کمالوندی

کمالوندی

Senin, 07 Januari 2013 19:43

Makna Tawakal Kepada Allah Swt

Al-Quran di banyak tempat menyebut tawakal kepada Allah sebagai ciri khas orang beriman. Allah swt berfirman, "... Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. al-Maidah: 23)

Dalam tafsir al-Mizan karya Allamah Thabathabai istilah tawakal didefinisikan sebagai berikut:

"Pengaruh kehendak dan sampainya sesuatu yang dimaksud di alam materi membutuhkan mata rantai sebab dan faktor alami serta silsilah faktor kejiwaan. Ketika manusia memasuki medan amal dan telah menyiapkan seluruh faktor alami yang dibutuhkan dan satu-satunya yang berada antara dirinya dan tujuan adalah sejumlah faktor kejiwaan seperti lemahnya kehendak, keputusan, takut dan lain-lain.

Dalam kondisi yang demikian, bila seseorang bertawakal kepada Allah Swt, maka kehendaknya menjadi kuat dan tekadnya semakin besar. Ketika hal itu terjadi maka segala bentuk rintangan dan gangguan kejiwaan akan terkalahkan. Karena manusia dalam posisi bertawakal menyambungkan dirinya dengan penyebab segala sesuatu dan ikatan ini tidak memberikan kesempatan adanya kekhawatiran dan ketakutan.

Selain itu, ada poin penting lain tentang tawakal, yaitu dimensi gaib dan metafisika. Artinya, Allah Swt membantu orang yang bertawakal dengan dan bantuan ini lebih tinggi dari sebab alami dan berada di atas tingkat sebab materi. Lahiriah ayat al-Quran yang menyebutkan, "... Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya ..." (QS. At-Talaq: 3) menunjukkan bantuan gaib dari Allah Swt."

Imam Ali as tentang tawakal berkata, "Barang siapa yang bertawakal kepada Allah Swt, maka setiap kesulitan akan menjadi kemudahan, segala sebab terpenuhi baginya dan senantiasa merasa tenang, lega dan mulia."

Tawakal sangat berpengaruh dalam kehidupan individu dan sosial manusia, termasuk kemampuan manusia dalam mengambil keputusan. Yakni, ketika manusia bertawakal kepada Allah, maka ia akan dapat melanjutkan pekerjaannya dengan tekad yang kuat dan berdasarkan keputusan yang pasti. Ayat-ayat al-Quran banyak berbicara tentang hal ini.

Keberanian merupakan pengaruh lain bagi manusia yang bertawakal dan banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-Quran. Yakni, ketika manusia bertawakal kepada Allah Swt, berarti ia memasuki satu medan dimana ia tidak takut akan terhadap seseorang dan sesuatu.

Pengaruh ketiga dari tawakal adalah meninggalkan dosa dan tidak dikuasai oleh setan. Allah Swt dalam surat Yunus ayat 85 berfirman, "Lalu mereka berkata: "Kepada Allahlah kami bertawakkal! Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zalim."

Dengan demikian, seberapa besar manusia bertawakal kepada Allah Swt, maka sebesar itu pula ia keluar dari kendali setan dan akhirnya ia akan terjaga dari penyesatan yang dilakukan setan.

Pengaruh tawakal juga disebutkan dalam hadis-hadis seperti kekuatan dan keberanian. Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang ingin dirinya menjadi orang yang paling kuat, maka hendaklah ia bertawakal kepada Allah Swt."

Cita-cita yang tinggi juga merupakan pengaruh dari tawakal kepada Allah Swt. Pengaruh ketiga dari tawakal kepada Allah Swt yang disebutkan dalam hadis adalah pentingnya bekerja dan beraktivitas. Sebagai contoh, dalam riwayat disebutkan Rasulullah Saw melihat sebuah kelompok yang tidak bekerja. Beliau kemudian bertanya, "Apa yang kalian kerjakan?"

Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt."

Nabi Saw bersabda, "Kalian tidak termasuk orang-orang yang bertawakal, tapi bergantung kepada orang lain."

Sesuai dengan doa Imam Sajjad as menyebut manusia mukmin menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah Swt dan di seluruh tahapan kehidupannya menilai Allah sebagai pendukungnya. Imam Sajjad as dalam doanya berkata, "Ya Allah! Saya hanya memohon kepada-Mu dan Engkau sumber harapanku. Saya hanya meminta dan berlindung kepada-Mu. Saya percaya kepada-Mu dan Engkau adalah pendukungku. Saya beriman kepada-Mu dan hanya bertawakal kepada-Mu.

Ibnu Durustuwiyah, Ahli Nahwu Meninggal

Abu Muhammad, Abdullah bin Jakfar bin Muhammad bin Durustuwiyah, ahli nahwu, bahasa dan sastra Arab lahir di kota Baghdad tahun 258 Hq. Ia juga menguasai ilmu hadis dan dalam ilmu nahwu Ibnu Durustuwiyah mengikuti Ali bin Isa Rummani dan Mubarrad.

Ibnu Durustuwiyah banyak meninggalkan karya seperti al-Irsyad, al-Kuttab, Akhbar an-Nahwiyyin dan Ma'ani Syi'r. Ia meninggal dunia di Baghdad pada 24 Shafar 347 Hq dalam usia 88 tahun.

 

Shahib bin Ibad Meninggal

Tanggal 24 Shafar tahun 385 Hijriah, Shahib bin Ibad, seorang sastrawan Persia pada masa pemerintahan Dinasti Dailami, meninggal dunia. Kehebatan Shahib bin Ibad membuatnya diangkat sebagai menteri oleh Dinasti Dailami, namun jabatan itu tidak mengubah sikapnya yang selalu rendah hati.

Karya Shahib bin Ibad yang paling terkenal berjudul al-Muhith yang berisi tentang ilmu bahasa dan terdiri dari tujuh jilid. Karya-karya lain Shahib bin Ibad berjudul Imamat, al-Anwar, dan al-A'yad wa Fadhaailun.

Nabi Muhammad Saw telah meninggalkan dua pusaka abadi kepada umat Islam; al-Quran dan Ahli Bait, sembari menegaskan bahwa dua pusaka ini tidak akan terpisah hingga Hari Kiamat.

Ahli Bait merupakan penafsir al-Quran dan pada saat yang sama perilaku dan ucapan mereka menjadi penjelas ayat-ayat al-Quran.

Imam Husein as dan rombongan sejak bergerak dari Madinah hingga Karbala dalam pelbagai kesempatan membacakan ayat-ayat al-Quran dan pasca syahadah beliau ketika kepala suci beliau berada di ujung tombak musuh, masih juga membacakan ayat-ayat al-Quran.

Ketika Imam Husein as akan keluar dari Madinah, beliau membaca ayat, "Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu"." (QS. al-Qashas: 21)

Ketika Imam Husein as tiba di kota Mekah beliau membaca ayat yang berhubungan dengan Nabi Musa as ketika tiba di kota Madyan, "Dan tatkala ia menghadap kejurusan negeri Madyan ia berdoa (lagi): "Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar"." (QS. al-Qashas: 22)

Imam Husein as saat mendengar berita syahadah Muslim bin Aqil, air matanya telah menggenangi pelupuk matanya, tapi dengan segera beliau membaca ayat, "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)." (QS. al-Ahzab, 23)

Ali Akbar as ketika mendekati Karbala sempat mendengar Imam Husein as membaca ayat, "... Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun." (QS. al-Baqarah: 156)

Diriwayatkan bahwa ketika Ubaidillah bin Hur al-Ju'fi tidak menerima ajakan Imam Husein as, ia mengatakan akan menghadiahkan kudanya kepada beliau, tapi Imam Husein as memalingkan wajahnya dari Ubaidillah dan berkata, "Ketika engkau tidak ingin mengorbankan jiwamua di jalan kami, maka kami juga tidak membutuhkan hartamu." Setelah itu Imam Husein membaca ayat, "... Dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong." (QS. al-Kahfi: 51)

Para ahli sejarah dan ulama menukil bahwa pada saat-saat terakhir ketika pasukan musuh menyerang Imam Husein as, Sinan bin Anas memenggal kepala Imam Husein as dan setelah itu Khauli membawa kepala suci Imam Husein as kepada Ubaidillah bin Ziyad. Beberapa hari berlalu dan kepala syuhada Karbala bersama para tawanan di Kufah, Ubaidillah bin Ziyad memerintahkan agar 500 tentara menyertai para tawanan dan kepala syuhada ke Syam menemui Yazid bin Muawiyah. Kepala-kepala yang berada di atas tombak memasuki Syam dan dibawa ke hadapan Yazid bin Muawiyah.

