menurut sebuah riwayat: “Barang siapa menghidupkan sebuah sunah dari sunah-sunahku yang telah dilupakan setelahku ….”[3]

Diriwayatkan dari Jâbir bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ammâ ba‘du. Sesungguhnya sebaik-baik segala sesuatu adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk segala sesuatu adalah sesuatu yang dibid‘ahkan, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.”

Menurut sebuah riwayat: “Sesungguhnya petunjuk yang paling utama adalah petunjuk Muhammad SAW ….”[4]

Diriwayatkan dari Ibn Mas‘ûd bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Akan menguasai urusanmu setelahku orang-orang yang memadamkan sunah, mengamalkan bid‘ah, dan mengakhirkan salat dari waktunya.” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, jika aku sempat hidup bersama mereka, apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab: “Engkau bertanya kepadaku tentang apa yang harus kau lakukan, hai anak Ummi ‘Abd? Tiada ketaatan terhadap orang yang menentang Allah.”[5]

Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah enggan untuk menerima amalan seorang pelaku bid‘ah sehingga ia meninggalkan bid‘ahnya.”[6]

Diriwayatkan dari Hudzaifah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah tidak akan menerima puasa, salat, sedekah, haji, umrah, jihad, amalan sunah, dan amalan wajib seorang pelaku bid‘ah. Ia keluar dari Islam sebagaimana sehelai rambut keluar dari adonan tepung.”[7]

Allah swt. menyebutkan bid‘ah di dalam firman-Nya: “Dan mereka mengada-adakan rahbâniyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka.” (QS. Al-Hadid: 27)

Kesimpulan

Syariat Islam adalah segala sesuatu yang terdapat di dalam kitab dan sunah, serta seluruh ajaran yang disimpulkan dari keduanya. Bid‘ah adalah segala ajaran yang dimasukkan ke dalam agama menurut pendapat seseorang yang tidak terdapat di dalam kitab dan sunah, serta tidak juga disimpulkan dari keduanya, meskipun kita menyebutnya sebagai ijtihad, mashâlih mursalah, atau Islam modern yang sesuai dengan perkembangan zaman—seperti istilah orang-orang masa kini. Seluruh ancaman yang terdapat di dalam hadis-hadis Rasulullah saw. tentang bid‘ah dapat diterapkan atasnya.

Bersambung……….

Catatan Kaki

Sunan Abu Dâwûd, jil. 2, hal. 274-275. Diriwayatkan dari seorang sahabat yang bernama Sahl bin Sa‘d: “Segala perbuatan yang pernah dilakukan di hadapan Nabi SAW. (dan beliau tidak melarangnya) adalah sunah.”
Sunan Ibn Mâjah, kitab An-Nikâh, bab Mâ Jâ’a fî Fadhl An-Nikâh, hal. 592, hadis ke-1845.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab Man Ahyâ Sunah, hadis ke-209-210; Sunan At-Tirmidzî, jil. 1, hal. 147-148.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab Ijtinâb Al-Bida‘, hal. 17, hadis ke-45. Hadis kedua terdapat di dalam Sunan Ad-Dârimî, Al-Muqadimah, bab Ijtinâb Al-Bida‘, jil., hal. 69, hadis ke-45.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, kitab Al-Jihâd, bab Lâ Thâ‘ah fî Ma‘shiyatillâh, hal. 956, hadis ke-2865; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 400.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab 17, hal. 19, hadis ke-49 dan 50.
Ibid.
Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah

 

Lima Istilah Keislaman

Dalam usaha menelaah sumber-sumber syariat Islam menurut dua mazhab, kita akan memulainya dengan mempelajari lima istilah berikut ini:

Alquran.
Sunah.
Bid‘ah.
Fiqih.
Ijtihad.
Setelah itu, kita akan menelaah pandangan kedua mazhab tentang masing-masing istilah itu. Di sela-sela pembahasan, kita juga akan menelaah beberapa istilah lain yang berkaitan, insyâ Allah.

Alquran

Alquran adalah firman Allah yang telah diturunkan kepada pamungkas para nabi-Nya secara berangsur-angsur, kebalikan dari syair dan prosa (natsr) yang terdapat di dalam bahasa Arab. Atas dasar ini, bahasa Arab dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori: Alquran, prosa, dan syair. [1]

Sebagaimana buku yang memuat sekumpulan syair seorang penyair (dîwân) disebut syiar, kasidah yang terdapat di dalamnya dinamakan syair, satu bait dari sebuah syair disebut syair, dan separuh bait syair juga dinamakan syair, begitu juga seluruh isi Alquran disebut Alquran, satu surah juga dinamakan Alquran, dan satu ayat juga disebut Alquran, serta kadang-kadang sebagian ayat juga disebut Alquran,[2] seperti ayat yang berfirman:

“Dan dari apa yang telah kami anugerahkan kepada mereka” yang terdapat di dalam surah Al-Baqarah. Alquran dengan arti seperti ini adalah sebuah istilah Islami dan hakikat syar‘î. Hal ini dikarenakan sumber dari seluruh penggunaan itu adalah penyebutannya di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw. yang mulia.

Nama-Nama Lain Alquran

Para ulama telah berhasil menemukan nama-nama lain bagi Al-Qur’an dalam Al-Qur’an itu sendiri. Nama-nama itu—sebenarnya—termasuk dalam kategori menyebutkan sesuatu dengan sifat-sifatnya (dzikr Asy-syai’ bi shifâtih).

Di antara nama-nama Al-Qur’an yang termasyhur adalah ‘Kitab’. Allah swt. berfirman: “Itulah Al-Kitab, tiada keraguan padanya.” (QS. Al-Baqarah:2)

Yang dimaksud dengan ‘Al-Kitab’ di sini adalah Al-Qur’an yang terdapat di tangan muslimin, bukan kitab Taurat milik para pengikut agama Yahudi dan kita Injil milik para pengikut agama Kristiani. Dia telah menegaskan maksud dari ‘Al-Kitab’ tersebut dengan membubuhi alif dan lam ‘ahd di depannya.

Kosa kata ‘Al-Kitab’ juga disebutkan di dalam Al-Qur’an dan yang dimaksud darinya adalah kitab Taurat. Allah swt. berfirman: “Dan sebelumnya [terdapat] kitab Mûsâ.” Di sini, Dia telah menegaskan maksudnya dengan menyandarkan kata tersebut kepada pemilik kitab tersebut. Di kalangan para ahli ilmu Nahwu, buku Nahwu karya Sibawaeh dikenal dengan sebutan ‘Al-Kitab’. Penulis buku Kasyf azh-Zhunûn, bab Al- Kitab menulis: “Kitab Sibawaeh di dalam ilmu Nahwu: kitab Sibawaeh ini disebut ‘Al-Kitab’ karena kemasyhuran dan keutamaannya di dalam bidang ilmu di kalangan para ahli ilmu Nahwu. Di kota Bashrah sering disebutkan, Si Polan telah membaca Al-Kitab.’ Diketahui oleh khalayak bahwa kitab itu adalah kitab Sibawaeh. Atau, ‘Ia telah membaca setengah Al-Kitab.’ Mereka tidak ragu bahwa kitab itu adalah kitab Sibawaeh ….’

Abul Hasan Ali bin Muhammad yang dikenal dengan nama Ibn Khurûf An-Nahwî Al-Andalusî Al-Asybîlî (wafat 609 H.) telah menulis syarah atas buku Sibawaeh ini dan memberinya judul Tanqîh Al-Abwâb fî Syarh Ghawâmidh Al-Kitâb. Abul Baqâ’ Abdullah bin Husain Al-‘Ukburî Al-Baghdâdî Al-Hanbalî (wafat 616 H.) telah menulis syarah atas syair-syair yang terdapat dalam buku Sibawaeh tersebut dan nama bukunya adalah Lubâb Al-Kitâb.

Abu Bakar Muhammad bin Hasan Az-Zubaidî Al-Andalusî Al-Asybîlî (wafat 380 H.) juga mempunyai syarah atas buku Sibawaeh ini yang berjudul Abniyah Al-Kitâb.” [3]

Atas dasar ini, ‘Al-Kitab’ bukanlah sebuah nama yang khusus dimiliki oleh Alquran, tidak di dalam Al-Qur’an dan tidak juga di dalam tradisi (‘urf) muslimin. Di antara nama-nama Al-Qur’an itu adalah ‘Nur’. Allah swt. Berfirman: “Dan Kami telah menurunkan kepadamu cahaya yang benderang.” (QS. An-Nisâ’ : 174)

Nama yang lain adalah ‘Maw‘izhah’. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya telah datang nasihat [baca: pelajaran] kepadamu.” (QS. Yunus : 57)

Begitu juga, ‘Karim’. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya ia adalah Al-Qur’an yang mulia.”

Nama-nama yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an itu — sebenarnya—bukanlah nama Al-Qur’an (yang sesungguhnya). Semua nama itu hanya digunakan untuk mengungkapkan sifat-sifat Al-Qur’an.

Di antara nama-nama Al-Qur’an yang terdapat di kalangan para pengikut mazhab Khulafâ’ adalah ‘Mushaf’. Kosa kata ini tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan juga tidak di dalam hadis Nabi saw.

Az-Zarkasyî dan selainnya meriwayatkan: “Ketika Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an, ia berkata, ‘Berikanlah nama untuknya.’ Sebagian dari mereka berkata, ‘Namailah dengan Injil.’ Mereka tidak setuju. Sebagian dari mereka berkata, ‘Namailah dengan Sifr.’ Mereka tidak setuju, karena nama itu adalah nama yang telah digunakan oleh para pengikut agama Yahudi. Ibn Mas‘ûd berkata, ‘Aku pernah melihat sebuah kitab milik penduduk Habasyah dan mereka menamakannya Mushaf.’ Akhirnya, mereka menamakannya dengan nama itu.” [4]

Dengan demikian, penamaan Al-Qur’an dengan ‘Mushaf’ termasuk penamaan yang dilakukan oleh muslimin dan termasuk istilah yang ditentukan oleh muslimin, bukan istilah Islami dan hakikat syar‘î.

