کمالوندی

کمالوندی

Selasa, 01 September 2015 09:49

Mafatihul Hayah

Bismillahirrahmanirrahim Wa Iyyahu Nasta'in

Pujian azali hanya layak disampaikan kepada Allah. Penghormatan tak terhingga sudah sepantasnya disampaikan kepada para nabi ilahi, khususnya pamungkas kenabian Saw. Salam abadi patut disampaikan kepada keluarga Thaha dan Yasin. Kami bertawalli kepada zat-zat suci ini dan berlepas tangan dari para musuh yang sangat membenci mereka.

Penjelasan ini merupakan pendahuluan buku Mafatihul Hayah yang merupakan hasil dari kerja keras Departemen Fiqih Pejhouhesh Ulum Wahyani Meraj. Semoga usaha keras anggota tim ini mendapat balasan dari Allah Swt dan karya bermanfaat ini akan tercatat dalam buku amal mereka.

Anasir penting kandungan buku ini telah disusun dalam beberapa poin, dimana sebagiannya akan dijelaskan dalam pendahuluan ini:

1. Peradaban masyarakat manusia muncul dari keberagamaannya dan setiap bentuk kesopanannya akan berkembang dalam koridor tahapan keempat dari perjalanan empat tahap bagi para pesalik ilahi.[1] Tahapan keempat dari hijrah dari Asfar Arba'ah (Empat Perjalanan), perjalanan dari makhluk kepada makhluk bersama al-Haq. Musafir yang melakukan perjalanannya ini senantiasa bersama al-Haq dan dari sudut pandang al-Haq, ia melihat benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan malaikat. Setiap kelompok makhluk ini memiliki hukum tersendiri. Masyarakat yang menjadikan kebenaran sebagai pandangan hidupnya membahas setiap makhluk hidup dengan semangat yang menguasainya, yakni hakikat yang menjadi manifestasi Haq Mutlak. Begitu juga ketika menyusun undang-undang, melaksanakannya dan penerapan kinerja pelaksananya di hadapan undang-undang. Artinya, penentuan dan penilaian terhadap bentuk segala sesuatu harus sesuai dengan intinya, yakni hakikat Hak Mutlak.

Contoh sempurna dari kebersamaan dengan kebenaran dapat ditemukan pada sirah Alawi dan sunnah Imam Ali as yang senantiasa mencari kebenaran. Beliau menjadi tanda yang diterima semua "Aliyun Ma'a al-Haq Wa al-Haq Ma'a Aliyyin Yaduru Haitsuma Dar... Ali bersama al-Haq dan al-Haq bersama Ali, ia mengikutinya dimana saja berputar,"[2] dan dalam atmosfir yang terbuka dan bebas, masyarakat seperti ini akan menjadi pembimbing semua pengikut kebenaran. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

Sumber: Mafatih al-Hayah, Ayatullah Javadi Amoli, 1391 HS, Qom, Markaz Nashr-e Esra, cet 7.

 

[1] . Pesalik dalam perjalanannya menuju Allah harus melewati sejumlah tahapan. Tahapan pertama dari perjalanan itu adalah mengenai dan mempercayai Allah, dimana tahapan ini disebut "Safar Min al-Khalq Ila al-Haq" (Perjalanan dari makhluk kepada Khaliq). Tahapan kedua adalah perjalanan dalam Asmaul Husna dan sifat ulya Allah Swt dan keesaan seluruh nama dan sifat ini dengan Zat Allah. Tahapan kedua ini disebut "Safar Min al-Haq Ila al-Haq Bi al-Haq" (Perjalanan dari al-Haq kepada al-Haq bersama al-Haq). Tahapan ketiga adalah "Safar Min al-Haq Ila al-Khalq" (Perjalanan dari al-Haq kepada makhluk). Bila dalam tahapan kedua seorang pesalik melakukan mikraj dari taklif (kewajiban) menjadi tasyrif (kemuliaan) dan sampai pada puncak kesempurnaan lalu mencapai jalan menuju tahapan ketiga. Pada tahapan ini percikan harapan, ampunan dan kedermawanan menjadi raihan terbaik yang didapatkan dari Allah dan menjadi modal untuk berinteraksi lebih baik dengan makhluk di bumi dan di langit. Tahapan keempat adalah "Safar Min al-Khalq Ila al-Khalq Bi al-Haq" (Perjalanan dari makhluk kepada makhluk bersama al-Haq) dan teks di atas mengacu kepada tahapan keempat ini.
[2] . al-Fushul al-Mukhtarah, hal 97 dan I'lam al-Wara, hal 159.

Selasa, 01 September 2015 09:43

Sirah Perdebatan Imam Ali bin Musa al-Ridha as

Hari ini adalah hari kelahiran Imam Ali bin Musa al-Ridha as, cucu suci Rasulullah Saw. Seorang pemimpin yang lebih dari 1.000 tahun lalu telah menginjakkan kaki ke Persia dan kehadirannya membanjiri hati hari pecinta Rasulullah Saw dan Ahlul Bait Nabi as dengan suka cita dan kegembiraan.

Gelombang manusia yang berziarah ke makam Imam Ali al-ridha as, mengingatkan masa-masa ketika beliau bergerak dari Madinah menuju Marv, salah satu wilayah Persia (Iran saat ini). Warga kota Marv telah beberapa hari sebelumnya mempersiapkan diri menyambut kedatangan manusia mulia itu.

Ketika rombongan Imam Ali al-ridha as tiba di Marv, suka cita bercampur dengan air mata kerinduan masyarakat tidak dapat terbendung lagi. Masing-masing orang menyampaikan kerinduan dan kecintaan meeka dengan berbagai cara. Sambutan masyarakat sedemikian rupa sehingga membuat rombongan Imam Ali al-ridha as terpaksa berhenti. Semua orang ingin menatap wajah cucu Rasulullah Saw itu dan mendengarkan suaranya. Kesempatan itu pun tidak disia-siakan Imam untuk berpidato.

Dalam suasana yang mendadak hening, Imam Ali al-ridha menyampaikan hadis qudsi di mana Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw, dan berkata: “Kalimat tauhid yaitu tiada tuhan selain Allah (Swt) adalah benteng-ku dan  barang siapa yang memasuki benteng-Ku, maka akan terjaga dari azab-Ku.”

Setelah mengutip hadis tersebut, Imam Ridho as memperkenalkan diri sebagai syarat untuk masuk dalam benteng itu dan mengatakan, “Namun dengan memperhatikan syarat-syaratnya dan aku termasuk di antara persyaratan itu.” Dengan demikian, Imam Ali al-ridha as telah menjelaskan peran poros Ahlul Bait as dalam kepemimpinan umat Islam.

Imam Ali al-ridha as lahir pada tahun 148 hijriah di kota Madinah. Di bawah binbingan ayah beliau, Imam Musa al-Kadzim as, beliau siap memikul tanggung jawab berat itu. Imam Ali al-ridha as, adalah mata air ilmu dan keutamaan. Amal dan kata-kata beliau penuh dengan keridhoan atas Allah Swt. Oleh karena itu, beliau diberi gelar al-Rhido.