Syeikh Mufid mengatakan, pagi-pagi keesokan harinya Ubaidillah bin Ziyad mengambil sebuah kepala dan memerintahkan agar kepala suci Imam Husein as dengan kepala syuhada Karbala dibawa keliling mengitari jalan-jalan kota Kufah.

Zaid bin Arqam meriwayatkan, pada hari itu saya melihat kepala-kepala syuhada Karbala dibawa mengelilingi gang-gang kota Kufah dalam kondisi tertancap tombak-tombak. Saya terduduk di sebuah kamar, dimana kepala Imam Husein as berada di sebuah tombak diletakkan di hadapan saya. Pada waktu itu saya mendengar kepala Imam Husein as membaca sebuah ayat dari surat al-Kahfi, "Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?" (QS. al-Kahfi: 9)

Saat mendengar ayat itu, saya berkata, "Demi Allah! Kepalamu, wahai keturunan Rasulullah, lebih mengherankan dari apa yang terjadi pada Ashab Kahfi."

Begitu juga diriwayatkan ketika para tawanan bersama kepala-kepala syuhada Karbala digiring ke arah Syam, di tengah jalan ada seorang Yahudi bernama Yahya Harrani menyambut rombongan itu. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah kepala yang mulutnya komat-kamit seperti membaca sesuatu. Perawi mengatakan bahwa orang Yahudi itu mengatakan, "Saya semakin mendekati kepala itu dan berusaha ingin mendengar apa yang sedang diucapkannya. Pada waktu itu saya mendengar bibir itu membaca ayat, "... Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali." (QS. as-Syu'ara: 227)

Yahya yang melihat kenyataan itu benar-benar takjub dan bertanya kepala ini milik siapa? Mereka menjawab, "Itu kepala Husein bin Ali dan ibunya adalah Fathimah, anak perempuan Nabi Muhammad Saw." Mendengar penjelasan itu, Yahya langsung memeluk Islam.

Diriwayatkan juga bahwa ketika kepala Imam Husein as ditancapkan di tombak, mulut beliau membaca ayat, "... Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Baqarah: 137)

Imam Husein as adalah hamba Allah Swt yang khusus dan gugur syahid dalam kondisi terzalimi. Tidak aneh bila Allah Swt menunjukkan ayat-ayat al-Quran dan betapa zalimnya musuh-musuh dengan keramat yang dimiliki Imam Husein as ini.

8. Asad bin Malik

Asad bin Malik adalah manusia bejat dan pembunuh di Karbala. Ia termasuk orang-orang yang loyal Bani Umayah. Ada perbedaan dalam penukilan namanya. Ada yang menyebutnya Asid bin Malik dan ada juga yang menulis Asid bin Malik Hadhrami. Sebagian sejarawan seperti Ibnu Syahrasyub dalam al-Manaqib dan Sayid Mohsen Amin dalam A'yan al-Syiah berserta Qadhi an-Nu'man menyebut Asad bin Malik sebagai pembunuh Abdullah anak Muslim bin Aqil dengan dibantu oleh Amr bin Shabih Shaidawi. Dalam Ziarah Nahiyah Muqaddas Imam Mahdi af disebutkan:

"Assalamu Ala al-Qatiil Ibnu al-Qatil (Abdullah bin Muslim bin Aqil) wa La'ana Allah Qatilahu Amir bin Sha'sha'ah wa Qila Asad bin Malik."

Asad termasuk dari orang-orang yang menginjak-injak badan Imam Husein as pasca syahadahnya dengan kuda yang membuat tulang dada beliau remuk. Mereka kemudian mendatangi Ibnu Ziyad untuk menyatakan telah melakukan ini dan itu guna mendapat hadiah. Ketika berada di hadapan Ibnu Ziyad mereka membaca syair dengan makna seperti ini, "Kami telah menghancurkan dada Husein. Kami telah menginjak-injak kulitnya dengan kuda yang kuat dan perkasa!!"

Mendengar itu, Ibnu Ziyad berkata, "Siapa kalian?"

Mereka menjawab, "Wahai Amir! Kami orang-orang yang telah berbuat baik."

Mendengar itu Ibnu Ziyad tidak menunggu lama dan memerintahkan agar mereka diberi sedikit hadiah.

Ketika dikaji lebih jauh, ditemukan bahwa mereka semua keturunan anak zina.

 

Nasib Buruk Asad bin Malik

Ketika Mukhtar Tsaqafi bangkit untuk menuntut balas darah Imam Husein as pada 66 Hq, ia mengeluarkan perintah untuk memaku tangan dan kaki mereka di atas tanah, lalu para penunggang kuda menginjak-injak badan mereka sehingga mati. (Malhuf, hal 182, Bihar al-Anwar, 45/59)

Ada yang menyebut bahwa Asad bin Malik ini adalah Asid Hadhrami, suami Tau'ah, seseorang yang berasal dari Kufah dan menyembunyikan Muslim bin Aqil. Ia, ada yang menyebut anaknya, kemudian mengabarkan kepada Dar al-Imarah dan pemerintah Kufah bahwa ada Muslim bin Aqil di rumahnya, sehingga dengan mudah Muslim bin Aqil ditangkap. Tapi mungkin saja ini hanya kemiripan nama. Sementara tidak ada sumber terpercaya yang dapat menguatkan pendapat ini. Namun pastinya, Asad bin Malik ini adalah termasuk salah satu pembunuh Karbala dan darahnya telah terpolusi dengan darah-darah suci. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

 

Sumber:

1. Mausu'ah al-Imam Husein as, mengutip dari Hadaiq al-Wardiyah, al-Abarat dan lain-lain.

2. Nafas al-Mahmum.

3. Ziarah Nahiyah Muqaddas.

4. Tarjamah Abshar al-‘Ain.

Senin, 07 Januari 2013 19:35

Imam Sajjad as, Penyebar Misi Asyura

Hari ini bertepatan dengan peringatan hari syahidnya. Imam Ali bin Husein Zainal Abidin Al-Sajjad. Ia merupakan salah satu saksi hidup tragedi pembantaian Imam Husein as dan keluarganya di padang Karbala. Namun berkat ijin ilahi, beliau berhasil bertahan hidup, sehingga jejak perjuangan ayahnya, Imam Husein as tetap bisa dilanjutkan.

Imam Ali Zainal Abidin Al-Sajjad as lahir di kota Madinah pada tahun 38 H. Ketika tragedi Karbala tahun 61 H terjadi, beliau berumur 23 tahun. Saat itu, beliau tengah menderita sakit parah sehingga hanya bisa terbaring dan tidak mampu ke medan laga. Sejarah mencatat, tatkala pertempuran di padang Karbala bergolak, Imam Sajjad as mendengar suara ayahnya, Imam Husein as yang berkata, "Siapakah yang menolongku?", dalam keadaan lemah beliau pun berusaha bangkit seakan hendak memenuhi panggilan ayahnya. Namun melihat hal itu, Ummu Kultsum, bibi beliau pun berusaha menahannya pergi lantaran masih lemahnya kondisi kesehatan Imam Sajjad as. Dengan penuh harapan, beliau berkata, "Bibi, ijinkan aku pergi berjihad bersama putra Rasulullah Saw". Akan tetapi, karena lemahnya kondisi jasmani beliau, Imam pun tak mampu mengantarkan dirinya ke garis pertempuran. Hingga akhirnya takdir pun menyelamatkan beliau dan cita-cita kebangkitan Imam Husein dapat terus diperjuangkan.

Sejarah kehidupan sosial, budaya, dan politik Imam Sajjad as bisa ditinjau dari berbagai sisi. Tragedi berdarah Asyura yang berakhir dengan syahidnya Imam Husein as pada tanggal 10 Muharram 61 H di padang Karbala, merupakan tonggak awal perjuangan Imam Sajjad as. Kondisi kritis pasca tragedi Karbala menempatkan Imam as pada situasi baru. Dengan kata lain, sejak saat itulah masa penyebaran misi kebangkitan Imam Husein as atau Revolusi Huseini dan penegakan cita-citabnya pun dimulai.

Peran dan aksi Imam Zainul Abidin as dalam menyebarkan pesan dan misi Revolusi Huseini patut dipuji. Beliau bersama dengan bibinya, Zainab as, dengan piawainya dan tanpa kenal menyerah terus menyebarkan pesan keadilan Imam Husein di tengah kondisi yang sangat sulit dan penuh ancaman. Tuturan dan gerak juang Imam Sajjad as pasca tragedi Asyura menunjukkan kebijaksanaan dan keluhuran hikmah yang beliau miliki.