Kondisi nama ‘mushaf’ dalam penamaan ini tidak berbeda dengan kondisi syârî di kalangan kaum Khawârij. Menurut mereka, syârî adalah nama bagi setiap orang yang mempersiapkan dirinya untuk memerangi muslimin. Di selain kalangan kaum Khawârij, kata ini berarti musytarî (pembeli) sebagai lawan kata bâ’i‘ (pembeli) dalam transaksi jual beli. Jika kita menemukan ungkapan syârî di dalam ucapan selain kaum Khawârij, kita dapat memahami bahwa kata itu berarti musytarî (pembeli), bukan orang yang telah menyiapkan dirinya untuk memerangi muslimin. Sebaliknya, di kalangan kaum Khawârij.

Begitu juga halnya dengan kata mabsûth di kalangan penduduk Suriah dan Irak. Di kalangan penduduk Irak, kata ini berarti madhrûb (orang yang dipukul) dan di kalangan penduduk Suriah, kosa kata ini berarti masrûr (orang yang berbahagai). Jika kata itu disebutkan di dalam percakapan penduduk Suriah, kita akan mengetahui bahwa artinya adalah orang yang berbahagia dan jika ia disebutkan di dalam percakapan penduduk Irak, kita akan mengetahui bahwa artinya adalah orang yang dipukul.

Atas dasar ini, jika kata ‘Mushaf’ disebutkan di dalam percakapan para pengikut mazhab Khulafâ’, kata ini memiliki arti Al-Qur’an yang mulia, dan jika ia disebutkan di dalam percakapan para pengikut mazhab Ahlul Bait as. dan mereka mengatakan ‘Mushaf Fathimah’, sebagaimana mereka juga mengungkapkan Ash-Shahîfah As-Sajjâdiyah untuk buku doa Imam As-Sajjâd yang sudah terkenal dan dicetak itu, maka maksud dari ungkapan itu adalah kitab Fathimah dan kita Imam As-Sajjâd.

Selanjutnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [2/5]

Catatan Kaki

1.  Ini adalah salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an., hal itu lantaran ucapan seluruh umat manusia dalam setiap bahasa tersusun dalam bentuk syair atau prosa. Sementara itu, Al-Qur’an dalam bahasa Arab tidak tersusun dalam bentuk syair atau pun syair. Tetapi, kitab ini adalah Al-Qur’an yang tersusun dalam bahasa Arab yang nyata, yaitu
kalam Allah Yang Maha Agung, bukan termasuk ucapan Bani Adam.

2.  Al-haml wa at-tabâdur (kelayakan sebuah kata untuk dijadikan obyek dan kemunculan arti di dalam benak ketika kita mendengarnya—pen.) adalah sebuah pertanda akan kehakikian arti sebuah kata, sebagaimana telah dipaparkan oleh para ulama dalam buku-buku pembahasan ilmiah.

3. Kasyf Azh-Zhunûn, karya Haji Khalifah Musthafa bin Abdullah (wafat 1076 H.), cet. Turki, jil. 2, hal. 1427-1428. Sibawaeh adalah Abu Mubasysyir atau Basyar ‘Amr bin Utsman bin Qanbar Al-Bashrî, budak Bani Hârits bin Ka‘b. Ia meninggal dunia pada tahun 180 Hijriah.

4.  Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, karya Az-Zarkasyî (wafat 794 H.), cet. Kairo, bab
kelima belas: Mengenal Nama-Namanya, jil. 1, hal. 273 dan 276.

Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah

Senin, 24 Februari 2020 12:07

Pandangan Sunni Dan Syiah Tentang Alquran

 

Kepedulian Rasulullah SAW dan Para Sahabat untuk Pengumpulan dan Penulisan Alquran

Rasulullah SAW selalu membacakan di hadapan orang-orang yang hadir setiap kali ayat Alquran turun kepada beliau dan menafsirkan ayat-ayat
yang memerlukan penafsiran. Beliau juga mendiktekan ayat-ayat tersebut kepada Imam Ali secara khusus dan memerintahkannya supaya menulisnya,
sebagaimana hal itu akan kami paparkan di sela-sela pembahasan-pembahasan buku ini, insyâ Allah.

Ketika beliau berhijrah ke Madinah, beliau menganjurkan muslimin untuk belajar menulis, dan mereka pun bergegas untuk mempelajarinya. Beliau menganjurkan mereka untuk menulis dan menghafal AlQuran, dan mereka pun berlomba-lomba untuk menulis dan menghafalkannya. Mereka menulis ayat-ayat yang telah mereka terima di atas benda-benda yang mereka dapatkan, seperti kulit binatang dan selainnya. Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada mereka nama-nama setiap surah dan tempat (urutan) setiap surah sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah kepada beliau.

Ketika beliau wafat, di Madinah terdapat puluhan sahabat yang telah hafal seluruh Alquran dan juga banyak di antara mereka yang telah menulisnya. Hanya saja, Alquran yang mereka miliki itu tidak tertulis secara rapi seperti Alqur’an yang ada pada masa kini. Alquran itu hanyalah berupa potongAn-potongan dan lembaran-lembaran yang digunakan oleh mereka untuk menulisnya di atasnya.

Ketika Rasulullah SAW meninggal dunia, Imam Ali as bergegas menyusun Alquran dalam sebuah buku yang rapi, sebagaimana juga beberapa orang sahabat lainnya, seperti Ibn Mas‘ûd memiliki satu naskah Alquran yang sudah tersusun secara rapi. Khalifah Abu Bakar pun memerintahkan beberapa orang sahabat untuk menyusun Alquran dalam sebuah buku yang rapi. Setelah usai, ia menitipkannya di tangan Ummul Mukminin Hafshah hingga masa Utsman berkuasa. Ketika ia berkuasa, penaklukan-penaklukan negara-negara lain meluas, dan muslimin tersebar (di seluruh penjuru dunia), ia memerintahkan untuk memperbanyak beberapa naskah Alquran dengan mencontoh naskah yang terdapat di tangan Hafshah dan menyebarkannya ke seluruh negeri muslimin. Muslimin pun menyalinnya sesuai dengan naskah tersebut dan menggunakannya generasi demi generasi hingga masa kita hari ini. Tidak satu naskah pun yang dimiliki oleh muslimin—di masa manapun—selain naskah tersebut dan tidak ada satu pun naskah yang dimiliki oleh muslimin pada satu masa pun yang memuat tambahan atau pengurangan kalimat dari Alqur’an yang sekarang digunakan oleh mereka.

Realita ini sama di kalangan mereka, baik di kalangan kaum Ahli Sunah maupun Syi‘ah, baik di kalangan kaum Asy‘ariyah maupun kaum Mu‘tazilah, baik di kalangan mazhab Hanafiah, Syâfi‘iah, Hanbaliah, Mâlikiah, Zaidiah, Imâmiah maupun Wahabiah dan Khawârij. Tidak satu pun dari aliran dan mazhab-mazhab itu yang memiliki Alquran di dalamnya terdapat tambahan satu kalimat atau kekurangan satu kalimat, atau urutan surah dan ayat-ayatnya berbeda dengan Alquran
yang biasa dipakai oleh muslimin pada masa kini. Adapun kekurangan Alquran sebagaimana yang terdapat di dalam sebagian buku-buku referensi hadis, kekurangan yang diklaim itu hanya menetap buku-buku hadis tersebut dan tidak berpindah ke satu naskah pun dari naskah-naskah Alquran yang ada. Seperti hadis yang terdapat di dalam Enam Kitab Sahih (Ash-Shihâh As-Sittah); Shahîh Al-Bukhârî, Shahîh Muslim, Sunan Abi Dâwûd, Sunan At-Tirmidzî, Sunan Ibn Mâjah, Sunan Ad- Dârimî, dan buku-buku hadis selainnya berikut ini:

Diriwayatkan dari Khalifah Umar ra. bahwa ia berkata di atas mimbar: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW dengan membawa kebenaran dan menurunkan kepadanya Alquran. Di antara ayat-ayat yang telah Allah turunkan adalah ayat Rajam. Kami pernah membaca, merenungkan, dan memahaminya. Rasulullah SAW pernah merajam dan kami pun juga pernah merajam sepeninggal beliau. Aku khawatir jika beberapa masa berlalu atas umat ini dan salah seorang dari mereka akan mengatakan, ‘Demi Allah, kami tidak pernah menemukan ayat Rajam di dalam kitab Allah.’ Dengan demikian, mereka akan tersesat lantaran
meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah itu. Hukuman rajam atas orang yang berzina dalam keadaan muhshan adalah benar di dalam kitab Allah.” [1]

Ayat yang diklaim itu terdapat di dalam Sunan Ibn Mâjah dari Umar bahwa ia berkata: “Aku pernah membaca, ‘Jika orang pria dan wanita yang sudah tua berzina, maka rajamlah mereka berdua.’” Dan di dalam Muwaththa’ Mâlik disebutkan: “‘Rajamlah pria dan wanita yang sudah tua.’ Kami pernah membaca ayat ini.”

Di dalam hadis yang sama yang terdapat di dalam Shahîh Al-Bukhârî disebutkan: “Kami senantiasa membaca ayat yang terdapat di dalam kitab Allah ini, ‘Janganlah kamu membenci ayah-ayahmu, karena sebuah kekufuran jika kamu membenci ayah-ayahmu.”

Diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah bahwa ia berkata: “Di antara ayat-ayat Alquran yang pernah turun adalah ‘sepuluh kali susuan yang pasti’. Rasulullah SAW meninggal dunia sedangkan ayat termasuk ayat-ayat Alquran yang masih dibaca.”[2]

Dalam Shahîh Ibn Mâjah disebutkan: “’Aisyah berkata, ‘Ayat Rajam dan penyusuan orang yang sudah tua sebanyak sepuluh kali pernah turun. Ayat-ayat
ini terdapat dalam sebuah lembaran yang tersimpan di bawah tempat tidurku. Ketika Nabi SAW meninggal dunia, kami disibukkan oleh kewafatan beliau, lalu rayap masuk dan melahap lembaran-lembaran itu.”