Beliau memikul tanggung jawab  imamah selama 20 tahun yang sebagian besarnya dihabiskan di Madinah dan tiga setengah tahun terakhir masa hidupnya di kota Marv, Khurasan (Iran saat ini). Beliau meninggalkan Madinah atas paksaan penguasa Bani Abbasiah kala itu, Ma’mun.

Kala itu Marv merupakan pusat ilmiah di tanah Khurasan. Imam Ali al-ridha as menggunakan keunggulan tersebut untuk meningkatkan gerakan ilmiah. Di lain pihak, Ma’mun berusaha tampil dekat dengan Imam Ali al-ridha demi kepentingan politiknya. Namun pada saat yang sama, dia selalu berusaha mencoreng keutamaan ilmu Imam Ali al-ridha as dengan menggelar berbagai acara debat. Akan tetapi Imam dalam setiap sesi perdebatan, selalu menang dan bahkan mempengaruhi para ilmuwan yang hadir, dengan argumentasinya yang kokoh.

Islam adalah agama yang menyambut berbagai pertanyaan dan tidak pernah tercatat dalam sejarah bahwa para imam Ahlul Bait as tidak menjawab pertanyaan yang dikemukakan kepada mereka. Imam Ali al-ridha as, berperan penting dalam perluasan budaya Islam. Dalam berbagai acara debat, Imam selalu mempertimbangkan hidayah dan bimbingan untuk lawan dan tidak berusaha untuk selalu menang. Beliau membuktikan kebenaran keyakinan Islam  dengan menggunakan argumentasi logis yang kokoh. Imam berkata, “Jika masyarakat memahami keindahan ungkapan kami maka mereka pasti akan mengikuti kami.” Dan terbukti betapa banyak musuh-musuh yang akhirnya menjadi teman di akhir acara perdebatan.

Imam Ali al-ridha as yang menguasai teknik-teknik argumentasi, selalu mempertimbangkan setiap dimensi. Pertimbangan atas tingkat budaya di masa itu dan penyesuaian istilah-istilah yang digunakan, semuanya harus sesuai dengan kemampuan logika dan pemikiran lawan debat.

Terkadang dalam berdebat dengan para ilmuwan Imam Ali al-ridha as, menekankan pada berbagai sisi dan argumentasi yang juga diterima oleh lawan debat. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah soal debat antara Imam Ali al-ridha as dan para tokoh Kristen dengan menggunakan argumentasi kitab Injil dan juga dalam pembahasan dengan tokoh Yahudi dan menggunakan argumentasi dari kitab Taurat.

Meski memiliki tingkat keilmuwan tinggi, akan tetapi Imam tidak merendahkan lawan debat beliau. Imam selalu menjaga kehormatan pihak seberang meski sebagiannya tidak beragama. Jika perdebatan sampai pada titik di mana pihak lawan tidak lagi bisa menjawab, beliau membimbingnya atau mengutarakan sebuah pertanyaan sehingga pembahasan mereka menghasilkan. Bahkan terkadang beliau menjawab pertanyaan lawan dengan mengatakan, “Jika kau bertanya seperti ini maka pendapat kamu sendiri akan tertolak.”

Di antara lawan debat Imam Ali al-ridha as, adalah seseorang bernama Amran Sabi, yang tidak meyakini adanya Allah Swt, di mana setelah menyaksikan sikap dan argumentasi Imam, dia beriman kepada Allah Swt dan memeluk agama Islam. Sepanjang perdebatan, Imam memanggil Amran dengan nama kecilnya sehingga dengan demikian terjalin keakraban dan tercipta suasana santai. Selama tanya jawab berlangsung, Imam ketika menjawab pertanyaan Amran Sabi beliau mengatakan, “Wahai Amran, apakah kau paham?” Sikap itu sedemikian rupa sehingga Amran juga memberikan jawaban secara terhormat dan mengatakan, “Iya, tuanku.”

Tujuan dan maksud para pendebat adalah harus sampai pada hakikat yang jelas dan tak tergoyahkan. Itu hanya dapat tercapai ketika perdebatan jauh dari fanatisme dan permusuhan. Imam Ali al-ridha as  dengan akhlak yang mulia, tidak menuding lawan beliau telah berbohong dan juga tidak pernah menistakan atau merendahkan mereka. Melainkan beliau selalu mengingatkan titik kekeliruan dan penyimpangan mereka. Beilau tidak pernah mengkritisi individu melainkan mengkritisi  masalah pembahasan.

Perdebatan Imam Ali al-ridha as, membawa banyak berkah untuk dunia Islam termasuk di antaranya adalah menunjukkan citra kebebasan dalam Islam. Imam telah mematahkan klaim dan kebohongan banyak pihak bahwa Islam memaksakan kehendak dan menghunuskan pedang kepada para penentangnya. Namun tampilnya Imam Ali al-ridha as, telah jelas bagi semua orang bahwa Islam menyambut perbedaan pendapat bahkan meski dari pihak yang menafikan tauhid dan menentang Islam.

Termasuk di antara berkah dan manfaat perdebatan Imam al-ridha as, adalah membuka lahan yang kondusif bagi penyebaran risalah Islam dan perluasan khazanah ilmu Islam, serta jawaban tegas secara ilmiah kepada para penentang Islam. Metode-metode dakwah Imam Ali al-ridha as dalam berbagai acara perdebatan memiliki  pengaruh yang luar biasa untuk menyingkap penyimpangan anti-Islam dalam masyarakat, sekaligus menjelaskan posisi luhur Ahlul Bait as.

Dalam acara-acara perdebatan itu dan di antara para penentang Islam, Imam Ali al-ridha as menggalang sahabat yang setia, seperti Amran Sabi, yang juga pada akhirnya menjadi pembela agama Allah Swt. Sirah perdebatan Imam Ali al-Ridha as merupakan teladan dalam dialog konstruktif yang merefleksikan nilai-nilai akhlak, rasionalitas dan argumentasi untuk mencapai hasil yang lebih baik dan lebih efektif.(

Selasa, 01 September 2015 09:28

Larangan dalam Al-Quran: Melupakan Musuh

Melupakan Musuh

Allah Swt berfirman, "... Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus..." (QS. an-Nisa: 102)

Satu masalah penting yang senantiasa mengancam sebuah sistem atau pemerintahan adalah bahaya yang sengaja diciptakan oleh musuh-musuhnya. Masalah ini juga terjadi pada pemerintahan Islam sepanjang sejarah. Nabi Muhammad Saw selama memerintah 10 tahun di Madinah, lebih dari 70 perang besar maupun kecil yang dipaksakan oleh penentang Islam dan Musyrikin terhadap pemerintahan Islam. Begitu juga ketika Imam Ali as berusaha menciptakan sebuah pemerintahan adil berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Beliau menghadapi banyak penentangan, bahkan tiga perang besar dipaksakan kepadanya. Sekalipun demikian, apa yang nampak dari sejarah kehidupan beliau adalah tidak pernah lalai dari musuh dan konspirasi yang mereka lakukan. Imam Ali as mampu mendapatkan informasi tentang pergerakan musuh dari pelbagai sumber dan tidak membiarkan pemerintahan Islam terancam bahaya.[1]

Allah Swt dalam al-Quran telah mengingatkan umat Islam untuk senantiasa waspada terhadap musuh dan memperingatkan mereka untuk tidak lalai akan musuhnya. Dalam ayat-ayat surat al-Anfal yang menyebutkan tentang perang, jihad dan bagaimana melaksanakan salat di medan perang, di ayat yang lain tidak lupa juga memperingatkan umat Islam untuk tidak lupa dengan mempersenjatai diri dan tidak lupa akan serangan tiba-tiba dari pihak musuh.