Sejatinya, orasi, khotbah dan peringatan yang mengungkap tragedi dalam peristiwa Asyura semuanya itu memiliki arah dan tujuan. Saat Imam as digelandang bersama para tawanan Karbala dan sampai di kota Kufah, beliau melontarkan orasi yang sangat memukau dan menyentuh, sampai-sampai seluruh warga kota Kufah seakan tersihir oleh orasi beliau. Setelah memaparkan tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi dan Imam Husein as, beliau berbicara kepada warga Kufah, "Wahai umat manusia, demi Allah aku bersumpah dengan kalian, apakah kalian ingat, kalian sendiri yang telah menulis surat kepada ayahku, namun setelah itu kalian menipunya? Kalian menjalin janji dan berbaiat kepadanya, namun kalian juga yang memeranginya? Lantas dengan mata yang mana lagi kalian akan melihat saat Rasulullah saw di Hari Kiamat kelak berkata, ‘Kalian telah bunuh Ahlul Baitku dan mematahkan kehormatanku!'"

Puncak orasi Imam Sajjad as saat beliau berpidato di hadapan khalifah zalim, Yazid bin Muawiyah di Syam. Seluruh kejahatan dan kebobrokan penguasa zalim itupun diungkap secara jelas oleh Imam as sampai-sampai Yazid pun kehilangan muka. Dalam salah satu bagian pidatonya, Imam Sajjad as menuturkan, "Wahai umat manusia, Akulah putra Fatimah, akulah putra seorang yang syahid saat bibirnya kering kehausan". Imam pun terus menegaskan keutamaan diri dan keluarganya hingga masyarakat Syam pun menangis penuh penyesalan. Untuk memotong pidato Imam Sajjad, Yazid pun memerintahkan untuk membacakan azan.

Tentu saja, putusnya pidato Imam as membuat kondisi kota Syam sebagai pusat pemerintahan dinasti Umayah menjadi makin tidak menentu. Sampai-sampai para petinggi Bani Umayah memutuskan untuk segera membawa Imam Sajjad as dan para tawanan keluarga Nabi lainnya ke Madinah. Dengan demikian, pidato Imam Sajjad berhasil membangkitkan nurani masyarakat kota Syam yang selama ini dikuasai kekelaman. Bahkan di wilayah pusat pemerintahan Bani Umayah sekalipun. Perlahan aksi pencerahan Imam Sajjad as telah membangkitkan semangat perlawanan umat Isma di berbagai kota untuk bangkit menentang kezaliman. Karena itu, pasca tragedi Karbala muncul pelbagai gerakan kebangkitan menentang ketidakadilan pemerinatahan Bani Umayah.

Saat memasuki kota Madinah, Imam Sajjad terus melanjutkan aksi pencerahan dalam mengungkap kezaliman penguasa Bani Umayah. Sementara di sisi lain, para penguasa Umawi pun makin berlaku sewenang-wenang. Dalam kondisi yang sangat sulit itu, perjuangan utama Imam Sajjad as bertumpu pada upaya untuk meluruskan pandangan masyarakat dan meningkatkan taraf pengetahuan dan kesadaran mereka.

Salah satu peran dan jasa berharga Imam Sajjad as dalam tahun-tahun pasca tragedi Asyura ialah menyebarkan risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam satu kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat Imam Husein merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup dan penciptaan, masalah keyakinan, etika pribadi dan sosial serta beberapa masalah politik.

Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Dalam salah satu doanya, Imam Sajjad as mengatakan, "Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan bidah-bidah, serta melaksanakan kewajiban Amar Makruf danNahi Munkar."

Sejarah hidup Imam Sajjad menunjukkan bahwa beliau selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk mengungkap misteri di balik tragedi Karbala. Terkadang ia menitiskan air matanya saat menceritakan peristiwa pembantaian yang menimpa keluarga Nabi di hari Asyura. Duka yang ditunjukkan Imam Sajjad as itulah yang akhirnya mampu membangkitkan semangat juang umat Islam untuk bergerak menentang kezaliman Bani Umayah.

Imam Sajjad as dikenal sebagai sosok yang sangat pemaaf, pengasih dan merakyat. Sedemikian menyatunya Imam Sajjad as dengan duka yang dihadapi umatnya, dan sedemikian cintanya beliau untuk berkhidmat kepada rakyat, sampai-sampai hampir tiap malam beliau memikul karung-karung makanan dan membagikannya kepada warga miskin. Beliau melakukan hal itu secara diam-diam, di tengah kegelapan malam, dan dengan pakaian samaran. Anehnya, setelah beliau meninggal barulah perbuatan mulia beliau ini diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas dakwah beliau tidak pernah menghalangi beliau dari langkah-langkah kemanusiaan dan penyebaran keutamaan akhlak secara praktis.

Kemuliaan akhlak dan perilaku Imam yang demikian bijak itu membuat siapapun mengagumi beliau. Sejarawan muslim terkenal, Ibnu Syahr Asyub, menuturkan, "Suatu ketika Imam Sajjad as menghadiri acara pertemuan yang digelar Khalifah Umayah, Umar bin Abdul Aziz. Saat Imam as meninggalkan pertemuan itu, Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada orang-orang di sekitarnya dan berkata,"Siapakah orang yang paling mulia di sisi kalian?"

Semuanya berkata, "Anda wahai khalifah!"

Namun ia balik menjawab, "Bukan sama sekali. Orang yang paling mulia adalah sosok yang baru saja meninggalkan pertemuan kita. Semua kalbu dibuat terpesona kepadanya, hingga siapapun ingin menjadi seperti dia."

Marilah kita menyimak beberapa kata-kata bijak dari Imam Sajjad as. Beliau berkata, "Salah satu ciri dari makrifat dan tanda kesempurnaan agama seseorang adalah menghindari ucapan yang sia-sia, sedikit berdebat, dan selalu bersikap sabar dan santun".

Beliau juga menuturkan, "Berpikir adalah cermin yang memperlihatkan kepada manusia kebaikan dan keburukan dirinya". (IRIB Indonesia)

Mempelajari sejarah hidup manusia-manusia yang mencontohkan kesucian dan kebenaran sejati, meski sekilas dan singkat, akan membawa kita ke dunia kemuliaan dan keutamaan. Setelah syahadah ayahanda beliau dalam tragedi Karbala, Imam Sajjad, Ali Zainal Abidin as, memegang peran penting dan menentukan. Pada saat peristiwa Karbala, Imam Sajjad as berusia sekitar 24 tahun. Setelah peristiwa besar tersebut, beliau hidup selama 34 tahun. Selama masa itu, beliau memangku jabatan Imamah dan berjuang membasmi berbagai kezaliman dan kejahilan dengan berbagai cara. Di sepanjang perjuangan beliau, hal yang paling mencolok dari semuanya ialah usaha beliau mempertahankan nilai-nilai perjuangan Karbala dan menyebarluaskannya sebagai hasil sebuah kebangkitan besar dan abadi. Imam Sajjad as, pada tahun 95 Hq, gugur syahid setelah diracun yang disusupkan oleh kaki tangan Walid bin Abdul Malik, penguasa Bani Umayah.

Hamid bin Muslim, salah seorang penulis kisah tragedi Karbala, menulis, "Di hari Asyura, setelah syahadah Imam Husein as, bala tentara Yazid pergi menemui Ali bin Husein as. Beliau tengah berbaring karena sakit. Oleh karena mereka mendapat perintah untuk membunuh semua lelaki keluarga Imam Husein as, maka mereka pun berniat membunuh beliau. Akan tetapi, ketika mereka melihatnya tengah terbaring dalam keadaan sakit, mereka membiarkan beliau."

Jelas sekali bahwa sakitnya Imam Sajjad as di hari Asyura mengandung hikmah dan maslahat ilahi, sehingga beliau selamat dari pembantaian, untuk melanjutkan jalan perjuangan ayah beliau, Imam Husein as.