Dalam Shahîh Muslim disebutkan bahwa Abu Mûsâ Al-Asy‘arî pernah menulis surat kepada para qârî penduduk Bashrah yang pada waktu itu berjumlah tiga ratus orang. Di antara isi suratnya adalah “Kami selalu membaca sebuah surah yang—dalam kondisi bahagia dan sengsara—kami menyerupakannya dengan surah Barâ’ah. Lalu aku lupa. Hanya saja di antara ayat-ayatnya yang masih kuhafal adalah ‘Seandainya Bani Adam memiliki dua lembah harta, niscaya mereka akan meminta yang ketiga dan tidak dapat memenuhi perut Bani Adam kecuali tanah’.”

“Kami senantiasa membaca sebuah surah yang kami menyamakannya dengan salah satu surah Al-Mûsâbbihât (surah-surah yang dimulai dengan tasbih—pen.). Lalu aku lupa. Hanya saja di antara ayat yang masih kuhafal adalah ‘Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu sekalian mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Dengan ini, sebuah kesaksian akan ditulis di batang lehermu dan kamu akan dimintai pertanggung-jawaban tentangnya pada hari kiamat.’” [3]

Meskipun hadis-hadis itu terdapat dalam buku-buku sahih para pengikut mazhab Khulafâ’, tak seorang pun dari pengikut mazhab Ahlulbait as yang menuduh para pengikut mazhab Khulafâ’ telah mengurangi Alquran atau menambahkan surah atau ayat kepada Alquran dari diri mereka sendiri.

Sebaliknya, ketika hadis-hadis serupa terdapat di dalam sebagian bukubuku referensi hadis mazhab Ahlulbait as sebagian penulis dari kalangan pengikut mazhab Khulafâ’ menyerang para pengikut mazhab Ahlulbait dan mengatakan: “Mereka telah mengurangi Alquran dan menambahkan beberapa ungkapan dan ayat dari diri mereka sendiri kepadanya.” Mereka berargumentasi atas hal ini dengan beberapa hadis yang terdapat di dalam sebagian buku-buku referensi hadis. Perlu diingat, para pengikut mazhab Ahlulbait tidak meyakini kesahihan satu kitab manapun selain kitab Allah, sedangkan para pengikut mazhab Khulafâ’ meyakini kesahihan seluruh hadis yang terdapat di dalam Shahîh Al-Bukhârî dan Shahîh Muslim, dan melegitimasi hadis-hadis tersebut dengan klaim bahwa bacaan ayat-ayat tersebut telah dinasakh (dan hukumnya masih berlaku). [4]

Kritikan yang Dibuat-buat Terhadap Mushaf Fathimah

Sebagian penulis menyulut kritikan yang diada-adakan lainnya terhadap para pengikut mazhab Ahlulbait as Mereka mengklaim bahwa mereka memiliki Alqur’an lain yang diberi nama “Mushaf Fathimah as”. Hal itu dikarenakan kitab Fathimah ini dinamakan “Mushaf” dan Alqur’an juga dinamakan “Mushaf” oleh sebagian muslimin.

Jika kita merujuk kepada hadis-hadis, ia menegaskan bahwa mushaf Fathimah tidak memuat satu ayat pun dari Alqur’an. Mushaf ini hanya berisi berita-berita tentang orang-orang yang akan menjadi pemimpin umat Islam yang pernah ia dengar. Imam Ash-Shâdiq as. sendiri—ketika Muhammad dan Ibrahim, dua orang keturunan Imam Hasan as melakukan perlawanan terhadap Abu Ja‘far Al-Manshûr—berkata: “Di dalam kitab ibunda mereka, Fathimah, nama mereka tidak termasuk orang-orang yang akan memimpin umat ini.”

Para pengikut mazhab Khulafâ’ menamai buku ilmu Nahwu karya Sibawaeh dengan nama “Al-Kitab”. Di samping itu, kosa kata “mushaf” tidak disebutkan di dalam Alqur’an dan tidak juga di dalam hadis Nabi SAW Sementara itu, penamaan Alqur’an dengan “Al-Kitab” telah banyak disebutkan di dalam Alqur’an sendiri, seperti ayat-ayat berikut ini:

Itulah Al-Kitab tiada keraguan padanya. (QS. Al-Baqarah [2]:2)

Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? (QS. Al-Baqarah [2]:85)

Dan setelah datang kepada mereka sebuah kitab dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka …. (QS. Al-Baqarah [2]:89)

Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan hikmah. (QS. Al-Baqarah [2]:129)

Dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah [2]:151)

Dan masih ada puluhan ayat lain (yang menegaskan hal ini). Meskipun demikian, seandainya seseorang mengatakan bahwa ukuran kitab Sibawaeh berjumlah dua kali lipat kitab Allah, yang pasti ia tidak bermaksud bahwa kitab Sibawaeh adalah Alqur’an yang lebih besar dari kitab Allah, dan tak seorang pun dari para pengikut mazhab Ahlulbait as memprotes penamaan ini.

Terakhir, ucapan-ucapan semacam ini akan dimanfaatkan oleh musuhmusuh Islam dan mereka akan menjadikannya sebagai alat untuk menuduh dan melecehkan Alquran. Semoga Allah menyadarkan sebagian penulis sehingga ia mau menghentikan igauannya ini. Alqur’an yang sekarang berada di tangan muslimin ini adalah Alqur’an yang telah disempurnakan penurunannya oleh Allah atas pamungkas para nabi-Nya di akhir-akhir usia beliau. Sepeninggal beliau, para sahabat telah mengumpulkannya dalam bentuk sebuah buku yang rapi dan menyalinnya, serta menyebarkannya di kalangan muslimin. Permulaan kitab ini adalah “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”, dan penghujungnya adalah “Dari bangsa jin dan manusia”.

Dari sejak masa itu hingga masa kita sekarang ini, tidak ada satu pun AlQuran lain di tangan seorang muslim yang lebih atau kurang satu kalimat dari kitab Al-Qur’an yang biasa (dibaca oleh muslimin) itu. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan di antara mereka. Perbedaan yang ada adalah tentang penafsiran Al-Qur’an dan penakwilan ayat-ayat mutasyâbih-nya. Hal itu lantaran penafsiran dan penakwilan itu diambil dari hadis. Muslimin berbeda pendapat dalam menanggapi hadis Rasulullah SAW sebagaimana akan kami paparkan pada pembahasan mendatang, insyâ-Allah.

Pembahasan selanjutnya Pandangan Sunni dan Syiah tentang Sunah Nabi SAW

Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah

Catatan Kaki

Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Hudûd, bab Rajm Al-Hublâ min Az-Zinâ. Teks hadis ini kami nukil dari kitab ini; Shahîh Muslim, jil. 5, hal. 116; Sunan Abi Dâwûd, kitab Al-Hudûd, bab Fî Ar-Rajm, jil. 2, hal. 229; Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-Hudûd, bab Mâ Jâ’a fî Tahqîq Ar-Rajm, jil. 6, hal. 204; Sunan Ibn Mâjah, kitab Al-Hudûd, bab Ar- Rajm, hadis ke-2553; Sunan Ad-Dârimî, kitab Al-Hudûd, bab Fî Hadd Al-Muhshinîn bi Az-Zinâ, jil. 2, hal. 179; Al-Muwaththa’, kitab Al-Hudûd, jil. 3, hal. 42.
Shahîh Muslim, kitab Ar-Radhâ‘, bab At-Tahrîm bi Khams Radha‘ât, jil. 4, hal. 164; Sunan Abi Dâwûd, kitab An-Nikâh, bab, hal. Yuharrim Mâ dûna Khams Radh‘ât, jil. 1, hal. 279; Sunan An-Nasa’î, kitab An-Nikâh, bab Al-Qadr alladzî Yuharrim min Ar- Radhâ‘, jil. 2, hal. 82; Sunan Ibn Mâjah, kitab An-Nikâh, bab Radhâ‘ Al-Kabâr, jil. 1, hal. 626, hadis ke-1944; Sunan Ad-Dârimî, kitab An-Nikâh, bab Kam Radh‘ah Tuharrim, jil. 1, hal. 157; Muwaththa’ Mâlik, kitab Ar-Radhâ‘, bab Jâmi‘ Mâ Jâ’a fî Ar-Radhâ‘ah, jil. 2, hal. 118.
Shahîh Muslim, kitab Az-Zakâh, bab Law Anna li Ibn Adam Wâdiyain Labtaghâ Wadiyan Tsâlitsan, jil. 3, hal. 100.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Hudûd, bab Rajm Al-Hublâ min Az-Zinâ, hadis ke-1; Shahîh Muslim, kitab Al-Hudûd, bab Rajm Ats-Tsayib fî Az-Zinâ, hadis ke-15.

 

Pembahasan sebelumnya Pandangan Sunni dan Syiah tentang Sunah Nabi SAW [1/2]

Pelarangan Penulisan Hadis hingga Akhir Abad Pertama

Pada Masa Khalifah Abu Bakar

Adz-Dzahabî meriwayatkan bahwa Abu Bakar mengumpulkan masyarakat setelah Nabi mereka meninggal dunia. Ia berkata: “Kamu meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah SAW yang kamu perselisihkan, sedangkan perselisihan orang-orang yang hidup setelah kamu akan bertambah parah. Oleh karena itu, janganlah kamu meriwayatkan satu hadis pun dari Rasulullah. Jika ada orang bertanya kepadamu tentang itu, katakanlah, ‘Di tengah-tengah kita terdapat kitab Allah. Maka, halalkanlah hal-hal yang telah dihalalkan dan haramkanlah segala sesuatu yang telah diharamkannya.’” [Tadzkirah Al-Huffâzh, karya Adz-Dzahabî, biografi Abu Bakar, jil. 1, hal. 2-3]

Pada Masa Khalifah Umar

Di dalam Thabaqât Ibn Sa‘d disebutkan bahwa hadis-hadis (Rasulullah SAW) banyak diriwayatkan pada masa Umar bin Khatab. Ia memerintahkan supaya masyarakat menyerahkan semua hadis itu kepadanya. Ketika mereka telah menyerahkan seluruh hadis itu kepadanya, ia memerintahkan supaya hadis-hadis itu dibakar. [Thabaqât Ibn Sa‘d, biografi Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakar, jil. 5, hal. 140]

Mazhab Khulafâ’ melarang pembukuan hadis-hadis Rasulullah SAW hingga permulaan tahun 100 Hijriah. Tindakan mereka tidak hanya sampai pada batas itu. Bahkan, mereka juga melarang periwayatan hadis-hadis itu.