Allah berfirman, "... Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus..."[2]

Sesuai dengan ayat ini dan peringatan yang bersifat universal dan tidak terbatas hanya di medan perang dapat dipahami bahwa umat Islam dalam segala kondisi harus mengetahui akan pergerakan musuh dan mempersenjatai dirinya dengan baik. Jangan sampai mereka lalai akan musuhnya yang berujung kejatuhan dalam bahaya besar.

Allah Swt dalam ayat lain dengan ungkapan yang berbeda secara tidak langsung memperingatkan umat Islam untuk tidak boleh menghadapi musuh tanpa pasukan dan persenjataan, apalagi lalai terhadap musuh. Mereka harus mempersiapkan dirinya dari sisi sumber daya manusia dan kemampuan militer, sehingga musuh takut menyerang.

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu..." (QS. al-Anfal: 60)

Sumber: Hoshdar-ha va Tahzir-haye Qorani, Hamid Reza Habibollahi, 1387 Hs, Markaz-e Pajuhesh-haye Seda va Sima.

 

 

[1] . Sebagai contoh, Nabi Saw sebelum terjadi Perang Khandaq telah mendapat informasi dari para informan beliau bahwa musuh telah menyiapkan perang ini dan dengan bermusyawarah dengan para sahabatnya, akhirnya pasukan Islam menggali parit demi melindungi Madinah dari bahaya musuh-musuh Islam. (Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, Qom, Entesharat Iran, 1363 Hs, jilid 3, hal 235)
[2] . QS. an-Nisa: 102.

Selasa, 01 September 2015 09:27

Persahabatan dan Mencari Sahabat dalam Islam

Kasih sayang yang ada dalam diri masyarakat memiliki pengaruh luar biasa dalam kehidupan mereka dan menjadi obat bagi pelbagai masalah kejiwaan manusia. Berpikiran positif terkait orang lain dan mengasihi mereka membuat pekerjaan sehari-hari lebih ringan dan interaksi lebih mudah serta solusi bagi banyak problem sosial.

Agama Islam sangat memandang penting soal menyebarkan kasih sayang dengan masyarakat dan itu dilakukan dengan pentakbiran yang beragam dan indah saat menjelaskan posisi penting sifat mulia ini. Rasulullah Saw bersabda, "Puncak akal setelah iman kepada Allah Swt adalah mengasihi manusia."[1]

Dalam riwayat lain dari Maksumin as disebutkan bahwa mengasihi masyarakat terkadang disampaikan dengan ungkapan akal[2] atau setengah dari akal[3]. Secara umum, dengan melihat perilaku para Nabi dan Maksumin as rahasia bagaimana mereka dicintai dan begitu diterimanya mereka oleh masyarakat kembali pada unsur pengasih yang ada dalam dirinya terhadap masyarakat. Sementara menurut pandangan al-Quran, orang-orang mukmin dan pelbagai kalangan masyarakat Islam merupakan saudara satu sama lainnya. Itulah mengapa perilaku mereka terhadap yang lain harus berdasarkan prinsip persaudaraan dan seperti dua saudara.

"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (QS. al-Hujurat: 10)

Abd al-Mu'min al-Anshari menukil, "Saya pergi menemui Imam Musa bin Ja'far as dan Muhammad bin Abdullah Ja'fari berada bersama beliau. Saya tersenyum kepadanya. Imam Kazhim as berkata, ?Apakah engkau mengasihinya?' Saya menjawab, ?Iya. Saya mengasihinya karena Anda.' Imam Kazhim as berkata, ?Ia adalah saudaramu. Seorang mukmin merupakan saudara kandung mukmin yang lain."[4]

Dengan demikian, penting untuk menjelaskan ajaran Islam agar dapat mengubah pandangan kita dan masyarakat Islam tentang saudara seagama. Cara pandang ini harus disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat, sehingga menjadi sarana bagi persatuan masyarakat Islam dan kekompakan mereka.

Mencari sahabat merupakan unsur lain yang telah dipesankan dalam agama Islam dan banyak riwayat yang membicarakan masalah ini. Mengamalkan perintah Islam ini akan menciptakan hubungan yang lebih erat antara umat Islam dan mempersatukan masyarakat Islam. Penerapan ajaran Islam di bidang ini akan merealisasikan ayat al-Quran yang berbunyi "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" di setiap masyarakat Islam.

Islam saat mencela orang-orang yang memilih untuk menyendiri menyebut mereka orang yang paling lemah dan menyayangkan kepribadian mereka yang lemah. Imam Ali as berkata, "Orang yang paling lemah adalah yang tidak mampu mencari sahabat, sementara yang lebih lemah darinya adalah orang yang kehilangan sahabatnya."[5]

Hanya dalam satu kondisi Islam memilih untuk menyendiri dan tidak berinteraksi dengan masyarakat ketika sahabatnya adalah orang-orang yang sangat rusak, sehingga bila bergaul dengannya, maka ia sendiri akan terjauhkan dari Allah atau melakukan maksiat. Kondisi yang seperti ini membuat seseorang harus memilih untuk sendiri. Sikap Ashab Kahfi termasuk kasus yang semacam ini dan banyak riwayat yang memuji sikap orang yang memilih untuk sendiri ketika kondisi masyarakat sedemikian rusak.

Sumber: Dousti va Doust Dashtan dar Quran va Rivayat, Mohammad Hemmati, Markaz Pezhouhesh-ha Eslami Seda Va Sima, Qom, 1392 Hs.

 

[1] . Syeikh Shaduq, al-Khishal, jilid 1, hal 15 hadis 55.
[2] . Abd al-Wahid Ibnu Muhammad at-Tamimi al-Amidi, Ghurar al-Hikam, hal 189, hadis 95.
[3] . Syeikh Shaduq, Man Laa Yahdhuruhu al-Faqih, jilid 4, hal 416.
[4] . Bihar al-Anwar, jilid 74, hal 236, hadis 38.
[5] . Ibid, hal 278, hadis 12.