Melihat munculnya suasana serba sulit bagi kaum Syiah setelah tragedi Karbala dan syahadah Imam Husein as, maka pelaksanaan tugas Imamah pun menghadapi kesulitan besar. Setelah peristiwa Asyura, Imam Sajjad as, beserta rombongan keluarga yang masih tersisa, dan di samping bibi beliau, Sayidah Zainab as, bergerak dari Karbala, di Irak, menuju ke Damaskus di Syam, yang merupakan pusat pemerintahan Yazid. Dari hari-hari pertama setelah tragedi Karbala, Imam Sajjad as berusaha menyampaikan pesan kebangkitan ayah beliau ke seluruh umat manusia. Meski kesedihan syahadah ayah dan para pengikut setia, telah melukai hati Imam Sajjad, akan tetapi, dengan ilmu yang luas dan tekad yang kuat, dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menyebarkan keutamaan Ahlul Bait as. Dengan demikian tahap lain dari kebangkitan Karbala, telah terbentuk di bawah kepemimpinan Imam Sajjad as, dengan tujuan mengokohkan dasar-dasar pemikiran kebangkitan Imam Husein as.

Dalam sejarah disebutkan, pada saat rombongan keluarga Imam Sajjad as tiba di Kufah, beliau menjelaskan dengan sangat indah, kebenaran kebangkitan Imam Husein as untuk rakyat Kufah. Dalam pidatonya, beliau menyebut Ahli Bait sebagai simbol keadilan, ketakwaan dan kemenangan. Pidato beliau berhasil menggugah semangat yang tengah terlena. Kata-kata beliau, "Dengan wajah yang bagaimanakah kalian akan menghadap Rasul Allah Saw di Hari Kiamat, ketika beliau berkata, "Kalian telah membunuh putraku dan mencabik-cabik kemuliaanku."

Di negeri Syam pun, Imam juga menyampaikan pidato yang sangat menarik dan tegas, sehingga mematahkan propaganda Bani Umayah untuk mendiskreditkan keluarga Rasul Saw. Dengan menyebutkan berbagai keutamaan Ahli Bait dan hakikat jalan perjuangan ayah beliau, kata-kata Imam Sajjad as merasuk ke dalam sanubari semua yang hadir. Pengaruh pidato Imam Sajjad as sedemikian kuat, membuat Yazid ketakutan dan berpikir keras untuk menemukan cara guna menghentikan pidato beliau. Akhirnya Yazid memerintahkan orangnya untuk mengucapkan azan. Karena menghormati azan, Imam Sajjad as menghentikan pidatonya. Akan tetapi ketika muazin sampai kalimat "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah", Imam Sajjad menoleh ke arah Yazid dan bertanya, Hei Yazid! Muhammad ini kakekku atau kakekmu. Jika engkau katakan bahwa ia adalah kakekmu, maka engkau telah membuat kebohongan besar. Jika engkau katakan bahwa ia adalah kakekku, mengapa engkau membunuhi anak keturunannya?

Dengan penjelasan Imam Sajjad as dan terungkapnya wajah sebenarnya para penguasa Bani Umayah, maka tidak ada pilihan lain bagi Yazid kecuali menjauhkan keluarga Imam Sajjad as secepatnya dari pusat pemerintahannya. Untuk itulah ia mengembalikan mereka ke Madinah. Tentu saja perlu diketahui bahwa sejarah mencatat, Yazid dan para pejabat pemerintahannya memperlakukan keturunan Rasul Saw, yang tersisa dari pembantaian Karbala, sebagai tawanan perang. Padahal peristiwa Karbala sama sekali tidak tepat dikatakan sebagai peperangan. Peristiwa itu sebuah pembantaian. Karena jumlah kedua belah pihak yang sangat tidak seimbang, demikian pula peralatan perang, dan kondisi kedua pihak. Rombongan Imam Husein as berjumlah 72 orang lelaki yang semuanya gugur syahid. Sedangkan tentara Yazid berjumlah lebih dari 30.000 orang. Imam Husein as dan rombongannya memiliki peralatan perang yang terbatas, sebaliknya tentara Yazid. Rombongan Imam Husein as sudah kelaparan dan kehausan selama beberapa hari di padang pasir yang kering kerontang, sementara pasukan Yazid menguasai dan memonopoli air sungai Furat, dan memiliki perbekalan makanan yang melimpah.

Di masa itu, masyarakat Islam tengah dilanda krisis ideologi dan akidah. Setelah peristiwa Karbala, penguasa Bani Umayah, lebih terbuka dan lebih berani daripada sebelumnya, dalam melakukan berbagai kezaliman dan penyebaran fasad. Pemerintahan Bani Umayah berusaha menyibukkan rakyat dengan hal-hal yang bersifat sampingan. Akan tetapi Imam Sajjad as juga telah memulai gerakan tersusunnya untuk menjelaskan dasar-dasar ideolgi Islam dan berusaha mengembalikan umat Islam kepada ajaran agama yang murni. Imam Sajjad as, berusaha keras menyebarkan hukum-hukum Islam dan ajaran pendidikan dan akhlak. Dalam hal ini beliau telah mengambil langkah-langkah penting, membuat banyak kalangan cendekiawan dan ulama memuji dan mengagumi beliau.

Syeikh Mufid ra, salah seorang tokoh besar ulama Islam, menulis, "Fuqaha Ahlussunah sedemikian luas menukil berbagai ilmu dan pengetahuan Islam dari Imam Sajjad as, sehingga tak terhitung lagi. Nasehat-nasehat, doa, keutamaan al-Quran, halal dan haram dalam hukum Islam, telah dinukil dari beliau, sehingga sangat dikenal di kalangan ulama."Contoh dari ajaran akhlak Imam Sajjad as yang hingga kini masih bisa diperoleh, ialah sebuah kumpulan pandangan-pandangan beliau yang dibukukan dengan "Risalatul Huquq". Dalam kitab ini, Imam Sajjad as menjelaskan hak-hak dan kewajiban berbagai macam manusia, baik antara manusia dengan Tuhannya, maupun di antara sesama manusia.

Satu lagi karya Imam Sajjad yang terabadikan, dalam rangka usaha beliau menjelaskan dasar-dasar agama, ialah ajaran-ajaran yang beliau sampaikan dalam bentuk doa dan munajat, yang sangat indah. Gaya penyampaian seperti ini memiliki daya tarik luar biasa, sehingga menyedot perhatian ulama dan cendekiawan Islam. Doa-doa Imam Sajjad as yang disusun dengan kata-kata yang sangat indah, penuh dengan makna dan ajaran Islam, baik akidah, filsafat, hukum, bahkan politk dan pemerintahan. Doa-doa beliau ini dikumpulkan dalam sebuah kitab berjudul Shahifah Sajjadiyah.

Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Dalam salah satu doanya, Imam Sajjad as mengatakan, "Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan bidah, serta melaksanakan kewajiban Amar Makruf dan Nahi Munkar."

Disebutkan dalam sejarah bahwa dalam berbagai kesempatan, Imam Sajjad as selalu menghidupkan kenangan tentang tragedi Karbala. Setiap kali seseorang menyodorkan makanan kepada beliau, atau setiap kali beliau melihat air minum, beliau pasti menunjukkan kesedihan, mengingat ayah beliau, keluarga dan para pengikut setia, bahkan bayi dan kaum perempuan, yang kelaparan dan kehausan di padang Karbala. Beliau mengatakan, "Setiap kali mengingat putra-putra Fatimah yang terbunuh, tiba-tiba leherku tercekik oleh rasa pedih, dan tanpa dapat ditahan lagi, air mataku meleleh."

Di tengah masyarakat, Imam Sajjad as dikenal sebagai dermawan, pengasih dan sangat merakyat. Sedemikian menyatunya Imam Sajjad as dengan kesedihan-kesedihan yang terjadi di tengah masyarakat, dan sedemkian cintanya beliau untuk berkhidmat kepada rakyat, membuat beliau tiap malam memikul karung-karung makanan dan membagikannya kepada warga miskin. Beliau melakukan hal itu secara diam-diam, di tengah kegelapan malam, dan dengan pakaian samaran. Setelah beliau meninggal barulah perbuatan mulia beliau ini diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas dakwah beliau tidak pernah menghalangi beliau dari langkah-langkah kemanusiaan dan penyebaran keutamaan-keutamaan akhlak secara praktis.

Senin, 07 Januari 2013 19:31

Peran Keilmuan Imam Baqir as

Imam Muhammad Baqir as dilahirkan di kota Madinah pada tahun 57 Hq. Ia adalah putra dari Imam Ali Zainanl Abidinas. Beberapa tahun, jauh sebelumnya lahirnya Imam Baqir as, Rasulullah Saw pernah bersabda kepada sahabatnya, Jabir bin Abdillah Ansari. Beliau berkata, "Wahai Jabir, engkau akan tetap hidup setelah kepergianku, hingga engkau bertemu dengan salah satu putra keturunanku, orang yang paling mirip denganku dan namanya sama dengan namaku. Kapanpun engkau melihatnya, sampaikan salamku padanya dan amalkan sungguh-sungguh pesanku ini".