Diriwayatkan dari Qurazhah bin Ka‘b bahwa ia pernah bercerita: “Ketika Umar ingin melepaskan pemberangkatan kami menuju Irak, ia mengantarkan kami sampai ke daerah Shirâr. Ia bertanya, ‘Apakah kamu semua tahu untuk apa aku mengantarkanmu?’ Kami menjawab, ‘Engkau hendak menghormati kami dengan tindakan ini.’ Ia menimpali, ‘Ada suatu keperluan di balik itu semua. Kamu semua akan berangkat menuju penduduk sebuah desa yang suara bacaan Alqur’an mereka bak suara gemuruh lebah. Janganlah kamu beri kesempatan kepada mereka untuk meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah, dan aku bersamamu.’ Semenjak peristiwa itu, aku tidak pernah meriwayatkan satu hadis pun dari Rasulullah SAW.”

Menurut sebuah riwayat yang lain: “Ketika Qurazhah bin Ka‘b sampai, mereka berkata kepadanya, ‘Riwayatkanlah hadis kepada kami.’ Ia menjawab, ‘Umar telah melarang kami.’” Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibn Abdil Barr melalui tiga sanad dalam bukunya, Jami‘ Bayân Al-‘Ilm, bab Dzamm Al-Iktsâr min Al-Hadîts dûna At-Tafahhum lahu, jil. 2, hal. 147, Al-Khathîb Al-Baghdâdî di dalam Syaraf Ash-hâb Al-Hadîts, hal. 88, dan Adz-Dzahabî di dalam Tadzkirah Al-Huffâzh, jil. 1, hal. 4-5.

Di kalangan sahabat selain Qurazhah bin Ka‘b masih ada orang-orang yang mengikuti sunah para khalifah dan enggan untuk menulis sunah Rasulullah SAW, seperti Abdullah bin Umar dan Sa‘d bin Abi Waqqâsh. Di dalam Sunan-nya, kitab Al-‘Ilm, bab Man Hâba Al-Futyâ, jilid 1, hal. 84-85, Ad-Dârimî meriwayatkan dari Asy-Sya‘bî bahwa ia bercerita: “Aku pernah hidup bersama Ibn Umar dan aku tidak pernah mendengar ia meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW.”

Menurut sebuah riwayat lain: “Aku pernah hidup bersama Ibn Umar selama dua tahun atau setahun setengah dan aku tidak pernah mendengar ia meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW kecuali hadis ini.”

Diriwayatkan dari Sâ’ib bin Yazîd bahwa ia berkata: “Aku pernah pergi ke Mekkah bersama Sa‘d (bin Abi Waqqâsh) dan aku tidak pernah mendengar ia meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW hingga kami pulang kembali ke Madinah.”

Khalifah Umar juga sering berkata kepada para sahabat: “Persedikitlah meriwayatkan hadis Rasulullah, kecuali hadis-hadis yang hendak diamalkan (sehari-hari).” [Târîkh Ibn Katsîr, jil. 8, hal. 107]

Riwayat ini memiliki kandungan yang sama dengan riwayat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh yang menegaskan bahwa kaum Quraisy melarangnya untuk menulis segala sesuatu yang didengar dari Rasulullah SAW.

Pada Masa Khalifah Utsman

Seluruh penjelasan yang telah kami paparkan itu berhubungan dengan masa dua khalifah Abu Bakar dan Umar. Pada masa Utsman, ia juga menetapkan politik tersebut. Ia pernah berkata di atas mimbar: “Tak seorang pun berhak untuk meriwayatkan hadis yang tidak ia dengar pada masa Abu Bakar dan Umar.” [Muntakhab Kanz Al-‘Ummâl, catatan pinggi Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 64]

Hal itu juga dapat dipahami dari riwayat yang telah diriwayatkan oleh Ad-Dârimî dan selainnya yang menjelaskan: “Pada suatu hari Abu Dzar duduk di sisi Jumrah Al-Wusthâ dan banyak orang yang mengelilinginya untuk menanyakan hukum kepadanya. Tiba-tiba seseorang datang dan berdiri di atasnya seraya berkata, ‘Bukankah engkau telah dilarang untuk berfatwa?’ Abu Dzar mengangkat kepalanya untuk melihatnya seraya berkata, ‘Apakah engkau mengawasiku? Seandainya  kamu semua meletakkan pedang di sini—ia menunjuk leher bagian belakangnya—kemudian aku yakin akan dapat menyampaikan satu kalimat dari Rasulullah SAW tanpa restumu, niscaya aku akan menyampaikannya.’” [Menurut pendapat kami, peristiwa itu terjadi pada masa Utsman, karena tak seorang pun dari kalangan sahabat yang berani menentang perintah pihak penguasa pada masa Khalifah Umar. Riwayat ini terdapat di dalam kitab Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 132, Thabaqât Ibn Sa‘d, jil. 2, hal. 354, biografi Abu Dzar, dan Shahîh Al-Bukhârî, jil. 1, hal. 161. Ia meringkas riwayat tersebut hingga sebelum ucapan Abu Dzar tersebut]

Pada Masa Mu‘âwiyah

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Âmir Al-Yahshubî bahwa ia berkata: “Aku pernah mendengar Mu‘âwiyah berkata di atas mimbar di Damaskus, ‘Wahai manusia, enyahkanlah hadis-hadis Rasulullah SAW, kecuali hadis-hadis yang pernah diriwayatkan pada masa Umar ra. Karena Umar senantiasa memerintahkan umat manusia untuk takut kepada Allah ‘Azza Wajalla.’” [Tulisan tangan Târîkh Dimasyq, karya Ibn ‘Asâkir, Mushawwarah Al-Majma‘ Al- ‘Ilmî Al-Islami, 9/Q2/236B dan 237B; Syaraf Ash-hâb Al-Hadîts, hal. 91]

Diriwayatkan dari Rajâ’ bin Abi Salamah bahwa ia berkata: “Aku mendengar berita bahwa Mu‘âwiyah berkata, ‘Riwayatkanlah hadis-hadis yang telah diriwayatkan pada masa Umar, karena ia telah menakut-nakuti masyarakat untuk meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw.’” [Tadzkirah Al-Huffâzh, karya Adz-Dzahabî, jil. 1, hal. 7]

Ath-Thabarî meriwayatkan bahwa ketika Mu‘âwiyah menunjuk Mughîrah bin Syu‘bah untuk menjadi penguasa Kufah pada tahun 41 Hijriah, ia memanggilnya seraya berkata kepadanya: “Aku sebenarnya ingin berwasiat banyak hal kepadamu, tapi aku tinggalkan karena aku percaya kepada keyakinanmu. Hanya saja, aku tidak mau meninggalkan satu hal ini: jangan kau tinggalkan pencercaan dan pencelaan terhadap Ali serta berbelas kasih dan memintakan ampun untuk Utsman, mencela dan menyingkirkan para sahabat Ali serta mendekatkan dan merangkul para pengikut Utsman.”

Mughîrah berkata kepadanya: “Aku telah berpengalaman dalam hal ini dan aku juga pernah melakukannya untuk selainmu, dan ia tidak kecewa dengan kelakuanku. Sekarang kita lihat, apakah engkau akan memuji atau mencela.” Mu‘âwiyah menimpali: “Kami akan memuji, insyâ-Allah.” [1]

Di dalam Al-Ahdâts-nya, Al-Madâ’inî meriwayatkan: “Mu‘âwiyah pernah menulis sepucuk surat kepada para gubernurnya setelah peristiwa tahun jamaah yang berisi, ‘Aku telah membebaskan diri dari orang yang meriwayatkan satu hadis tentang keutamaan Abu Turâb [Imam Ali] dan keluarganya.’

Masyarakat yang mendapat cobaan paling berat pada waktu itu adalah penduduk Kufah.” Di jalan ini, Hujr bin ‘Adî dan para sahabatnya dibantai, serta Rasyîd Al-Hajarî dan Maitsam At-Tammâr dibunuh dan disalib. Muawiyah mencekik napas para sahabat dan tabiin dan menghabisi orang-orang yang menentang politik mereka.

Membuka Peluang bagi Hadis-hadis Israiliyah

Ketika mazhab Khulafâ’ menutup pintu periwayatan hadis dari Rasulullah SAW bagi seluruh muslimin—seperti telah kami paparkan pada pembahasan yang lalu, mereka membuka pintu periwayatan hadis-hadis Israiliyah lebarlebar. Mereka telah mengizinkan kepada orang-orang seperti Tamîm Ad-Dârî yang beragama Kristiani dan Ka‘b Al-Ahbâr yang beragama Yahudi—yang telah memeluk Islam setelah agama ini tersebar—untuk menyebarkan hadis-hadis Israiliyah.

Berkenaan dengan Ka‘b pendeta agama Yahudi itu, khalifah Umar, Utsman, dan Mu‘âwiyah sering bertanya kepadanya tentang asal mula penciptaan, peristiwa hari kiamat, tafsir Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Para sahabat seperti Anas bin Mâlik, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Zubair, Mu‘âwiyah, dan orang-orang setipe mereka dari kalangan sahabat dan tabiin telah meriwayatkan hadis dari mereka berdua.

Penukilan hadis-hadis Israiliyah tidak hanya terbatas dilakukan oleh dua orang ulama ahlulkitab dan para murid mereka tersebut. Sekelompok orang juga ikut andil bersama mereka dan setelah periode mereka. Realita itu berlanjut hingga masa kekhalifahan dinasti Bani Abbasiyah, kecuali pada Abdullah bin Saba’ yang diada-adakan itu yang memiliki pengaruh tersebut—seperti yang mereka sangka.