Selasa, 01 September 2015 09:25

Penguasa dan Cinta Kepada Rakyat

Satu dari contoh kasih sayang dalam agama Islam adalah penguasa yang mencintai rakyatnya. Hal itu dikarenakan mereka senantiasa berhubungan dengan rakyat dan sebaliknya, rakyat melihat kunci penyelesaian segala masalah yang dihadapinya ada pada penguasa. Cinta kasih penguasa kepada rakyat selain menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat kepada pemerintah, juga meningkatkan partisipasi politik rakyat dan berujung pada bertambahnya kekuatan politik pemerintahan Islam. Hal ini dengan sendirinya menjadi sarana bagi penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat Islam dengan lebih baik.

Imam Ali as dalam suratnya kepada Malik al-Asytar, wakil dan gubernurnya di Mesir, menasihatinya agar mencintai rakyat dan memintanya untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap rakyatnya dengan ucapannya:

"Wahai Malik! Tumbuhkan rasa kasih sayang dalam dirimu kepada rakyat, cintailah mereka dan bersikaplah lemah lembut kepada mereka. Jangan berinteraksi dengan mereka seperti binatang buas, dimana engkau senantiasa menanti kesempatan untuk memakan mereka. Karena rakyat itu terbagi dua; yang pertama adalah saudaramu seagama dan yang lainnya adalah manusia sama sepertimu."

Ungkapan seperti ini dapat ditemukan banyak dalam perilaku para Maksumin as. Dinukil bagaimana Nabi Muhammad Saw mengunjungi orang sakit dari kalangan minoritas dan menyayangi mereka.

Sikap Nabi Saw yang penyayang menjadi teladan bagi setiap penguasa Muslim di setiap masa. Akhlak Nabi Saw yang mulia membuat masyarakat begitu mencintainya dan segala bentuk perintahnya dengan mudah diikuti oleh rakyat. Karena sebelum beliau menjadi penguasa pemerintahan Islam, Nabi Saw adalah penguasa hati rakyat. Hal inilah yang membuat beliau sukses memimpin pemerintahan Islam.

Sekaitan dengan Tsauban, budak yang dimerdekakan Nabi Saw diriwayatkan betapa ia begitu mencintai Nabi Saw. Suatu hari ia menemui Nabi Saw dalam kondisi badan yang kurus dan wajah yang pucat. Nabi Saw berkata, "Wahai Tsauban! Mengapa wajahmu tampak pucat?"

Tsauban menjawab, "Wahai Nabi! Saya tidak sakit. Tapi setiap kali saya tidak melihatmu, badanku bergetar ingin menatapmu. Ketika saya mengingat akhirat, saya begitu khawatir tidak melihatmu di sana. Karena saya tahu engkau memiliki posisi yang tinggi bersama para nabi yang lain. Bila saya dibawa ke surga, mereka akan meletakkanku di tempat yang lebih rendah dan tidak dapat melihatmu. Sementara bila saya tidak masuk ke surga, maka saya tidak akan pernah melihatmu."

Setelah itu ayat 69 surat an-Nisa diturunkan kepada Nabi Saw, "Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."

Dengan mencermati semua ini, para penguasa Islam berkewajiban untuk menunjukkan kasih sayang dan cintanya kepada seluruh kalangan masyarakat. Dengan cara ini atmosfer cinta menyebar di tengah masyarakat dan berubah menjadi budaya masyarakat. Begitu juga penguasa Islam tidak boleh berlaku diskriminatif antara Muslim dan minoritas. Karena Allah Swt memuliakan minoritas dan mewajibkan umat Islam untuk berlaku adil dan menyayangi mereka.

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. al-Mumtahanah: 8)

Contoh lain dalam perilaku para Maksumin as diriwayatkan bahwa di masa pemerintahannya, suatu hari Imam Ali as bersama seorang kafir dzimmi. Orang itu bertanya kepada Imam Ali as, "Anda hendak bepergian ke mana?"

Beliau menjawab, "Saya hendak menuju Kufah."

Ia ikut bersama Imam Ali as dan sampai ke suatu tempat, dimana mereka harus berpisah. Masing-masing mengambil jalannya sendiri-sendiri. Tapi Imam Ali as tidak beranjak menuju Kufah, tapi bergerak menuju orang kafir itu. Orang itu bertanya, "Bukankah engkau hendak menuju ke Kufah?"

Imam Ali as menjawab, "Benar."

Orang itu berkata, "Berarti engkau salah memilih jalan!"

Imam Ali as menjawab, "Saya tahu."

Kafir dzimmi itu berkata, "Lalu mengapa engkau bersamaku, sekalipun mengetahuinya?"

Imam Ali as menjawab, "Termasuk hak pertemanan dan kebersamaan adalah menemani temannya ketika hendak berpisah. Demikian kami diajari oleh nabi kami."

Peristiwa ini menunjukkan puncak kasih sayang yang ditunjukkan seorang penguasa Islam kepada penganut agama lain dan mampu menjelaskan dengan sempurna kenyataan agama Islam terkait persahabatan dengan Ahli Kitab dan bangsa lain. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

Sumber: Dousti va Doust Dashtan dar Quran va Rivayat, Mohammad Hemmati, Markaz Pezhouhesh-ha Eslami Seda Va Sima, Qom, 1392 Hs.

Persahabatan dalam Islam; Pengantar

Ini merupakan kisah para pemuda beriman yang oleh al-Quran disebut sebagai Ashab al-kahfi (para sahabat gua) yaitu orang-orang yang menghidupkan ruh tauhid dengan keteguhan imannya dan Allah memberikan hidayah kepada mereka.

Hari itu adalah hari raya. Suara keramaian terdengar oleh telinga. Masyarakat ramai mengerumuni tuhan-tuhannya. Mereka sedang merayakan pesta besar-besaran. Sang raja juga hadir di sana. Sejumlah orang sedang bersujud di hadapan raja. Sejumlah lainnya sedang menyerahkan hadiahnya kepada tuhan-tuhan mereka yang tidak bernyawa.

Maximilian salah seorang dari rombongan raja. Ia pelan-pelan menjauhi sang raja. Ia berusaha jangan sampai ada orang yang mengetahui kepergiannya. Namun seketika ia mendengar sebuah panggilan, "Maximilian mau kemana kamu?" Ia berhenti sebentar. Ia melihat temannya sedang menuju kepadanya. Kepada temannya Maximilian berkata, "Aku ingin menjauh dari suasana ini." Pemuda itu berkata, "Apakah engkau juga merasakan apa yang aku rasakan? Apakah menurutmu, sebuah acara ini merupakan hal yang sia-sia juga? Bagaimana mungkin bisa bersujud di hadapan raja zalim seperti Dikyanus?"