Rasulullah saw memberi gelar kepada cucu yang akan ditemui oleh Jabir bin Abdillah itu dengan Baqir Aa-Ulum, yaitu, penyibak ilmu pengetahuan. Setelah bertahun-tahun berlalu, Jabir akhirnya bertemu dengan Imam Muhammad Baqir dan ia pun menyampaikan titipan salam Rasulullah kepada Imam.

Dengan makin dekatnya masa-masa akhir abad pertama hijriah, kezaliman dan kesewenang-wenangan pemerintah Dinasti Umayah makin memuncak. Di sisi lain, aksi perlawanan para penentang dinasti Umayah juga semakin meningkat. Konflik politik di masa itu, membuat kehidupan ekonomi masyarakat makin memburuk. Sehingga kegiatan ilmiah dan studi agama di tengah masyarakat pun makin terpinggirkan. Sampai-sampai banyak di antara umat Islam yang tak lagi mengenal cara-cara ibadah dan hukum agama, seperti shalat dan ritus haji.

Di masa itu, pemerintah dinasti Umayah makin lemah karena terus mendapat tekanan dan perlawanan lawan-lawan politiknya. Meski Rasulullah di masa hidupnya telah menetapkan bahwa Ahli Bait as merupakan kalangan yang paling pantas memegang tampuk kepemimpinan umat, namun masyarakat Muslim di zaman itu terpecah dalam berbagai kelompok mengenai isu kepemimpinan umat. Sebagian kelompok mengklaim bahwa Bani Umayah yang paling berhak memimpin, dan sebagian lagi menganggap Ahli Bait as sebagai pihak yang paling layak memimpin. Namun ada juga yang terlalu ekstrim dalam melihat posisi Ahli Bait as.

Dalam suasana yang sangat kelam semacam itu, Imam Baqir bangkit laksana mentari menyibak tirai-tirai kebodohan dan kegelapan. Pada masa itu, Imam Baqir as menerapkan strategi kultural, lewat penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Umat di zaman itu memerlukan transformasi pemikiran. Dengan seluruh daya upayanya, Imam Baqir berusaha menyelamatkan umat dari kesesatan dan kegelapan. Beliau juga menjelaskan bagaimana posisi Imamah dan Ahli Bait yang sebenarnya dalam masalah kepemimpinan umat. Imam Baqir mengingatkan bahwa tolak ukur kebenaran adalah al-Quran dan Sunnah Nabi.

Ia juga menegaskan bahwa pasca masa kenabian, Ahli Bait as merupakan otoritas yang paling layak dan terbaik untuk kebahagiaan dan keselamatan umat. Ia menilai, Ahli Bait Nabi as merupakan satu-satunya otoritas agama yang paling meyakinkan rujukan dalam masalah keyakinan dan pemikiran Islam. Imam Baqir as berkata, "Putra-putra keturunan Rasulullah Saw adalah pintu-pintu ilmu ilahi untuk menuju keridhaan Allah Swt. Mereka adalah pengajak ke surga".

Guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendidik para ulama dan cendikiawan muslim, Imam Baqir membangun pondasi madrasah keilmuan dan budaya. Kelak, pondasi itu terus dilanjutkan pembangunannya oleh putra beliau, Imam Jakfar Shadiq as. Perjuangan ilmiah dan reformasi kebudayaan yang dijalankan Imam Baqir as di masa-masa akhir abad pertama hijriah, sejatinya merupakan pengantar untuk merevitalisasi pemikiran dan nilai-nilai Islam serta meningkatkan kecerdasan umat.

Jabir bin Yazid Ju'fi adalah salah seorang murid Imam Baqir as dan penukil 70 ribu hadis dari beliau. Jabir menuturkan, "17 tahun aku berada di sisi Imam Baqir. Ketika aku ingin berpisah dengan beliau, aku berkata padanya,‘Wahai Putra Rasulullah saw, penuhi aku dengan ilmu pengetahuan.' Imam Baqir as berkata, ‘Wahai Jabir, setelah 17 tahun engkau belum juga puas dengan ilmu?' Aku berkata, ‘Engkau adalah mata air yang tak terbatas dengan air segarnya yang tak pernah habis."

Bagi para ilmuwan Muslim dan non-Muslim sekalipun, keberadaan Imam Baqir as bagaikan air mata yang begitu jernih dan bening yang menyegarkan dahaga setiap pencari makrifat. Begitu agungnya khazanah keilmuan yang beliau miliki, membuat siapapun yang haus akan pengetahuan datang kepadanya. Keagungan dan kedalaman ilmu pengetahuan Imam Baqir menjadi buah bibir dan pujian para sejarawan dan ulama Islam. Ibnu Hajar Haitsami, sejarawanAhlusunnah menyatakan, "Imam Baqir adalah penyibak ilmu pengetahuan dan penghimpunnya. Perilakunya menunjukkan kepribadian beliau. Ia memiliki hati yang suci dan akhlak yang mulia. Masa-masa hidupnya ia baktikan untuk mengabdi kepada Allah. Ia memiliki derajat yang begitu tinggi yang tak bisa dijelaskan oleh siapapun".

Mengomentari peran pemimpin dalam menentukan nasib umatnya, Imam Baqir berkata, "Allah Swt berfirman, setiap komunitas yang berada di bawah kekuasaan Islam yang menjadikan para pemimpin yang zalim dan kufur sebagai pemimpinnya, niscaya mereka bakal mendapat kesengsaraan, walaupun dalam tindakan personalnya mereka terbilang bertakwa. Sebaliknya, setiap komunitas yang berada di bawah kekuasaan Islam menjadikan pemimpin yang adil sebagai pemimpinnya, maka mereka akan memperoleh ampunan dosa dan rahmat ilahi, meskipun mereka memiliki kesalahan dalam tindakan pribadinya".

Dalam perkataannya yang lain mengenai kecamannya terhadap penguasa yang zalim dan para pendukungnya, Imam Baqir as menuturkan, "Para pemimpin yang zalim dan para pendukungnya, jauh dari agama ilahi".

Selama sebelas tahun Imam Baqir as hidup sezaman dengan masa kekuasaan khalifah dinasti Umayah, Hisyam bin Abdul Malik. Hisyam dikenal sebagai pemimpin yang kikir, brutal, dan zalim. Di masa itu, kehidupan masyarakat sangat sulit. Sementara Imam Baqir sebagai tokoh utama Ahli Nabi memperoleh simpati dan dukungan umat yang begitu luas. Tentu saja, Hisyam sangat khawatir dengan posisi Imam Baqir yang kian hari hari kian kuat itu. Karenanya, ia berusaha mencegah sebisa mungkin pengaruh spiritual Imam Baqir as terhadap umat Islam.

Suatu ketika dalam perjalanan hajinya, Hisyam begitu kaget dan marah melihat kecintaan masyarakat Muslim terhadap Imam Baqir as dan putranya, Imam Shadiq as. Sekembalinya ke Syam, ia pun memerintahkan supaya kedua tokoh Ahli Bait as itu dibawa secara paksa dari Madinah ke Syam. Namun upaya itu, bukannya malah menurunkan kecintaan umat kepada Ahli Bait Nabi as, tapi justu membuat masyarakat semakin mengenal siapa gerangan mereka itu, khususnya masyarakat Muslim di Syam. Karenanya, Hisyam pun terpaksa memulangkan mereka berdua ke Madinah.

Ada baiknya kita menyimak beberapa kata mutiara dari Imam Baqir as. Beliau berkata, "Sebaik-baik modal adalah percaya dan yakin kepada Allah Swt". Dalam tuturan sucinya yang lain, beliau menandaskan, "Kesempurnaan yang paling utama adalah mengenal agama, sabar dan tabah dalam menghadapi kesulitan, serta mengatur urusan hidup."

Setiap pribadi maksum dan Ahlul Bait Nabi as adalah teladan dan panutan umat manusia setelah Rasulullah Saw. Sejarah hidup mereka merupakan bukti nyata dari sebuah kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai langit. Mereka adalah pelita dunia untuk membimbing manusia menuju sebuah kehidupan yang suci dan mulia. Oleh karena itu dalam sebuah doa, kita memohon kepada Allah Swt untuk menjadikan kehidupan dan kematian kita seperti kehidupan dan kematian Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Bait Nabi as.