Pada Masa Umar bin Abdul Aziz

Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz memegang tampuk kekuasaan pada tahun 99 Hijriah. Ia menghapuskan pelaknatan atas Imam Ali as., mengembalikan kebun Fadak kepada para pewaris Fathimah Az-Zahra’ as., dan memerintahkan penulisan hadis. Di samping itu, ia juga memiliki kebaikAn-kebaikan yang lain. Ia wafat pada tahun 101 Hijriah. Silakan Anda rujuk biografinya dalam buku Târîkh Al-Khulafâ’, karya As-Suyûthî dan Taqrîb At-Tahdzîb, karya Ibn Hajar. Tentang tindakannya memerintah penulisan hadis, silakan Anda rujuk Al-Muqaddimah kitab Sunan Ad-Dârimî, hal. 126, Thabaqât Ibn Sa‘d, cet. Beirut, jil. 7, hal. 447, Al-Mushannaf, karya Abdur Razâq, cet. India, tahun 1980 M., jil. 9, hal. 337, Akhbâr Isfahan, karya Abu Nu‘aim, jil. 1, hal. 312, dan Tadrîb Ar-Râwî, karya As-Suyûthî, hal. 90.

Ketika Umar bin Abdul Aziz Al-Umawî berkuasa, ia memerintahkan untuk mencabut undang-undang pelarangan penulisan hadis Rasulullah SAW. Ia menulis surat kepada para gubernurnya: “Carilah hadis-hadis Rasulullah SAW dan tulislah. Karena aku khawatir ilmu akan binasa dan ahlinya akan musnah.”

Ibn Syihâb Az-Zuhrî adalah orang pertama yang menulis hadis atas perintah Umar bin Abdul Aziz pada permulaan tahun 100 Hijriah.[Fath Al-Bârî, bab Kitâbah Al-‘Ilm, jil. 1, hal. 218] Hanya saja, usahanya itu tidak tuntas lantaran Umar bin Abdul Aziz keburu wafat diracun pada tahun 101 Hijriah dan hadis-hadis yang telah dibukukan pada masanya itu hilang musnah tak tentu rimbanya. Dalam biografi Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (wafat 117 H.), Ibn Hajar meriwayatkan—yang ringkasannya: “Umar bin Abdul Aziz menulis surat perintah kepadanya untuk menulis seluruh ilmu (baca: hadis) untuknya. Anaknya berkata setelah ia wafat, ‘Seluruh buku itu pun hilang.” [Tahdzîb At-Tahdzîb, jil. 12, hal. 39]

Begitu juga tidak tersisa ilmu-ilmu lain yang telah ditulis pada masanya. Pada waktu Abu Ja‘far Al-Mashûr berkuasa, ia menggiatkan para ulama untuk menulis hadis. Ketika menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 143 Hijriah, Adz-Dzahabî berkata: “Pada abad ini, para ulama Islam mulai menulis buku-buku hadis, fiqih, dan tafsir. Ibn Juraij menulis buku At-Tashânîf di Mekkah. Sa‘îd bin Abi ‘Urûbah, Hammâd bin Salamah, dan selian mereka menulis di Bashrah. Al-Auzâ‘î menulis di Syam. Mâlik menulis kita Al-Muwaththa’ di Madinah. Abu Ishâq menulis kitab Al- Maghâzî. Mu‘ammar menulis di Yaman. Abu Hanifah dan selainnya menulis fiqih dan konsep bi Ar-ra’y-nya di Kufah. Dan Sufyân menulis kitab Al-Jâmi‘. Tidak lama setelah itu, Husyaim menulis buku-buku karyanya. Laits dan Ibn Lahî‘ah menulis di Mesir yang kemudian diikuti oleh Ibn Al-Mubârak, Abu Yusuf, dan Ibn Wahb.1 Penulisan seluruh bidang ilmu pengetahuan dan penataan bab-babnya mulai marak. Buku-buku bahasa Arab dan sejarah mulai dibukukan. Sebelum abad ini, para imam dan tokoh berbicara dengan mengandalkan hafalan mereka atau meriwayatkan ilmu dari lembaran-lembaran berserakan yang tak tertata rapi. Segala puji bagi Allah, karena pengambilan ilmu sudah mulai mudah dan pengandalan hafalan sudah mulai berkurang. Segala urusan hanyalah milik Allah.”

Kisah ini juga dinukil oleh As-Suyûthî di dalam Târîkh Al-Khulafâ’, hal. 261. Di dalam Mausû‘ah Al-Fiqh Al-Islami: “Ketika Al-Manshûr melaksanakan ibadah haji pada tahun 143 Hijriah, ia menganjurkan Mâlik untuk menulis buku Al-Muwaththa’, sebagaimana ia dan juga para gubernurnya telah menganjurkan para ulama untuk menulis (buku-buku hadis). Ibn Juraij, Ibn ‘Urûbah, Ibn ‘Uyainah, dan selain mereka telah menulis buku (hadis).

Para fuqaha dan para sahabat mereka pun telah melakukan hal yang sama.” Penjelasan yang telah kami paparkan di sini tidak bertentangan dengan penegasan-penegasan mereka tentang adanya buku-buku hadis yang sudah tertata rapi yang dimiliki oleh sebagian mereka sebelum abad itu. Seperti penegasan mereka bahwa seorang sahabat yang bernama Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh memiliki Ash-Shahîfah Ash-Shâdiqah dan seorang tabiin yang bernama Az-Zuhrî memiliki buku yang memuat hadis-hadis yang telah tertata rapi. Karena hanya nama-nama buku hadis semacam inilah yang sampai ke telinga para ulama pada masa penggalakan penulisan hadis itu. Kemudian, setelah itu—pada masa kekuasaan Al-Manshûr—pada ahli hadis di kalangan mazhab Khulafâ’ saling berlomba-lomba untuk itu. Ia meninggal dunia pada tahun 174 Hijriah di Mesir. Silakan Anda rujuk Mîzân Al-I‘tidâl, jil. 2, hal. 64 dan Wafayât Al-A‘yan, jil. 1, hal. 249.

Ibn Al-Mubârak adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin Al-Mubârak Al-Mirwazî. Ia adalah seorang yang alim, zahid, ‘arif, dan salah seorang ahli hadis. Ia adalah salah seorang pengikut tabiin. Diriwayatkan dari Abu Usâmah bahwa ia berkata: “Ibn Al- Mubârak di kalangan para ahli hadis adalah seperti seorang amirul mukminin di tengah-tengah umat manusia.” Silakan Anda rujuk Târîkh Baghdad, jil. 10, hal. 64 dan Al-Kunâ wa Al-Alqâb, jil. 1, hal. 401.

Abu Muhammad Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Fihrî Bâlaulâ’ Al-Mishrî. Ia adalah seorang imam yang faqih dan salah seorang sahabat Mâlik. Ia berhasil menggabungkan antara fiqih dan hadis. Ia memiliki banyak buku dan di antaranya adalah Al-Jâmi‘. Silakan Anda rujuk Tadzkirah Al-Huffâzh, jil. 1, hal. 279 dan Wafayât Al-A‘yan, jil. 1, hal. 249.

Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah

Pembahasan selanjutnya  PANDANGAN DUA MAZHAB  SUNNI DAN SYIAH TENTANG FIQIH DAN IJTIHAD

 

Kedua mazhab sepakat atas keyakinan akan wajibnya mengamalkan sunah Rasulullah SAW sebagai salah satu sumber syariat Islam. Karena sunah Rasulullah, baik yang berupa sirah, hadis, maupun persetujuan (taqrîr) sampai kepada kita melalui perantara riwayat yang diriwayatkan dari beliau, kedua mazhab ini berbeda pendapat dalam dua hal:

Sebagian perantara (perawi) yang menukilkan riwayat dari Rasulullah SAW.
Kebolehan menulis hadis Rasulullah SAW pada abad pertama Hijriah.
Kita akan menelaah masing-masing perbedaan pendapat tersebut pada pembahasan berikut ini, insyâ-Allah.

Tentang Para Perawi Hadis Nabi SAW

Dari pembahasan yang telah lalu tentang sahabat dan konsep imâmah dapat diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW, para pengikut mazhab Ahlulbait as mengambil ajaran-ajaran agama mereka dari para imam Ahlulbait as yang berjumlah dua belas orang. Hal ini berbeda dengan para pengikut mazhab Khulafâ’ yang mengambil ajaran-ajaran agama mereka dari setiap sahabat Rasulullah SAW tanpa ada pembedaan dan pemilahan di antara mereka, karena seluruh sahabat—menurut perspektif mereka—adalah figur-figur adil. Tidak sama halnya dengan para pengikut mazhab AhlulBait as. Mereka tidak pernah merujuk kepada beberapa orang sahabat seperti Mu‘âwiyah dan ‘Amr bin ‘Âsh yang telah memeranginya pada perang Shiffîn, Dzil Khuwaishirah dan Abdullah bin Wahb yang telah memeranginya pada perang Nahrawân, serta Abdurrahman bin Muljam pembunuh Imam Ali.

Begitu juga mereka tidak mengambil (ajaran-ajaran agama mereka) dari para musuh Ali, baik mereka termasuk dalam golongan sahabat, tabiin, para pengikut tabiin, maupun seluruh tingkatan para perawi hadis.

An-Nasa’î—misalnya—meriwayatkan di dalam Ash-Shahîh-nya dari Umar bin Sa‘d, pembantai Imam Husain. Para ulama Rijâl berkata dalam biografi-nya:
“Ia adalah orang yang jujur dan terpercaya. Akan tetapi, masyarakat mencelanya lantaran ia menjadi komandan laskar yang telah membantai Husain bin Ali.”

Imâmul Muhadditsîn Bukhârî tidak meriwayatkan satu hadis pun di dalam Ash-Shahîh-nya dari Imam  Ja‘far bin Muhammad Ash-Shâdiq, imam keenam Ahlulbait as yang ribuan ahli hadis dari kalangan pengikut mazhab Ahlulbait meriwayatkan ribuan hadis darinya.

Atas dasar ini, terdapat perbedaan pendapat secara konsep antara kedua mazhab ini —seperti telah kita lihat sampai di sini— tentang dari perawi manakah mereka harus mengambil hadis Rasulullah SAW.

Tentang Realita Penyebaran Hadis Nabi SAW

Di samping penjelasan yang telah kami paparkan itu, ajaran-ajaran kedua mazhab ini telah membatasi sikap para pengikut masing-masing mazhab terhadap realita penyebaran hadis (Rasulullah) dengan batasan-batasan tertentu. Ketika para khalifah melarang penulisan dan penyebaran hadis Rasulullah SAW, Syiah bersemangat dalam menyebarkan hadis-hadis Nabi SAW.