Keduanya pergi dan duduk di bawah pohon sambil memandang ke langit dengan penuh makna. Setelah berbincang-bincang keduanya mengetahui bahwa mereka berdua sama dalam keimanan dan keyakinan kepada Allah Swt. Maximilian berkata, "Di antara para penasihat dan orang-orang dekat raja ada beberapa orang lagi yang sekeyakinan dengan kita. Kami biasanya menyelenggarakan pertemuan di waktu malam secara sembunyi-sembunyi. Kamu juga bisa ikut pertemuan itu, tapi harus ekstra hati-hati."

Hari-haripun berlalu. Orang-orang yang beriman kepada Allah ini mulai berusaha menyingkirkan kesengsaraan dan kebodohan di rumah Maximilian. Mereka memohon pertolongan kepada Allah untuk kehancuran Dikyanus dan kebebasan masyarakat dari kezaliman Dikyanus. Suatu hari salah satu dari mereka ini dengan rasa ketakutan berkata, "Maximilian! Raja sudah tahu akan keimanan kita."

- "Bagaimana mungkin? Apakah kamu yakin?"

- Iya. Kita harus mencari jalan keluar! Kalau tidak, maka kepala kita besok bakal berada di atas tiang gantungan."

Saat itu juga ada yang mengetuk pintu rumah Maximilian. Dikabarkan bahwa raja memanggil mereka.  Maximilian berkata, "Kita pergi menemuinya. Tapi kita tetap pada keyakinan kita dan tidak melepaskan keimanan kita."

Ketika masuk ke dalam ruangan besar, mereka menyaksikan raja duduk di atas singgasana emas dan wajahnya hampir kehitam-hitaman karena saking marahnya. Ketika raja melihat mereka langsung bangun berdiri dan berteriak, "Di istanaku kalian berbicara tentang Tuhan Yang Esa? Kalau saja kalian bukan bagian dari para pembesar dan keluargaku, sekarang juga aku perintahkan untuk memotong-motong badan kalian." Di antara orang-orang yang beriman ada Maximilian, sang menantu raja dan ia berkata, "Kami telah berpikir banyak tentang Tuhan Yang Esa. Dia adalah pencipta langit dan bumi serta kita semua. Kami tidak menyembah sesembahan apapun selain Dia."

Sang raja berteriak, "Cukup! Aku tidak ingin mendengarkan sebuah ucapan. Aku kasih kalian kesempatan sampai besok dan harus berlepas tangan dari keyakinan kalian. Dan kalian bisa mendapatkan nikmat dariku sebagaimana sebelumnya."

Malam itu rumah Maximilian diselimuti kesedihan. Salah satu dari orang-orang mukmin itu berkata, "Kecintaan kepada Allah telah memenuhi jiwaku. Aku merasakan kehadiran-Nya di seluruh alam semesta ini. Aku merasakan ketenangan yang ajaib dengan mengingat-Nya. Bagaimana mungkin aku bisa menyembunyikan hakikat ini; Tuhan yang merupakan wujud yang hidup, penuh kasih sayang dan mampu."

Dengan bermusyawarah, akhirnya mereka mencapai kesepakatan untuk meninggalkan jabatan dan kedudukannya dan pergi berhijrah untuk mempertahankan keimanannya.

Orang-orang Mukmin ini pergi pada malam hari dan menelusuri jalan yang panjang. Maximilian yang berada di bagian paling depan berkata, "Lihatlah di sana ada seorang penggembala! Kita minta sedikit air darinya." Sang penggembala berkata, "Saya melihat ada tanda-tanda kebaikan di wajah-wajah kalian. Karena kalian tidak tahu jalan, anjing saya akan mendampingi Anda semua." Mereka berkata, "Bila anjing ini ikut bersama kami, maka ia akan menggonggong dan membuat orang lain mengetahui kita. Anjingpun mengikuti mereka. Mereka tidak bisa menjauhkan anjing tersebut dari diri mereka, apapun usaha yang mereka lakukan.

Penggembala naik gunung bersama mereka. Dari atas gunung mereka melihat lereng gunung yang subur dan penuh kehijauan. Ia menunjukkan sebuah gua kepada orang-orang Mukmin dari kejauhan seraya berkata, "Perjalanan tidak seberapa jauh lagi. Kalian bisa pergi dan istirahat di sana."

Matahari menyinari gua melalui belahan gunung. Orang-orang Mukmin ini berkata, "Sebaiknya kita istirahat sebentar untuk menghilangkan kelelahan dalam perjalanan." Mereka bersama-sama berdoa, "Ya Allah! erikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)". (Kahfi: 10)

Mereka benar-benar kelelahan dan langsung tertidur pulas. Gua berada di ketinggian dan sesekali matahari menyinarinya dari belahan gunung. Bila seseorang mau detil, ia pasti melihat orang-orang Mukmin yang berlindung ke dalam gua untuk menyelamatkan dirinya dari kezaliman Dikyanus. Mereka tertidur pulas dengan mata terbuka. Dengan kekuatan ilahi mereka sesekali mengubah posisinya dari kanan ke kiri dan sesekali dari kiri ke kanan.

Waktu sudah lewat setengah hari. Anjing yang tidur mengembangkan kedua tangannya di depan gua terbangun. Para sahabat gua satu persatu bangun dari tidurnya. Yang satu bertanya, "Menurutmu berapa lama kita tidur? Yamlika yang masih menguap menjawab, "Aku pikir kita telah tertidur berjam-jam." Bagaimana menurut Anda? Maximilian menjawab, "Dengan rasa lapar dan lemah yang aku rasakan, aku pikir aku tidur selama seharian." Yang lainnya berkata, "Kita tidur di pagi hari dan sekarang matahari belum terbenam. Aku pikir kita tidur tidak sampai sehari."

Yamlika memutus pembicaraan mereka seraya berkata, "Sebaiknya kita tinggalkan pembicaraan ini. Allah lebih tahu masa tidur kita. Sekarang salah satu dari kita harus pergi ke kota untuk melihat siapa yang punya makanan lebih bersih dan membelinya kemudian bawa ke sini. Tapi harus sangat hati-hati jangan sampai ada yang tahu tentang kita. Karena bisa saja kita dirajam atau disuruh kembali kepada agama mereka dan kita tidak lagi mencapai keberuntungan."

Maximilian bangun berdiri dan berkata, "Saya yang pergi ke kota untuk membeli makanan." Ia turun dari gunung dan benar-benar merasakan kekhawatiran yang aneh. Dengan penuh ketakukan dan kegalauan ia melihat ke sana ke mari. Ketika sampai di kota, ia bergumam, "Aneh! Suasana kota benar-benar berubah?! Bangunan-bangunan sudah berubah dan pakaian masyarakat lain bentuknya. Mungkinkah ada sesuatu yang terjadi? Apakah aku yang tersesat jalan?"

Segera ia menuju ke sebuah toko. Ia memberikan beberapa uang logam kepada pemilik toko untuk membeli makanan. Dengan takjub pemilik tokoh melihat uang logam dan bertanya, "Wahai anak muda! Apakah engkau menemukan harta karun?"

Maximilian menjawab, "Tidak. Aku mengambil uang ini kemarin."