Imam Musa al-Kazhim as lahir pada tanggal 7 Shafar tahun 128 Hijriah di sebuah lembah bernama Abwa, yang terletak di antara Makkah dan Madinah. Ibunda beliau bernama Hamidah. Imam Musa mencapai kedudukan imamah dan kepemimpinan umat pada usia 21 tahun. Abu Bashir menuturkan, "Kami bersama Imam Jakfar Shadiq as melakukan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tidak lama setelah tiba di lembah Abwa dan menyantap sarapan pagi di sana, Imam Jakfar mendapat kabar bahwa Allah Swt telah menganugerahinya seorang putra. Dengan penuh suka-cita, Imam Jakfar segera menemui istrinya, Hamidah. Tidak lama kemudian, beliau kembali dengan wajah berseri dan berkata, "Allah Swt telah memberiku seorang anak. Kelahiran putraku ini merupakan anugerah terbaik dari-Nya."

Imam Musa as adalah sumber kebaikan, keutamaan dan kemuliaan. Ia senantiasa bersikap begitu ramah dan penuh kasih sayang dengan siapapun. Masa kepemimpinan beliau berlangsung sekitar 35 tahun. Ia hidup sezaman dengan empat khalifah Dinasti Abbasiyah. Masa pemerintahan Khalifah Mansur, Mahdi, Hadi dan Harun al-Rasyid merupakan situasi yang sangat sulit dan penuh pasang surut bagi perjuangan Imam Musa as. 14 tahun terakhir dari masa kepemimpinan Imam Musa berlangsung di era pemerintahan Harun al-Rasyid dan sebagian besar masa hidupnya saat itu ia lewati di dalam penjara Dinasti Abbasiyah.

Imam Musa adalah orang yang paling shaleh, zuhud, faqih dan dermawan pada masa itu. Ketika dua pertiga malam tiba, beliau mulai melakukan shalat sunnah dan melanjutkan shalatnya hingga fajar menyingsing. Setelah melaksanakan shalat Shubuh, ia mengangkat tangan untuk berdoa dan mulai tenggelam dalam tangisan hingga seluruh jenggotnya basah dengan air mata. Ketika ia membaca al-Quran, orang-orang berdatangan dan berkumpul di sekelilingnya untuk menikmati suaranya yang merdu. Pribadi mulia ini dikenal dengan julukan hamba shaleh, dan karena kemampuannya menahan amarah, ia digelari dengan al-kazhim. Julukannya yang lain adalah shabir (penyabar) dan amin (terpercaya).

Imam Musa meneruskan metode ayahnya dalam berdakwah yang menekankan pentingnya sebuah perombakan pemikiran dan akidah masyarakat waktu itu serta memerangi aliran-aliran yang menyimpang dari jalur Islam. Dengan argumentasi-argumentasi yang kokoh, ia telah membuktikan kerapuhan pemikiran-pemikiran atheis dan menyadarkan orang-orang yang sedang terjerumus ke dalam lembah kesesatan. Tidak lama berselang revolusi pemikiran yang dirintis oleh Imam Musa mengalami puncak kejayaannya dan mempengaruhi para ilmuwan yang hidup kala itu.

Perjuangan Imam Musa yang ingin menegakkan kebenaran dan membasmi kezaliman praktis memicu amarah para penguasa tiran waktu itu. Dalam sejarah kehidupan Imam Musa, menjunjung tinggi kebenaran dan memerangi kebatilan di ranah sosial dan politik menempati posisi istimewa dan senantiasa menjadi agenda perjuangan beliau. Meskipun Imam Musa menerima berbagai macam intimidasi, penyiksaan, dan pemenjaraan berkepanjangan, namun beliau tetap menolak tunduk pada penguasa tiran dan terus mengumandangkan perang melawan kebatilan.

Dalam perspektif Imam Musa, pemerintahan tiran dan batil tidak akan bisa menjalankan kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, beliau menekankan bahwa kebenaran tidak akan diraih dengan istrumen-instrumen batil. Imam Musa selalu menekankan pentingnya kebenaran kepada para sahabatnya dan berkata, "Jagalah dirimu dari kemarahan Allah Swt dan bertakwalah. Sampaikanlah kebenaran tanpa rasa takut, meski kebenaran itu akan melenyapkanmu secara lahiriah. Ketahuilah bahwa kebenaran itu tidak akan menghancurkanmu, tapi malah menyelamatkanmu. Namun lepaskanlah kebatilan, meski hal itu secara lahiriah menyelamatkanmu. Sebab, kebatilan tidak akan menyelamatkanmu bahkan pada akhirnya akan membinasakanmu."

Imam Musa as dalam perlawanan politiknya terhadap para penguasa zalim, menguasasi situasi dengan baik dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk memberi pencerahan kepada umat. Program kerja Imam Musa untuk menghadapi pemikiran-pemikiran sesat adalah melakukan kaderisasi dan mendidik murid-muridnya yang potensial guna melawan berbagai penyimpangan di masa itu. Dengan berbagai argumentasi logis, Imam Musa as menghadapi pemikiran-pemikiran sesat dan menjelaskan ajaran yang benar kepada masyarakat

Aktivitas intelektual dan ilmiah Imam Musa dilakukan di tengah tekanan politik saat itu. Dengan penuh kesabaran, beliau berhasil mempertahankan ajaran-ajaran Islam murni. Dalam sejarah disebutkan, lebih dari 200 perawi hadis dan pemikir saat itu berguru kepada Imam Musa as. Beliau benar-benar berupaya meningkatkan intelektualitas masyarakat saat itu dan mendorong mereka untuk menimba ilmu pengetahuan dari sumber yang terpercaya serta meningkatkan pengetahuan mereka sehingga tidak terjebak dalam makar orang-orang yang berpikiran batil.

Berkenaan dengan para penguasa zalim, Imam Musa berkata, "Barang siapa yang menghendaki mereka tetap hidup, maka ia termasuk golongan mereka. Dan barang siapa yang termasuk golongan mereka, maka ia akan masuk neraka". Dengan demikian, Imam telah menentukan sikap tegas terhadap pemerintahan Harun al-Rasyid, mengharamkan kerja sama dengannya dan melarang para pengikutnya untuk bergantung dalam pemerintahannya. Imam Musa as berkata, "Janganlah kalian bersandar kepada mereka, karena kalian akan dijerumuskan ke dalam api neraka". Namun, beliau mengecualikan Ali bin Yaqthin, salah satu pengikutnya dari instruksi tersebut dan memperbolehkannya untuk menduduki kursi kementrian di kabinet Harun al-Rasyid sebagaimana ia juga telah memegang tampuk tersebut pada era Mahdi al-Abbasi.

Ali bin Yaqthin pernah meminta izin kepada Imam Musa untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Akan tetapi, Imam melarangnya untuk melakukan itu seraya berkata, "Jangan kau lakukan itu. Saudara-saudaramu menjadi mulia karenamu dan mereka bangga denganmu. Mungkin dengan bantuan Allah, engkau bisa memperbaiki situasi ini, menolong orang yang tidak mampu atau para musuh-Nya akan kalah karenamu. Wahai Ali, kafarah yang harus kau berikan sekarang adalah berbuat baik kepada saudara-saudaramu. Lakukanlah satu hal niscaya aku akan menjamin tiga hal untukmu, setiap kali engkau melihat pengikut kami, maka penuhilah segala kebutuhannya dan hargailah dia. Aku jamin engkau tidak akan masuk penjara, tidak satu pedang pun yang akan melukaimu dan engkau tidak akan pernah mengalami kemiskinan. Wahai Ali, barang siapa yang membahagiakan seorang mukmin, maka ia – pertama – telah membahagiakan Allah, -- kedua – Rasulullah Saw dan – ketiga – kami."

Imam Musa selalu memenuhi malam-malamnya hingga pagi dengan rintihan istighfar dan sujud yang sangat panjang. Beliau selalu mengarahkan wajah dan kalbunya di hadapan Allah Swt. Suatu hari, Khalifah Harun al-Rasyid bertemu dengan Imam Musa di dekat Kabah dan menyatakan, "Apakah engkau adalah seseorang yang dibaiat oleh umat secara rahasia dan dipilih sebagai pemimpin mereka?" Imam dengan tegas menjawab, "Aku berkuasa di hati rakyat. Sementara engkau berkuasa atas jasad mereka." .