Perbedaan ini mulai muncul sejak akhir-akhir kehidupan Rasulullah ketika beliau bersabda: “Ambilkanlah sebuah kertas untukku supaya kutuliskan sepucuk surat (wasiat) yang kamu sekalian tidak akan tersesat setelah surat itu.”

Dari sebagian riwayat dapat dipahami bahwa mereka telah melakukan pelarangan terhadap penulisan hadis Rasulullah SAW sebelum itu dan pada masa beliau masih sehat. Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh berkata: “Aku senantiasa menulis segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah. Setelah itu, kaum Quraisy mencegahku dan mereka mempertanyakan, ‘Apakah engkau menulis segala sesuatu yang kau dengar dari Rasulullah SAW sedangkan ia adalah manusia biasa yang dapat berbicara dalam kondisi marah dan rida?’

Aku pun berhenti menulis. Lalu kuceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau mengisyaratkan telunjuk ke arah mulutnya seraya bersabda, ‘Tulislah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak akan keluar darinya kecuali kebenaran.’ *

Di dalam dialog dengan Abdullah tersebut, mereka sendiri telah menjelaskan faktor pelarangan penulisan hadis Rasulullah SAW itu. Yaitu, mereka khawatir akan diriwayatkan suatu hadis tentang beberapa orang yang beliau sabdakan ketika beliau sedang rida terhadap mereka dan suatu hadis lain tentang orang-orang tertentu yang beliau sabdakan pada saat beliau murka terhadap mereka.

* Sunan Ad-Dârimî, Al-Muqadimah, bab Man Rukhkhisha fî Al-Kitâbah, jil. 1, hal. 126; Sunan Abi Dâwûd, bab Ktâbah Al-‘Ilm, jil. 2, hal. 126; Musnad Ahmad, jil. 2,
hal. 162, 192, 207, dan 215; Mustadrak Al-Hâkim, jil. 1, hal. 105-106; Jâmi‘ Bayân Al-‘Ilm wa Fadhlih, karya Ibn Abdil Barr, cet. ke-2, Al-‘Âshimah, Kairo, tahun 1388
Hijriah, jil. 1, hal. 85.

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh Al-Qurasyî As-Sahmî. Ibunya adalah Raithah binti Munabbih As-Sahmî. Ia lebih kecil dari ayahnya sebelas atau dua belas tahun. Para
ahli sejarah berbeda pendapat berkenaan dengan kematiannya; apakah ia meninggal di Mesir, Tha’if, atau Mekkah? Apakah ia meninggal dunia pada tahun 63 atau 65 Hijriah? Silakan merujuk biografinya di dalam Usud Al-Ghâbah, jil. 3, hal. 23, An- Nubalâ’, jil. 3, hal. 56, dan Thadzîb At-Tahdzîb, jil. 5, hal. 337.

Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah

 

Beberapa hari ini, sebuah video yang menayangkan salat berjamaah antar mazhab, viral di media sosial Twitter. Video itu diunggah oleh akun @SyiahGL dengan caption “Jepara luar biasa, Sunni-Syiah salat berjamaah.”

Diimami oleh ketua MUI Jepara, terlihat dalam salat berjamaah di video itu, sebagian makmun yang bermazhab keislaman Sunni, melaksanakan salat dengan cara bersedekap tangan. Sementara sebagian lainnya yang bermazhab keislaman Syiah, tidak bersedekap. Tentunya kedua cara itu hanya berkaitan dengan furu’uddin atau cabang agama, khususnya perkara fikih, yang sama sekali tidak penting untuk dipersoalkan. Semoga saja kerukunan dan persatuan antar sesama kaum Muslim itu menular ke daerah-daerah lain demi kedamaian hingga kemajuan bangsa dan negara yang kita cintai.

Beragam komentar positif pun bermunculan. Di antaranya berasal dari akun @RepKertanegara “Persatuan Sunni-Syiah itu adalah tanda awal kebangkitan umat muslim.” Sambil menyebut Tokoh NU, KH Musthofa Bisri, Gus Nadirsyah Hosein dan Kemenag.

Akun @faqih2496 mencuit “Saya asli Desa Banjaran, Jepara. Sepanjang pengetahuan saya, dari dulu sampai sekarang tidak pernah ada konflik atas alasan apapun. Masjid dan makam Sunni-Syiah berdampingan. Alhamdulillah desa kami tetap harmoni.”

Akun @budianto_rbt menulis, “Ini yang bikin Indonesia tenang. Semoga daerah lain mengikuti.”

Hingga tulisan ini dimuat, video itu telah ditonton sebanyak 48.000 kali. Mengutip dari video yang di upload oleh Pesantren Darut Taqrib tertulis bahwa bagi masyarakat Jepara, keberadaan mazhab keislaman Syiah sama sekali tidak dipermasahkan. Yang penting, semua pihak saling guyub dan rukun demi membangun negeri dari daerah masing-masing.

Berdasarkan keterangan dari video itu, salat berjamaah tersebut dilaksanakan saat salat Maghrib dan diimami oleh ketua MUI Jepara KH Mashudi. Lokasi salat berjamaah adalah pesantren Darut Taqrib, Jepara, pimpinan Ustaz Miqdad Turkan. Salat berjamaah itu dilaksanakan usai bedah buku Syiah dan Nasionalisme Indonesia karya Fathur Rahman, Dosen Unisnu Jepara.

Usai salat berjamaah, para hadirin melanjutkannya dengan peringatan Maulid Nabi gabungan santri Darut Taqrib dan pesantren Hasyim Asyari Bangsri. Seluruh rangkaian acara itu kemudian ditutup dengan acara makan bersama.

 

Muhammad bin Izzuddin Husain atau lebih dikenal dengan Bahauddin al-Amil adalah seorang fakih, ahli hadis, filosof, matematikawan, dan ilmuan yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Bidang lain yang dikuasai oleh ulama besar yang biasa disebut Syaikh Bahai ini adalah Matematika, Teknik Arsitektur dan Mekanika, selain juga mahir dan pakar dalam bidang Geografi dan Astronomi.

Bahauddin Amili lahir pada 17/27 Dzulhijjah 953 H/1546 di kawasan Ba’labak, Lebanon, tepatnya di Jabal Amil. Ayahnya, Izzuddin Husain bin Abdul-Shamad Haritsi (W 984 H/1576), merupakan salah seorang murid dan sahabat Syahid Tsani (W 966 H/1558). Nasab atau garis keturunannya berujung pada Harits Hamdani (W 65 H/684), salah seorang sahabat Imam Ali as. Karena itu, Syaikh Bahai juga terkenal sebagai Haritsi Hamdani.

Setelah ayahnya wafat pada 984 H/1576 di Bahrain, Syaikh Bahai pergi ke Harat atas perintah Syah Tahmaseb dan menggantikan sang ayah sebagai Syaikh al-Islam di tempat itu. Namun, Syaikh Bahai mengundurkan diri dari posisi sebagai Syaikh al-Islam disebabkan keinginannya yang membuncah untuk dapat pergi haji. Ia memulai perjalanan panjangnya untuk menunaikan keinginan ini dan kembali ke Isfahan pada 1025 H/1616. Setelah pulang dari tanah suci, Syaikh Bahai tetap setia kepada Syah Abbas hingga akhir hayatnya. Dalam perjalanannya untuk menunaikan haji, Syaikh Bahai sempat pergi ke Irak, Halab, Suriah, Mesir, Sar Adib, Hijaz dan Baitul Muqaddas. Dalam perjalanan ini, ia ditemani oleh ulama dan para pembesar sufi. Syaikh Bahai dalam beberapa perjalanannya, menyamar dan melakoni diri sebagai seorang fakir dan Darwis. Ia sering berdialog  dengan para pembesar agama dan mazhab.

Pasca meninggalnya sang ayah, ia mewarisi perpustakaan yang memiliki empat ribu jilid kitab dari ayahnya dan pada 1030 H/1620, Syaikh Bahai mewakafkannya. Kebanyakan pendidikan Syaikh Bahai ditempuh di Qazwin yang pada masa itu terdapat Hauzah Ilmiah yang aktif menjalankan proses belajar dan mengajar. Pendidikan Syaikh Bahai kemudian dilanjutkan di Isfahan. Guru pertama dan terpenting Syaikh Bahai adalah ayahnya sendiri. Ia belajar dari sang ayah pelajaran Tafsir, Hadis, Sastra Arab, dan sebagian ilmu-ilmu rasional. Syaikh Bahai memperoleh izin dari ayahnya untuk meriwayatkan hadis. Ketenaran ilmu dan kedudukan Syaikh Bahai di tengah masyarakat menarik banyak murid untuk menuntut ilmu kepadanya.

Amini (jld. 11, hlm. 252-260) memberikan laporan terlengkap tentang nama-nama murid Syaikh Bahai dan periwayatnya; Ia menyebutkan 97 nama lengkap dengan referensiya. Di antara murid Syaikh Bahai yang paling terkenal adalah Muhammad Taqi Majlisi, Muhammad Muhsin Faidh Kasyani, Shadr al-Din al-Muta’allihin al-Syirazi (Mulla Sadra) dan masih banyak lagi.

Posisinya sebagai Syaikh al-Islam menjadikannya memiliki posisi tertinggi pejabat kerajaan dalam bidang keagamaan. Gelar dan posisi ini tetap melekat hingga akhir hayatnya. Kedudukan ini sebenarnya tidak disukai Syaikh Bahai sendiri. Ia lebih senang melakukan uzlah dan menjalani hidup sebagai seorang Darwis dan zuhud. Ia bahkan selalu mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri. Terlepas dari posisi dan statusnya sebagai Syaikh al-Islam, kedudukan dan kedekatan khusus dengan istana Dinasti Shafawi membuat Syaikh Bahai menjadi orang terpercaya Syah Abbas dalam masalah ilmu dan takwa. Syah Abbas senantiasa meminta pendapat dan bermusyawarah dengan Syaikh Bahai.