Dengan meledek pemilik toko berkata, "Uang ini dibikin sudah lebih dari tiga ratus tahun. perbincangan mereka semakin seru dan masyarakat datang mengerumuni. Maximilian keheranan dan khawatir setiap saat para pasukan Dikyanus datang dan menangkapnya.

Salah satu yang hadir di situ berkata, "Jangan takut! Raja yang kau sebut-sebut itu sudah mati tiga ratus tahun yang lalu dan sekarang yang berkuasa adalah seorang raja yang beriman kepada Tuhan Yang Esa.

Bagi Maximilian segalanya seperti sebuah mimpi. Ia paham bahwa telah terselamatkan dari lingkungan yang penuh kemusyrikan. Namun tetap saja ada jurang pemisah antara mereka dengan masyarakat.

Ia dibawa menemui raja. Para penasihat raja berkata kepadanya, "Dalam sejarah masa lalu telah dicatat bahwa ada sejumlah pemuda beriman berlindung ke dalam gua karena menyelamatkan dirinya dari kezaliman dan penyembahan berhala dan tidak kembali lagi."

Maximilian yang dalam kondisi sedih berkata, "Biarkan aku untuk kembali ke gua dan menceritakan masalah ini kepada mereka. Mereka saat ini mengkhawatirkan aku."

Raja berkata, "Kami akan mendampingimu supaya kami bisa melihat teman-temanmu dari dekat dan kejujuranmu jelas bagi kami."

Di mana-mana berbicara tentang sahabat gua. Masyarakat bergerombol-gerombol. Setiap orang berbicara tentang sesuatu. Yang satu mengatakan, "Mukjizat yang besar. Sekelompok  orang meninggalkan kehidupan yang nyaman di istana raja dan berlindung ke gua untuk mempertahankan imannya. Setelah tiga ratus tahun mereka saat ini kembali lagi ke dunia ini." Yang lainnya berkata, "Dengan tanda ini Allah telah membuktikan kebangkitan kita yang kedua kalinya nanti.

Yang ketiga mengatakan, "Iya. Sekarang kita harus tahu bahwa janji kiamat itu benar. Dan tidak diragukan bahwa dunia bakal berakhir dan tiba Hari Kiamat."

Maximilian berjalan bersama penduduk. Ketika sudah mendekati gua dia berkata, "Sebaiknya kalian tinggal di sini saja. Bila kalian tiba-tiba datang menemui teman-temanku, mereka pasti akan ketakutan. Aku harus menyiapkan mereka untuk menerima hakikat ini. Maximilian masuk ke dalam gua dan menceritakan apa yang terjadi kepada teman-temannya. Kemudian berkata, "Teman-teman yang mulia! Sekarang kita tidak punya teman maupun kerabat. Bertahun-tahun kita sudah sangat jauh dengan masyarakat ini. Karena itulah bagi kita sangat sulit untuk menerima kehidupan ini. Marilah kita berdoa memohon kepada Allah untuk memanggil kita menuju kepada-Nya dan memberikan rahmat-Nya kepada kita."

Doa dan permohonan para sahabat gua tidak berlangsung lama. Kemudian badan-badan mereka yang tidak bernyawa jatuh ke tanah.

Setelah beberapa lama, raja dan orang-orang sekitarnya ketika melihat tidak ada kabar apa-apa lagi, mereka kemudian naik ke dalam gua. Di sana mereka menyaksikan beberapa jasad yang wajah-wajahnya bersinar. Pada saat itu mulailah terjadi perselisihan antara dua kelompok. Mereka yang ingin hakikat menakjubkan ini terlupakan berkata, "Kita tutup pintu gua agar mereka senantiasa tersembunyi dari pandangan mata masyarakat."

Kelompok satunya lagi yang menilai kisah Ashab al-Kahfi telah menghidupkan kenangan kiamat dan keteguhan di jalan keimanan bagi mereka, mengatakan, "Kami akan membangun tempat ibadah di samping mereka sehingga kenangan mereka jangan sampai terlupakan."

Sekarang ini para ahli arkeologi telah menemukan peninggalan tempat peribadatan ini di negara Yordania.

Kisah ini ada pada ayat 9 sampai 26 surat Kahfi.

Selasa, 01 September 2015 09:23

Permusuhan dan Kedengkian dalam Islam

Di sisi lain, agama Islam memiliki perintah khusus untuk mencegah permusuhan dan rasa dendam yang tidak pada tempatnya dalam masyarakat Islam. Karena perbedaan sifat manusia dari sisi etnis, agama dan budaya sosial. Keragaman ini berpotensi memunculkan perselisihan dan permusuhan dalam masyarakat. Agama Islam dengan memberi penekanan khusus akan kedamaian dan keakraban memperingatkan manusia untuk tidak terperangkap dalam sifat Jahiliah dan berusaha memusnahkan segala bentuk perselisihan dan konflik.

Imam Ali as ketika menasihati Malik al-Asytar mengatakan, "Wahai Malik! Jangan terlalu memikirkan rasa dengki yang berasal dari masyarakat."[1]

Agama Islam sangat memperhatikan keteraturan dan keamanan di tengah masyarakat dan mengajak semua anggota masyarakat untuk menjaganya. Pada saat yang sama Islam menyebut orang-orang yang memusuhi umat Islam sebagai orang jahat.

Nabi Muhammad Saw bersabda, "Orang yang paling jahat adalah yang memusuhi orang-orang Mukmin dan hati umat Islam juga membenci mereka."[2]

Di masa Nabi Saw, ada dua orang pemuda yang bertengkar. Yang satu berasal dari kaum Muhajirin dan yang kedua dari Anshar. Pemuda Muhajirin berteriak, "Wahai Muhajirin! Tolong saya." Pada saat yang sama, pemuda Anshar juga berteriak, "Wahai Anshar! Bantu saya." Mendengar teriakan keduanya, Nabi Saw keluar dan berkata, "Ada apa dengan teriakan Jahiliah ini?" Orang-orang yang ada di sana menjawab, "Wahai Nabi Allah! Tidak demikian. Ada dua anak muda yang bertengkar dan ada seorang yang menyerang dari belakang."

Nabi Saw bersabda, "Tidak ada yang penting dalam pertikaian ini. Tapi setiap orang harus menolong saudaranya, baik itu penindas atau tertindas. Bila saudaranya pezalim, maka hendaknya mencegah perbuatannya. Inilah upaya dalam membantunya. Sementara bila saudaranya orang yang dizalimi, maka tolonglah dia."[3]

Nabi Saw dan Imam Maksum as senantiasa berusaha agar masyarakat Islam tidak menjadi sasaran para pelaku fitnah dan perselisihan. Mereka berusaha menciptakan perdamaian di antara masyarakat. Dari sini, Imam Ali as pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw tidak bersikeras menuntut hak khilafah dikarenakan melihat pentingnya maslahat seluruh masyarakat Islam. Dengan demikian segala bentuk perselisihan sampai pertumpahan darah dapat dihindari.