Berikut ini kami kutip beberapa ucapan dari Imam Musa al-Kazhim as, "Sabar dalam kesendirian adalah tanda kekuatan akal. Barang siapa yang merenungkan tentang Allah, ia akan menjauhi orang-orang yang mencintai dunia dan menginginkan apa yang ada di sisi Tuhannya, Allah adalah penenangnya dalam ketakutan, temannya dalam kesendirian, kekayaannya dalam kefakiran dan kemuliaannya di hadapan selain kerabatnya." "Tidak sempurna agama orang yang tidak memiliki harga diri, dan tidak memiliki harga diri orang yang tidak berakal. Sesungguhnya orang yang paling agung nilainya adalah orang yang tidak menganggap dunia sebagai satu nilai baginya. Ingatlah, harga badanmu ini adalah surga, jangan engkau menjualnya dengan selainnya." (IRIB Indonesia)

Rasulullah Saw dan Ahli Baitnya adalah para penunjuk jalan kebenaran. Mereka memberikan petunjuk kepada umat manusia ke jalan yang benar. Perilaku mereka merupakan cermin al-Quran dan sumber lain untuk mengenal kebenaran seutuhnya. Untuk itu, para pencari kebenaran senantiasa menaruh perhatian pada kehidupan manusia-manusia suci. Para pecinta ilmu juga selalu menimba ilmu dari mereka yang disebut-sebut sebagai sumber ilmu dunia dan akhirat. Tabir ilmu tersingkap sepenuhnya bagi Rasulullah Saw dan Ahli Baitnya. Siapapun yang menjadikan manusia-manusia suci ini sebagai kiblat kehidupannya, akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pada hari ini, tepatnya pada tanggal 7 Safar, Imam Musa Kazhim as terlahir ke dunia. Imam Musa Kazhim as berkata, "Siapapun yang rendah hati karena Allah Swt, maka Allah akan mengangkatnya ke darajat yang tinggi.

Pada tahun 128 Hijriah Qamariah, Imam Musa Kazhim as lahir di kota Madinah, kota Abwa. Saat lahir, ayahnya, Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Allah Swt telah mempersembahkan manusia terbaik kepadaku."

Setelah kesyahidan Imam Jakfar Shadiq as, Imam Musa Kazhim as menjadi pemimpin umat dan mengemban imamah atau kepemimpinan selama 35 tahun, Pada masa imamahnya, Imam Musa Kazhim as menghadapi berbagai problema serius, karena Bani Abbas saat itu mencapai puncak kekuasaannya.

Para penguasa saat itu seperti Harun al-Rashid, gencar melakukan propaganda dan menerapkan arogansi yang memperkeruh kondisi buruk di tengah masyarakat. Bani Abbas dengan slogan-slogan yang berpoleskan agama, dapat menipu masyarakat dan memegang kekuasaan. Mereka sama sekali tak berkomitmen dengan slogan-slogan agama, bahkan melakukan kezaliman dan penyimpangan terhadap hukum-hukum Islam.

Bani Abbas mengesankan cinta kepada Ahli Bait, namun pada dasarnya, mereka tidak suka bahkan menentang dan menyudutkan keluarga suci Rasulullah Saw. Sejarah membuktikan bahwa perilaku mereka jauh dari harapan masyarakat ideal Islam. Jutaan dirham dan dinar digunakan untuk hal-hal yang tidak penting seperti pembangunan istana-istana mewah. Sementara itu, banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kesenjangan di tengah masyarakat sangat menonjol di masa kekuasaan Bani Abbas.

Kasih sayang Imam Musa Kazhim as meliputi masyarakat tertindas di masa kekuasaan Bani Abbas. Masyarakat saat itu juga mencintai Imam Musa Kazhim as yang juga cucu Rasulullah Saw. Perilaku mulia Imam Musa as mengingatkan mereka akan akhlak mulia Rasulullah Saw yang tercatat dalam berbagai riwayat.

Imam Musa Kazhim as yang mendapat tempat di hati masyarakat, tentunya mengkhawatirkan para penguasa saat itu. Imam Musa yang juga menyuarakan keadilan membuat Bani Abbas geram. Bani Abbas pun berupaya menjauhkan Imam Musa dari masyarakat. Imam Musa pun dipenjarakan. Dalam sejarah disebutkan, Imam Musa mendekam di penjara selama 14 tahun. Karena kesabaran dalam menahan emosi, Imam Musa as mendapat gelar Kazhim artinya pengendali kemarahan.

Sementara itu, Harun al-Rasyid, penguasa Bani Abbas saat itu, merasa hebat dan angkuh. Penguasa lalim ini dengan kesombongannya berkata, "Wahai awan, hujanlah! Di mana hujan turun, baik di barat maupun di timur, di sanalah wilayah kekuasaanku."

Pada suatu hari, Imam Musa as dipaksa datang ke istana Harun al-Rasyid. Harun bertanya kepada Imam Musa, "Apakah dunia itu?"

Dengan memperhatikan ketamakan dan kefasikan Harun al-Rasyid, Imam Musa as berkata, "Dunia adalah tempat tinggal orang-orang fasik." Kemudian Imam membacakan Surat al-A'raf, ayat 146, "Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar-benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku."

Mendengar jawaban Imam Musa, Harun al-Rasyid diam seribu bahasa. Harun kembali bertanya, "Bagaimana pendapat anda tentang kami?"

Imam berlandaskan pada ayat al-Quran menjawab, "Allah Swt berfirman, ‘Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan." (Surat Ibrahim, ayat 28)

Pada suatu saat, masyarakat melihat Imam Musa bekerja di ladang dan tampak keringat mengalir di di tubuhnya. Seorang sahabat bertanya, "Mengapa kamu tidak melimpahkan pekerjaan ini ke orang lain? Imam menjawab, "Bekerja dan berjerih payah adalah perilaku para nabi dan manusia-manusia saleh."

Seseorang kadang terjebak dalam tindakan radikal, yakni cenderung bersikap ekstrim sepihak dalam mereaksi dunia atau akhirat. Saat disibukkan dengan akhirat, dunia dilupakan, dan terkadang sebaliknya. Untuk itu, seseorang harus bisa mengelola diri dengan baik, baik untuk akhirat maupun dunia. Dengan demikian, ia dapat mengoptimalkan kenikmatan dunia dan akhirat dengan baik. Inilah yang diinginkan oleh para nabi dan manusia-manusia suci. Terkait hal ini, Imam Musa berkata, "Siapapun yang meninggalkan dunia untuk agama dan menelantarkan agama untuk dunia, bukan dari golongan kami."

Menurut Imam Musa, dunia dan agama adalah dua item yang saling terkait. Agama itu mempersembahkan peta jalan untuk kepentingan dunia dan akhirat. Dunia adalah tempat implementasi hukum dan ajaran agama. Kehidupan dunia juga dapat disebut sebagai tangga untuk menghantarkan manusia ke tujuan-tujuan mulianya. Manusia harus mampu berjalan di tengah dua kebutuhan dunia dan akhirat dengan mengotimalkan kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, Imam meminta umatnya supaya dapat imbang dalam urusan dunia dan akhirat.

Dalam nasehat lainnya, Imam Musa berkata, "Temukanlah kesadaran dan makrefat dalam agama Allah Swt. Sebab, pemahaman akan hukum dan ajaran Islam merupakan kunci hati nurani yang dapat menghantarkan manusia ke derajat-derajat tinggi dunia dan agama."

Agama menjamin kebahagiaan manusia. Akan tetapi syaratnya adalah pemahaman yang benar. Pesan itu dapat dipahami dalam perkataan Imam tadi. Imam Musa melalui pencerahannya, berupaya menghidupkan hati nurani di tengah masyarakat.

Di tengah penyimpangan pemikiran, Imam Musa berupaya meluruskan pemikiran-pemikiran menyimpang yang berkembang dan mengenalkan Islam sebenarnya kepada masyarakat.

Imam Ali ar-Ridha as ketika berbicara mengenai ayahnya, Imam Musa Kazhim as, berkata, "Meski ayahku dikenal dalam manajemen, tapi beliau tetap bermusyawarah dengan para pembantunya."

Beliau menambahkan, "Pada suatu hari, seseorang mendatangi ayahku, dan berkata; Apakah kamu bermusyawarah dengan para pembantu?" Beliau menjawab, "Bisa jadi Allah menyelesaikan problema melalui liadha para pembantu."

Perilaku Imam itu menunjukkan rendah hati Imam Musa terhadap semua golongan masyarakat. Imam Musa juga dikenal dermawan bagi kaum miskin dan tertindas. Imam berkata, "Cinta membuat hidup menjadi tenteram, memperkokoh hubungan dan menyegarkan hati."