Syaikh Bahai merupakan salah seorang ulama dan fukaha mazhab Syiah Imamiyah. Karya-karyanya cukup banyak dan terus dijadikan referensi hingga hari ini. Dalam syair-syair Arabnya, Bahauddin Amili selalu meluapkan kecintaan dan ketulusannya pada para Imam Ahlulbait serta kerinduan untuk berziarah ke pusara mereka.

Syaikh Bahai adalah seorang fakih Syiah yang moderat dan menaruh perhatian terhadap karya-karya dan ucapan-ucapan ulama Sunni dengan model para pendahulunya. Sebagai contoh, ia menulis catatan pinggir atas kitab Tafsir Kassyaf karya Zamakhsyari. Ia juga menulis catatan pinggirnya pada kitab Tafsir Baidhawi. Meski tidak selesai, namun catatan pinggir Syaikh Bahai ini termasuk catatan pinggir terbaik terhadap kitab tafsir ini.

Syaikh Bahai hidup dalam kondisi fakir dan menjalani kehidupan sebagai Darwis, kendati dirinya termasuk salah seorang ulama yang dekat dengan istana Dinasti Shafawi. Namun demikian, ia memiliki kecenderungan pada Tasawuf dan Irfan. Bahkan, ia lebih condong terhadap Irfan melebihi ulama dan fukaha Ahlulbait lain di masanya.

Syaikh Bahai merupakan salah satu tokoh yang banyak menghasilkan karya ilmiah dan buku dalam dunia Islam dari aspek penyusunan dan keragamannya. Jumlah risalah, catatan pinggir, dan anotasi yang disusun Syaikh Bahai berjumlah 123 judul. Sebagian karya Syaikh Bahai adalah sebagai berikut:

Fikih

Itsna ‘Asyariyah.
Pasukh Soal Syah Abbas Shafawi
Pasukh Soalat Syaikh Saleh Jabiri.
Ajwibah Masail Jazairiyah.
Ahkam Sujud wa Tilawat, dan puluhan karya fikihnya yang lain.
Ulumul Qur’an

Hāsyiyyah Anwār al-Tanzil Qādhi Baidhāwi
Hal al-Huruf al-Qur’āniyah
Hāsyiyyah Kassyāf Zamakhsyari
Tafsir ‘Ain al-Hayāt
Tafsir Ayāt Syarifah (Faghsilū Wujuhakum wa Aidiyakum ila al-Ka’bain), dan lain-lain
Serta masih banyak karyanya tentang Hadis, Ad’iyah wa Munajat (Doa-doa dan Munajat), Ushul I’tiqadāt (Akidah), Ushul Fiqh, Rijal dan Ijazah-ijazah, Sastra Arab dan Ilmu-ilmu Bahasa Arab, Matematika (Riyadhiyah), Hikmah dan Filsafat, ‘Ulum Gharibah dan berbagai karya artistektur. Ia mendesain dan membangun indikator waktu Dhuhur syar’i pada waktu bagian barat Masjid Isfahan dan juga di pelataran Haram Imam Ridha as dan mendesain kubah Masjid Imam Isfahan yang dapat memantulkan tujuh kali suara.

Bahauddin Amili beberapa hari sebelum wafatnya, berziarah ke makam Baba Rukunuddin Syirazi bersama beberapa orang dan murid-muridnya. Ia mengalami mukasyafah yang disimpulkan bahwa usianya tak akan lama lagi berakhir.  Pasca mukasyafah itu, Bahai lebih memilih berkhalwat dan menyendiri. Setelah tujuh hari jatuh sakit, Syaikh Bahai mengembuskan nafasnya yang terakhir dan sesuai wasiatnya, jenazahnya dibawa ke Masyhad dan dikebumikan di madrasahnya yang berada di pelataran Haram Imam Ridha. Ia wafat pada 1030 H/1620 M.

 

Jauh sebelum sains berkembang di dunia Barat, pada abad ke-11, lahir sosok jenius dengan mahakarya di banyak bidang ilmu pengetahuan. Kualitas analisisnya dalam beragam bidang pengetahuan, yang bertebaran dalam 180-an buku, membuat banyak sarjana modern, muslim atau nonmuslim, menjulukinya “Ustadz fil Ulum” alias “guru segala ilmu.” Ia sezaman dengan Ibnu Sina dan Ibnu Haytham. Sosok itu adalah al-Biruni.

Bernama lengkap Abu Rayhan Muhammad ibnu Ahmad al-Biruni, dilahirkan di Khwarazm (kini Uzbekiztan) pada 15 September 973. Ia berasal dari keluarga sederhana penganut Mazhab Ahlubait yang  berasal dari negara Tajikistan di Asia Tengah, sebelah Barat Tiongkok.  Ia juga dikenal sebagai intelektual dengan religiusitas tinggi.

Al-Biruni adalah figur ulama, ahli matematika, astronom, ahli fisika, cendekiawan, penulis ensiklopedia, ahli falsafah, ahli astrologi, pengembara, pakar sejarah, ahli farmasi dan guru yang banyak memberi kontribusi dalam bidang matematika, falsafah, medis, dan sains asal Persia.

Beliau dikenal rajin dan sangat cerdas. Maka tak heran, dengan keluasan intelektual yang dimilikinya itu, ia dimasukkan dalam kelompok elit intelektual besar Muslim sepanjang sejarah peradaban ilmu pengetahuan Islam. Sepanjang hidupnya, ia mengabdikan diri pada pencarian ilmu pengetahuan dan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk belajar di istana para sultan. Pemikiran al-Biruni banyak dipengaruhi para pendahulunya. Sebut saja, misalnya, ketika melakukan studi perbandingan agama, ia menggunakan pendekatan yang diilhami al-Sirat al-Falsifah dan beberapa karya al-Razi (865-925 M). Dalam matematika, astronomi, dan geometri, ia banyak dipengaruhi Abu Nashr Manshur bin Iraq (970-1036 M) serta Muhammad al-Khawarizmi (780-850 M).

Abu Raihan Al-Biruni merupakan teman dari filsuf dan ahli obat-obatan Abu Ali Al-Hussain ibnu Abdallah Ibn Sina atau Ibnu Sina. Ia menulis banyak buku dalam bahasa Persia dan Arab. Tercatat lebih dari 180 judul buku telah ditulisnya. Ketika berusia 17 tahun, ia meneliti garis lintang bagi Kath, Khwarazm, dengan menggunakan altitude maksima matahari. Ketika berusia 22 tahun, ia menulis beberapa hasil kerja ringkas, termasuk kajian proyeksi peta, “Kartografi”, yang meliputi metodologi untuk membuat proyeksi belahan bumi pada bidang datar, dan membuat penelitian mengenai jari-jari bumi sebesar 6.339,6 kilometer; hasil ini direproduksi di Barat pada abad ke-16.

Minat  dan  kecenderungannya  dalam  mempelajari  serta  meluaskan  dimensi  ilmu pengetahuannya  telah  mendorong  Al-Biruni  merantau  sehingga  ke  negara  India. Namun, semasa berada di India, Al-Biruni sempat ditawan oleh Sultan Mahmood al-Ghaznawi. Semasa berada dalam tawanan itu, Al-Biruni menggunakan seluruh ruang dan peluang yang ada untuk menjalinkan hubungan antara para ilmuwan sekolah tinggi Baghdad  dan  para  sarjana  Islam  India  yang  tinggal  dalam  istana  Mahmud  al-Ghaznawi. Namun dikarenakan ketinggian ilmunya, Al-Biruni dibebaskan dan ditugaskan di istana sebagai salah seorang  ulama. Kesempatan  itu  digunakan  sepenuhnya  oleh  Al-Biruni  untuk mempelajari bahasa Sanskrit dan bahasa lain di India.

Kemudian ia menulis sebuah buku yang berjudul Kitab Tahdid al Nih-ayat al Amakin Lita’shih al Masafat al Masakin. Ia juga turut mendirikan  sebuah  pusat  kajian  astronomi  mengenai  sistem  solar  yang  telah membantu perkembangan kajian ilmu falak pada tahun-tahun mendatang. Kajiannya dalam bidang sains, matematika, dan geometrika telah menyelesaikan banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan sebelumnya. Karyanya tentang sejarah  Islam  telah  diterjemahkan  ke bahasa  Inggris  dengan  judul “Chronology of Ancient Nation”.

Kepakarannya dalam ilmu Islam juga tidak bisa diragukan. Saat masih berusia muda, ia sudah menghasilkan sebuah karya besar, berjudul Kitab al-Asar al-Baqiya ‘anil Quran al-Khaliya.  Al-Biruni wafat pada 13 Desember 1048 dalam usia 75 tahun. (wikipedia/iqra/tirto)

Senin, 24 Februari 2020 11:50

Sayid Muhammad Baqir Al-Shadr

 

Sayid Muhammad Baqir Shadr lahir pada 25 Dzulkaidah 1353 H di kota Kazhimain. Ayahnya bernama Sayid Haidar Shadr Amili dan ibunya adalah putri Syaikh Abdul Husain Yasin. Kakeknya Sayid Ismail Shadr termasuk salah seorang marja’ taqlid. Garis keturunannya bermuara pada Imam Musa Kazhim as.

Syahid Shadr menamatkan pendidikan dasarnya selama 3 tahun dan melanjutkannya dengan mempelajari ilmu keagamaan di hawzah. Ia mempelajari kitab al-Mantiq karya Muhammad Ridha Muzhaffar dan Ma’alim al-Ushul di sisi saudaranya, Sayid Ismail. Beliau mampu menamatkan kitab-kitab hawzah dalam tempo singkat. Di antara guru-gurunya adalah Muhammad Taqi Jauhari, Abbas Syami, Sayid Baqir Syakhs, Shadra Badkubi, Sayid Muhammad Ruhani, Sayid Abul Qasim Khui, dan Syaikh Muhammad Ridha Yasin.

Menginjak usia 20 tahun, Sayid Muhammad Baqir Shadr mulai mengajarkan kitab Kifayatul Ushul. Semenjak usia 25 tahun, beliau mengajarkan kharij ushul, dan mulai usia 28 tahun, mengajarkan kharij fikih.