Imam Ali as dalam khutbahnya menyinggung masalah ini:

"Sesungguhnya Allah Swt ketika mengambil ruh Nabi-Nya, Quraisy dengan percaya diri mendahulukan dirinya dari kami. Akhirnya, kami yang lebih layak dari semua dalam memimpin umat tidak dapat meraih hak kami. Tapi aku menyaksikan bahwa sesungguhnya bersabar bagiku lebih utama ketimbang terjadinya perselisihan di antara umat Islam dan terjadi pertumpahan darah. Karena masyarakat baru saja menerima Islam, sementara agama seperti tempat air yang penuh dengan susu yang hampir rusak dan sedikit kelemahan dan kelalaian akan merusaknya."[4]

Sumber: Dousti va Doust Dashtan dar Quran va Rivayat, Mohammad Hemmati, Markaz Pezhouhesh-ha Eslami Seda Va Sima, Qom, 1392 Hs.

 

 

[1] . Mustadrak al-Wasail, jilid 13, hal 147.
[2] . Syeikh Hurr al-?Amili, Wasail as-Syiah, jilid 12, hal 19.
[3] . Muslim bin Hajjaj Naisyaburi, Sahih Muslim, jilid 4, hal 1998.
[4] . Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahju al-Balaghah, jilid 1, hal 308.

Selasa, 01 September 2015 09:22

Muslim Cinta Damai

Islam menetapkan undang-undang terkait hubungan sosial dan memerintahkan masyarakat agar menerapkan undang-undang itu saat berselisih pendapat. Tapi pada saat yang sama mengingatkan semua untuk mendahulukan perdamaian dan persahabatan ketimbang berselisih dan bertikai. "Perdamaian itu lebih baik..." (QS. An-Nisa: 128)

Sekaitan dengan masalah ini, Ayatullah Makarem Shirazi secara umum mengisyaratkan, "Jelas, ayat ini menjelaskan undang-undang universal, dimana yang menjadi prinsip utama adalah berdamai, keakraban dan persahabatan, sementara perselisihan, pertikaian dan perpisahan bertentangan dengan tabiat manusia yang sehat dan kehidupan manusia yang tenang. Oleh karenanya, selain dalam kondisi darurat dan pengecualian, manusia tidak boleh bertumpu pada perselisihan, pertikaian dan perpisahan."[1]

Metode Islam saat menghadapi pengikut agama lain senantiasa berlandaskan perdamaian dan saling menghormati. Islam juga menghormati kebebasan akidah mereka dan tidak pernah menyeru mereka dengan paksa untuk memeluk agama Islam. Atas dasar ini, Islam hidup berdampingan secara damai dan memiliki hubungan saling menghormati dengan pemeluk agama yang memiliki kitab samawi dan sesuai dengan kondisi khusus. Tentu saja Islam tidak membolehkan aktivitas yang menunjukkan kesyirikan dan penyembahan berhala. Karena keduanya termasuk khurafat dan penyimpangan, bahkan sejenis penyakit pemikiran dan moral yang harus cabut hingga ke akar-akarnya.

Sangat disayangkan akibat propaganda yang dilakukan musuh-musuh Islam muncul kesalahpahaman dan penafsiran dengan pendapat sendiri terhadap sebagian ayat-ayat al-Quran, sehingga salah satu fokus serangan musuh kepada Islam adalah menebarkan kerancuan berpikir soal akidah Islam soal Ahli Kitab dan Kuffar. Mereka memilih dan mengambil potongan ayat-ayat al-Quran serta menyalahgunakan sebagian teks-teks agama lalu menyoroti dan membesarkan pengertian yang tidak ada hubungannya dengan al-Quran.

Sebagai contoh, hukum Islam tentang Kafir Harbi dan Musyrikin telah disalahgunakan musuh untuk melemparkan kerancuan dan mereka yang salah memahaminya. Mereka memolotisasi sebagian ayat-ayat al-Quran dan menafsirkannya seakan-akan Islam berperang dengan semua orang kafir dan Ahli Kitab. Dengan cara ini, mereka kemudian menyebarkan isu Islamphobia di kalangan non Muslim. Padahal ayat-ayat al-Quran menjelaskan bahwa hukum jihad terhadap orang-orang Kafir hanya terkait dengan orang kafir yang tengah berperang dengan umat Islam. Pemahaman ini jelas memberi hak kepada umat Islam untuk berjihad melawan musuh yang tengah memeranginya.

"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu..." (QS. al-Baqarah: 190)

Ayatullah Makarem Shirazi dalam tafsirnya mengatakan, "Kalimat al-Ladzina Yuqatilunakum secara transparan memerintahkan secara khusus menghadapi orang yang mengangkat senjata dan selama musuh tidak melakukan serangan, umat Islam tidak boleh menyerang. Prinsip ini harus dihormati dan ditaati dalam setiap kondisi, kecuali ada sebagian pengecualian yang akan dijelaskan."[2]

Dengan demikian, jihad dengan non Muslim hanya dibolehkan dalam kondisi khusus. Sebagai contoh, dalam sebagian ayat lain dijelaskan alasan berjihad terhadap orang kafir dikarenakan mereka menyebarkan fitnah dan melakukan konspirasi terhadap umat Islam.

"Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah)..." (QS. al-Baqarah: 191)

Setelah itu ayat 191 surat al-Baqarah ini menjelaskan sebab jihad dan perang ini dengan menyebutkan, "... Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan..."

Contoh lainnya lagi yang menunjukkan umat Islam bukan bangsa yang suka berperang adalah perilaku Imam Ali as. Sebelum dimulainya perang Shiffin, beliau berkata kepada pasukannya dan mengeluarkan satu perintah.

"Jangan kalian memulai perang, sampai mereka yang memulainya. Alhamdulillah, sesungguhnya kalian berada dalam kebenaran. Ketika kalian membiarkan mereka yang memulai perang, itu menunjukkan kebenaran lain kalian atas mereka. Bila kalian menang dalam perang, maka jangan bunuh mereka yang lari dari medan perang, orang-orang yang sudah lemah dan mereka yang terluka. Jangan mengganggu para perempuan, sekalipun mereka mencaci kalian dan pemimpinmu."[3]

Dengan demikian, tuduhan yang dialamatkan kepada umat Islam sebagai pelaku kekerasan dan suka berperang dengan non Muslim merupakan kebohongan. Dengan sedikit melihat kenyataan, siapa saja dapat memahami bahwa segala bentuk tuduhan itu tidak sesuai dengan satupun dari ajaran Islam. Bila Islam memerintahkan perang, maka itu hanya dilakukan terhadap orang yang tidak mau berhenti melakukan kezaliman dan senantiasa ingin menyebar fitnah. Islam tidak memerintahkan jihad dengan orang-orang seperti ini agar memaksa mereka memeluk Islam, tapi jihad yang dilakukan untuk menghentikan kejahatannya.