Imam Musa Kazhim juga mempunyai kepribadian luar biasa yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Namun kepribadian agung inilah penyebab kegundahan para musuh. Imam Musa berkata, "Allah memberikan tiga kekhususan bagi kaum Mukmin. Ketiga kekhususan itu adalah kemuliaan di dunia, keimanan pada akhirat dan kewibawaan di hadapan para penindas."

Nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan yang tertanam pada pribadi Rasulullah Saw dan keluarga sucinya mencerminkan kepribadian agung manusia-manusia suci tersebut. Tak diragukan lagi, Rasulullah Saw dan Ahli Baitnya adalah penunjuk manusia yang mencari kebahagiaan sejati dan jati diri sebenarnya. Pada hari ini, tepatnya tahun 127 hijriah, salah satu cucu Rasulullah Saw , Imam Musa Al-Kazhim, lahir ke dunia.

Pada masa Imam Musa al-Kazhim as dipenuhi dengan berbagai peristiwa besar dan kecil. Sikap-sikap Imam Musa as dalam mereaksi berbagai peristiwa tersebut merupakan pelajaran yang berharga bagi umat Islam. Imam Musa as saat itu hidup di tengah masyarakat yang jauh dari ajaran-ajaran murni Islam. Bahkan para pemimpin saat itu bersikap lalim dan rakus harta. Imam Musa Kazhim as semasa dengan sejumlah para pemimpin Bani Abbas, termasuk Harun al-Rasyid. Harun al-Rasyid menunjukkan dirinya sebagai orang yang beragama, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan perilaku seorang yang beragama. Di masa keimamahan atau kepemimpinan Imam Musa Kazhim as selama 35 tahun, beliau menjelaskan sistem politik dan sosial Islam dengan berbagai cara, kepada masyarakat saat itu. Melalui penjelasan tersebut, masyarakat menyadari bahwa perilaku Bani Abbas bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islam.

Karena komitmen dan kegigihan dalam menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman, Imam Musa al-Kazhim as bersedia menjalani kepahitan hidup di penjara Dinasti Abbasiah selama bertahun-tahun. Dalam sejarah disebutkan Imam Musa Kazhim as mendekam di penjara selama 14 tahun. Para penguasa saat itu menghendaki Imam Musa supaya menghentikan perlawanan atas kezaliman. Bahkan Dinasti Abbasiah menjanjikan akan memberikan harta yang melimpah setiap bulannya kepada Imam Musa. Namun beliau menolak usulan tersebut dengan menyebutkan ayat 33 surat Yusuf, "Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku."

Menurut Imam Musa al-Kazhim as, kebatilan tidak akan menghantarkan seseorang ke tujuannnya. Pemerintah-pemerintah lalim tidak dapat menerapkan keadilan. Imam Musa al-Kazhim as menekankan pentingnya kebenaran, kepada para sahabatnya yang setia, beliau dan berkata, "Jagalah dirimu dari kemarahan Allah Swt dan bertakwalah. Sampaikanlah kebenaran tanpa rasa takut, meski kebenaran itu akan melenyapkanmu secara lahiriah. Ketahuilah bahwa kebenaran itu tidak akan menghancurkanmu, tapi malah menyelamatkanmu. Namun lepaskanlah kebatilan, meski hal itu secara lahiriah menyelamatkanmu. Sebab, kebatilan tidak akan menyelamatkanmu, bahkan pada akhirnya akan membinasakanmu."

Dr Mohsen al-Wairi, seorang dosen, menjelaskan sejarah Imam Musa Kazim as, dan mengatakan, salah satu karakter mulia Imam Musa al-Kazhim as adalah bersikap kasih sayang dan lembut kepada masyarakat. Imam Musa berkata, "Berkasih sayang dan lembut kepada masyarakat adalah separuh akal." Beliau as juga menekankan, "Akal yang paling tepat adalah akal yang membahagiakan manusia." Dengan demikian, jika landasan perilaku kita kepada masyarakat bertumpu pada kasih sayang, maka kita telah menerapkan akhlak yang juga logis. Sebab, hal itu dapat membahagiakan kita sendiri.

Imam Musa Kazhim as memperlakukan sejumlah masyarakat, khususnya orang-orang yang tertindas dan miskin, dengan rasa kasih sayang dan perhatian yang luar biasa kepada mereka. Siapapun yang datang ke rumah Imam Musa as akan kembali dengan tangan yang tidak kosong dan hati yang berbahagia, baik secara spiritual maupun material. Perilaku Imam yang suka memaaafkan kesalahan-kesalahan seseorang membuat beliau dikenal sebagai peredam kemarahan. Imam Musa Kazhim as berkata, "Kasih sayang membahagiakan kehidupan, memperkokoh hubungan, menumbuhkan harapan dan menghangatkan lingkungan masyarakat."

Imam Musa Kazhim as dalam perlawanan politiknya terhadap para penguasa lalim, mengetahui situasi dan menggunakan kesempatan dengan baik. Sejumlah sahabatnya yang setia mempunyai jabatan di pemerintah dinasti Abbasiah. Mereka membela Imam Musa as dengan berbagai cara. Karena pengaruhnya di tengah pasukan dinasti Abbasiah, Imam Musa as dapat melanjutkan aktivitas politik dan sosialnya. Salah satu sahabat setia beliau as yang mempunyai jabatan penting di pemerintah dinasti Abbasiah adalah Ali bin Yaqtin. Pada suatu hari, Ali bin Yaqthin meminta izin kepada Imam Musa untuk melepas jabatannya di pemerintah. Akan tetapi Imam tidak mengizinkannya. Beliau berkata, "Allah Swt mempunyai wali-wali di tengah penguasa yang lalim. Melalui mereka, Allah Swt melindungi hamba-hambanya yang baik. Sangatlah mungkin bahwa Allah Swt telah menjadikan kamu sebagai perantaranya untuk meredam api fitnah yang dikobarkan para penentang."

Dalam sejarah disebutkan, Ali bin Yaqthin mempunyai hubungan yang terkoordinasi dengan Imam Musa Kazhim as. Ali bin Yaqthin juga melakukan berbagai tindakan untuk membela para pecinta Ahli Bait as. Di antara langkah-langkah yang dilakukan Ali bin Yaqthin adalah mengirim sekelompok orang yang tertindas untuk melakukan ibadah haji. Dengan cara itu, ia dapat membantu ekonomi kalangan masyarakat yang tertindas. Selain itu, dia juga secara terselubung mengembalikan pajak pemerintah yang diambil dari orang-orang yang lemah.

Agenda yang disusun rapi untuk menghadapi pemikiran yang menyimpang adalah di antara program-program penting Imam Musa Kazhim as. Pada zaman itu, pemikiran anti-ketuhanan dan ideologi yang menyimpang menjamur di berbagai tempat. Dengan berbagai argumentasi logis, Imam Musa Kazhim as menghadapi pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan menjelaskan ajaran yang benar, kepada masyarakat. Aktivitas intelektual dan ilmiah Imam Musa as dilakukan di tengah tekanan kondisi politik saat itu. Dengan penuh kesabaran, Imam Musa as berhasil mempertahankan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.

Dalam sejarah disebutkan, lebih dari 200 perawi hadis dan pemikir saat itu berguru kepada Imam Musa Kazhim as. Imam Musa benar-benar berupaya meningkatkan intelektualitas masyarakat saat itu. Beliau juga menganjurkan masyarakat supaya menimba ilmu dari sumber yang terpercaya dan meningkatkan keilmuan mereka sehingga tidak terjebak dalam makar orang-orang yang berpikiran batil.

Dinasti Abbasiah juga menyadari bahwa keberadaan Imam Musa as di tengah masyarakat akan melemahkan tonggak-tonggak pemerintah yang lalim. Untuk Itu, Harun al-Rasyid, penguasa lalim saat itu memenjarakan Imam Musa as dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun ketabahan Imam Musa as yang dipenjara selama bertahun-tahun tak membuat pengaruhnya di tengah masyarakat berkurang.

Mengakhiri pembahasan tentang Imam Musa Kazhim as, akan sangat lengkap dengan mengutip perkataan mutiara darinya. Beliau berkata, "Selama mempunyai rasa takut atas dosa, menjalankan amanat dan menerapkan kebenaran, penghuni bumi akan mendapat rahmat Allah Swt."

Imam Musa juga berkata, "Amanat dan kejujuran mendatangkan rezeki, sedangkan pengkhianatan dan kebohongan menyebabkan kemiskinan."

Dalam perkataan mutiara lainnya, Imam Musa as berkata, "Barangsiapa yang menahan marah kepada masyarakat akan dilindungi Allah Swt dari siksaan di Hari Kiamat."