Selama kira-kira 30 tahun mengajar, Sayid Shadr mampu mendidik sejumlah murid. Di antara mereka adalah Sayid Muhammad Baqir Hakim, Sayid Nuruddin Asykawari, Sayid Kamal Haidari, dan lain-lain. Beliau mempelajari ilmu-ilmu agama dari Ayatullah Khui dan beberapa ulama Najaf. Ia mampu menyelesaikan pendidikannya sebelum berusia 20 tahun. Ia mengajar ilmu-ilmu agama di hawzah ilmiah Najaf.

Karya-karyanya sangat banyak. Di antaranya, Falsafatuna (Filsafat Kita), Fadak fi al-Tarikh (Fadak dalam Sejarah), Ghayatul Fikr fi Ilm al-Ushul (Puncak Pemikiran dalam Ilmu usul), Iqtishaduna (Ekonomi Kita)
Al-Usus al-Mantiqiyah li al-Istiqra (Dasar-dasar Logika untuk Induksi) dan puluhan lainnya dalam bidang fikih, ushul, logika, filsafat, ekonomi, teologi, tafsir, sejarah, dan politik.

Di antara karyanya yang sangat fenomenal adalah Iqtishaduna atau Ekonomi Kita. Kendati tak punya latar pendidikan khusus dalam bidang ekonomi, namun beliau dengan sangat cerdas mengritisi dua mazhab ekonomi materialistik, yaitu Kapitalime dan Sosialisme. Keduanya sama-sama hanya berfokus pada faktor produksi. Sayid Shadr meyakini bahwa sesuatu yang disampaikan Islam adalah aliran ekonomi Islam, bukan ilmu ekonomi Islam. Artinya, ekonomi Islam menyuguhkan cara yang adil bagi pengaturan kehidupan ekonomi.

Menurutnya, distribusi sumber-sumber produksi yang dasariyah, mendahului proses produksi itu sendiri. Jadi, dalam perspektif Sayid Shadr, faktor pertama adalah distribusi, kemudian produksi. Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi sumber produksi mendahului proses produksi dan setiap organisasi yang terkait dengan proses produksi, otomatis berada pada tingkatan kedua. Sebagai titik awal atau tingkatan pertama dalam sistem ekonomi  Islam adalah distribusi, bukan produksi, sebagaimana ekonomi politik tradisional. Masalah utama ekonomi berakar pada distribusi itu sendiri.

Sayid Shadr menyatakan bahwa hukum Islam menugaskan negara untuk menjamin kebutuhan seluruh individu. Fungsi negara dalam mengaplikasikan prinsip kewajiban timbal balik masyarakat sebenarnya mencerminkan peran negara dalam memaksa warganya untuk mematuhi apa yang telah digariskan dalam syariat, demi memastikan kaum Muslim mematuhi hukum-hukum Islam.

Pada 1377 H, Muhammad Baqir Shadr bersama beberapa ulama Irak membentuk Partai Dakwah Islam guna mengelola pelbagai aktivitas politik muslim Irak. Sayid Shadr juga menjalin kerjasama dengan Komunitas Ulama Najaf yang anggotanya terdiri dari para ulama seperti Syaikh Murtadha Yasin, Syaikh Muhammad Ridha Muzhaffar, dan Sayid Mahdi Hakim. Karena masih berusia muda, beliau tidak menjadi anggota, namun intensif menjalin kerjasama serius dengan mereka.

Sayid Muhammad Baqir Shadr juga mendukung pergerakan Imam Khomeini di Iran. Ketika Imam Khomeini tinggal di Najaf, Sayid Shadr pun menjalin hubungan dengan Imam Khomeini. Syahid Shadr mengeluarkan statmen berkenaan dengan Imam Khomeini, “Meleburlah kalian dengannya, sebagaimana Imam Khomeini melebur dalam Islam.”

Pada 5 April 1970 (19 Jumadil Awal 1400 H), penguasa Irak menangkap Sayid Muhammad Baqir Shadr setelah sebelumnya dipenjara dalam rumah selama sembilan bulan. Rezim Saddam mengatakan kepada orang-orang yang menangkap beliau saat itu, “Katakan bahwa ia tidak akan memusuhi rezim, jika tidak, akan dieksekusi.”

Sayid Shadr menolak permintaan ini dan menyatakan siap mati syahid. Akhirnya pada 8 April 1980 (22 Jumadil Awal 1400 H), Syahid Shadr bersama saudarinya (Bintul Huda) gugur sebagai syahid. Kemudian, penguasa Irak menguburkan jasad Syahid Shadr secara rahasia di pemakaman Wadi Salam. Setelah intifadah Sya’baniyah tahun 1991, dengan maksud menghancurkan kuburan orang-orang pengikut Ahlulbait, dibuatlah jalan-jalan yang banyak di pemakaman ini dan kuburan Syahid Shadr diletakkan di jalan raya. Orang-orang yang mengetahui tempat kubur beliau lantas memindahkan jasadnya ke tempat lain di Wadi Salam. Setelah beberapa waktu, dikarenakan adanya orang lain yang mengetahui letak pusaranya, jasad beliau pun kembali dipindahkan ke tempat lain. Akhirnya, pada bulan Ramadhan 1427 H, jasad Syahid Shadr dipindahkan ke pintu gerbang kota Najaf, hingga kemudian dibangun lembaga-lembaga ilmiah dan sosial di sekitarnya.

Senin, 24 Februari 2020 11:49

Rasulullah SAW Dan Akhlak Yang Agung

 

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ 

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
(QS. al-Qalam: 4)

Kata khulq (akhlak) ditujukan kepada sifat yang bercampur dengan karakter manusia, dan tidak ditujukan kepada perilaku musiman dan temporer. Terdapat berbagai penafsiran tentang akhlak yang agung, di antaranya:

Siti Aisyah berkata, “Akhlak Rasulullah SAW mengandung sepuluh ayat pertama surah aL-Mukminun. Dan tidak ada pujian yang lebih tinggi dari pujian ini.”
Yang dimaksud dengan akhlak yang agung ialah berakhlak dengan akhlak Islam dan berjiwa besar.
Yang dimaksud dengan akhlak yang agung ialah sabar dalam kebenaran, dan mengatur urusan atas dasar tuntutan akal.
Sebagian buku bahasa mengartikan akhlak dengan agama. Sebagaimana dikatakan Imam Muhammad Baqir as, “Yang dimaksud akhlak yang agung adalah agama Islam.” ( Tafsir Nur al-Tsaqalain)
Yang dimaksud dengan akhlak yang agung ialah menghadapi para penentang dengan lapang dada. Sebagaimana Allah mengajarkan hal ini kepada Rasulullah SAW, jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh (QS. al-A‘raf: 199)
Yang dimaksud dengan akhlak yang agung ialah akhlak yang mulia. Sebagaimana dikatakan Rasulullah saw. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” “Allah telah mendidikku, dan betapa baik Dia telah mendidikku.” (Tafsir Majma al-Bayan)
Berkenaan dengan akhlak Rasulullah SAW, Siti Aisyah berkata. “Akhlaknya adalah Alquran” (Sunan al-Nabi, Thabathaba’i, hal. 56)
Almarhum Allamah Thabathaba’i, dalam kitab tafsirnya al-Mizan (jilid 6, halaman 183), menukil sebanyak 27 halaman hadis-hadis tentang akhlak, sunah dan adab kehidupan Rasulullah SAW. Berikut ini kami sebutkan secara ringkas sebagian darinya:

Rasulullah SAW menjahit sandalnya sendiri.
Menambal pakaiannya sendiri.
Memerah susu kambingnya sendiri.
Makan bersama hamba sahaya.
Duduk di atas tanah.
Menunggang keledai.
Rasa malu tidak menghalanginya untuk memenuhi sendiri kebutuhan dirinya dari
Mengulurkan tangan kepada orang kaya dan orang miskin, dan tidak menarik tangannya hingga orang lain menarik tangannya dalam bersalaman.
Memberi salam kepada siapa saja yang dijumpainya baik orang dewasa mapun anak-anak.
Jika orang menawarkan sesuatu, tidak menghinanya meskipun satu biji kurma kering.
Sedikit pengeluaran, mempunyai tabiat yang baik, dan cara bergaul yang baik.
Senantiasa tersenyum, namun dengan tidak tertawa terbahak-bahak.
Senantiasa tampak sedih, namun dengan tidak muka cemberut.
Senantiasa tawaduk, namun dengan tidak menunjukkan kehinaan.
Dermawan namun tidak boros.
Sangat penyayang.
Tidak tamak kepada sesuatu.
Ketika hendak keluar rumah, melihat dirinya di cermin, menyisir rambutnya, dan terkadang melakukannya di depan air.
Tidak pernah menjulurkan kaki di depan orang lain.
Selalu memilih pekerjaan yang lebih sulit di antara dua pekerjaan.
Tidak pernah melakukan balas dendam karena sebuah kezaliman yang telah ditimpakan kepadanya. Kecuali jika melanggar kehormatan Allah, maka dia akan marah.
Tidak pernah memakan makanah sambil bersandar.
Tidak perah seseorang meminta sesuatu kepadanya lalu beliau menjawab tidak.
Salatnya meskipun sempurna tapi ringan dan khotbahnya pendek.
Orang mengenal beliau dari bau harumnya.
Ketika punya tamu di rumah, beliau orang pertama yang menyentuh makanan dan orang yang terakhir menari tangan dari makanan, supaya tamu enak makan.
Senantiasa memakan makanan yang ada di hadapannya.
Meminum air dengan tiga tegukan.
Hanya dengan tangan kanan memberi dan mengambil sesuatu, dan hanya dengan tangan kanan memakan makanan.
Ketika berdoa, beliau mengulang doanya sebanyak tiga kali, dan ketika berbicara beliau SAW hendak mengulang ucapannya.
Jika meminta izin masuk ke rumah seseorang, beliau mengulanginya sebanyak tiga kali.
Perkataannya jelas, sehingga yang mendengar paham maksudnya.
Dalam satu majelis, beliau membagi pandangannya kepada orang-orang yang ada di hadapannya.
Setiap berbicara dengan orang beliau selalu tersenyum.

Alquran

Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan…

Nahjolbalaghe

Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009, IMAM ALI DAN HAK…