Sumber: Dousti va Doust Dashtan dar Quran va Rivayat, Mohammad Hemmati, Markaz Pezhouhesh-ha Eslami Seda Va Sima, Qom, 1392 Hs.

Selasa, 01 September 2015 09:21

Memahami Al-Quran Pendahuluan

1. Perhatian Terhadap Al-Quran dan Bertadabbur

Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei sejak muda telah mengakrabkan dirinya dengan al-Quran dan dalam setiap kesempatan yang tepat beliau berpesan kepada masyarakat, pejabat negara dan bangsa-bangsa lain untuk merujuk kepada al-Quran, mengakrabkan diri dengannya dan bertadabbur.

Rahbar menyebut tujuan Revolusi Islam adalah membentuk masyarakat qurani dan di bawah lindungan tujuan ini ruang masyarakat dan bahkan dunia dibimbing dengan al-Quran. Dari pidato-pidato beliau dapat dikumpulkan tahapan dan program untuk sampai kepada masyarakat qurani. Dalam pendahuluan singkat ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai tahapan untuk mencapai masyarakat qurani.

Membaca Al-Quran

Langkah pertama, menguasai teks al-Quran. Setiap hari harus lebih banyak yang dibaca. Bila kita ingin mempelajari al-Quran, harus ada sejumlah orang yang berada di puncak. Sama seperti hal-hal lainnya, bila kita ingin olahraga dilakukan oleh semua orang, maka kalian harus menyiapkan para olahragawan top yang dapat disaksikan masyarakat. Bila kalian ingin mensosialisasikan al-Quran di rumah, di antara anak-anak, orang tua, laki-laki dan perempuan, maka sudah seharusnya menghormati para pemenang lomba baca al-Quran. Itulah mengapa kita harus menghormati para pembaca al-Quran. Mereka pembawa al-Quran dan memiliki posisi mulia. Lisan mereka mulia. Bibir dan hati mereka mulia. Karena akrab dengan al-Quran. Jiwa kita berkorban untuk al-Quran. Tapi tidak bisas berhenti di sini saja. (Acara Penutupan Musabaqah Tilawatul Quran Ke-15, 1/9/1377)

Kebiasaan dan pemikiran saya seperti ini. Saya ingin di tengah masyarakat kita harus ada gerakan untuk menyiapkan mimbar khusus bagi para pembaca al-Quran, sama seperti para khatib yang memiliki mimbar khusus. Para pembaca al-Quran juga harus memiliki mibar dan sebagai contoh ia pergi ke mimbar untuk membaca al-Quran selama setengah jam dan masyarakat bisa mendengar langsung kejernihan firman Allah darinya dan hati mereka bergetar, air mata bercucuran serta mendapat nasihat darinya. Setelah itu mereka berdiri dan meninggalkan tempat itu. Tapi yang terjadi saat ini kita masih menjadikan al-Quran sebagai pendahuluan sebuah khotbah, pidato dan orasi! (Pertemuan dengan Qari al-Quran; Sya'ban Abd Al-Azizi Shayyad dan Mahmoud Shiddiq al-Minsyawi, 22/1/1370)

Saya berkhotbah pada tahun 1351 hingga 1353 di Mashad. Saya berkhotbah sambil berdiri. Ketika selesai berbicara, saya duduk di atas lantai. Setelah itu kami menyiapkan kursi agar seorang qari duduk di situ membaca al-Quran... Saya mengatakan, "Khotbah saya merupakan pendahuluan dari pembacaan al-Quran."

Saya berbicara dalam kondisi berdiri, sementara kursi yang tinggi dan indah, seperti mimbar, kami siapkan agar qari al-Quran duduk di atasnya. Setelah khotbah saya berakhir, qari kemuaian membaca al-Quran. Ayat-ayat yang dibacakan adalah yang saya tafsirkan sebelumnya. Ini pemikiran saya. (Pertemuan dengan Qari al-Quran; Sya'ban Abd Al-Azizi Shayyad dan Mahmoud Shiddiq al-Minsyawi, 22/1/1370) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

Sumber: Bardashtha-ye Qurani; Bargerefteh az Bayanat Rahbar Moazzam Enghelab Eslami Jus Si Beh Zamimeh Soreh Mobarakeh Hamd,  Beh Koshesh Barat Mohammad Hedayati Ba Hamkari Kazem Balouj va Mahdi Moradian, 1393, Mashad, Moasseseh Emam Sajjad as.

Taubat Penyelamat Manusia

 

Allah Swt berfirman:
 

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (QS. Yunus: 98)

Sekalipun surat Yunus menjelaskan secara detil tentang sejarah Nabi Nuh dan Musa as, tapi surat ini tetap dinamakan surat Yunus. Padahal dalam surat ini hanya memuat kisah kaum Nabi Yunus as yang bertaubat dan itupun disinggung hanya dalam satu ayat. Walaupun demikian, penamaan surat ini dengan surat Yunus mungkin disebabkan pentingnya apa yang dilakukan oleh kaum Nabi Yunus as. Karena pada akhirnya bertaubat dan Allah Swt menerima taubat mereka.

Imam Shadiq as berkata, “Nabi Yunus as berdakwah kepada kaumnya sejak usia 30 hingga 63 tahun, tapi hanya dua orang yang beriman kepada apa yang dibawanya. Nabi Yunus as kemudian melaknat mereka lalu pergi meninggalkan kaumnya. Satu dari dua orang yang beriman kepada beliau adalah seorang bijaksana dan berilmu. Ketika menyaksikan Nabi Yunus as melaknat kaumnya dan pergi meninggalkan mereka, ia naik ke tempat yang agak tinggi dan memperingatkan mereka. Warga yang mendengar ucapannya menyadari kesalahan yang selama ini dilakukan dan dengan  petunjuknya mereka bergerak ke luar kota. Mereka berusaha menjaga jarak dengan anak-anaknya lalu mulai bermunajat kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya, hingga Allah Swt menerima taubat mereka. Nabi Yunus as kembali ke kota itu, tapi menemukan warganya tidak binasa. Beliau terkejut dan bertanya apa yang terjadi. Mereka menjelaskan kepada Nabi Yunus as apa yang terjadi sepeninggalnya.”[1]

Benar, sekalipun manusia telah berada di bibir jurang, tapi ia masih dapat menolong dirinya sendiri. Karena iman dan taubat pada waktunya dapat menyelamatkan manusia dari kemurkaan ilahi dan membatalkan azab, sekaligus menjadikan manusia bahagia.

Dalam sejarah kaum nabi-nabi terdahulu yang mendustakan ucapan mereka hanya kaum Nabi Yunus as yang bertaubat pada waktunya lalu beriman kepada apa yang diajarkannya, sehingga dapat selamat dari azab ilahi.

 

Sumber: Mohsen Qaraati, Daghayeghi ba Quran, Tehran, Markaz Farhanggi Darsha-i az Quran, 1388 Hs, cet 1.



[1] . Tafsir Majma’ al-Bayan dan as-Shafi.