
کمالوندی
Pusat Ziarah di Qom Masih Tutup Hingga 10 Ramadhan
Kompleks Makam Suci Sayidah Fatimah Maksumah sa, saudari Imam Ridha as, Cicit Rasulullah Saw yang menjadi pusat ziarah di kota Qom akan tetap tutup hingga tanggal 10 Ramadhan, bahkan mungkin akan diperpanjang penutupannya.
Badan Nasional Penanganan Virus Corona (COVID-19) Iran telah menutup pusat-pusat keagamaan dan ziarah untuk mencegah penyebaran COVID-19, termasuk Kompleks Haram Suci Sayidah Maksumah sa.
Beberapa warga Iran tampak membaca doa ziarah ketika melewati lokasi sekitar kompleks tersebut. Shalat Jumat di beberapa provinsi di Iran juga telah ditiadakan sejak hampir dua bulan lalu.
Sebelumnya, juru bicara Kementerian Kesehatan Republik Islam Iran Kianoush Jahanpour mengatakan, pasien COVID-19 yang sembuh meningkat dan hingga sekarang 60.965 pasien virus ini telah sembuh dan diizinkan pulang dari rumah sakit.
"Sejak Senin siang hingga Selasa siang ini, berdasarkan hasil tes laboratorium, ada 1.297 pasien baru yang terinfeksi virus Corona, sehingga jumlah total pasien yang terinfeksi virus ini menjadi 84.802 orang," kata Jahanpour, Selasa (21/4/2020) siang.
Dia menambahkan, sayangnya selama 24 jam lalu, 88 pasien yang terinfeksi Covid-19 di Iran meningal dunia, sehingga jumlah total yang meninggal dunia hingga sekarang mencapai 5.297 orang. Sementara 3.357 pasien dalam kondisi kritis.
Virus Corona telah menyebar ke lebih dari 111 negara dan jumlah korban jiwa akibat virus ini di seluruh dunia hingga Selasa (21/4/2020) pagi telah mencapai 170.182 orang.
Lebih dari 2.477.752 orang terinfeksi COVID-19 dan 646.321 dari mereka telah sembuh. Covid-19 ditemukan pertama kali pada Desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.
Amerika Serikat berada di urutan pertama yang memiliki kasus terbanyak terkait dengan virus Corona. 787.370 warga Amerika terinfeksi COVID-19, dan 42.335 dari mereka meninggal dunia.
Spanyol berada di urutan kedua. 200.210 warga negara ini tertular COVID-19, dan 20.852 dari mereka meninggal dunia. Negara berikutnya adalah Italia. 181.228 warga negara ini terinfeksi virus Corona dan 24.114 dari mereka meninggal dunia.
Negara-negara berikutnya yang memiliki kasus terbanyak COVID-19 adalah Prancis, Jerman, Inggris, Turki, Cina, dan Iran.
Akhirnya OKI Mereaksi Eskalasi Kekerasan terhadap Muslim India
Komisi Hak Asasi Manusia di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengutuk peningkatan kekerasan terhadap Muslim India ketika virus Corona menyebar ke seluruh negeri.
Komisi Permanen dan Independen HAM di OKI telah meminta New Delhi agar mengambil langkah-langkah untuk memastikan hak-hak komunitas Islam, dalam sebuah pernyataan yang menyebut Islamofobia di India sebagai tidak tahu malu dan menuduh umat Islam negara ini menyebarkan virus Corona.
Pesan Twitter komisi itu mengatakan, "Cara pandang negatif di media-media India juga menempatkan Muslim sebagai target kekerasan dan sikap diskriminatif."
Orang-orang Hindu ekstrem telah mengeksploitasi krisis Corona dalam beberapa hari terakhir dengan menuduh umat Islam berkomplot melawan negara dan menyerang mereka.
Pada bulan Februari, New Delhi menyaksikan serangan mematikan para ekstremis Hindu terhadap Muslim yang menewaskan 54 orang.
Pernyataan Komisi Permanen dan Independen Hak Asasi Manusia OKI yang menyebut Islamofobia di India sebagai tidak tahu malu dan berlanjutnya kekerasan terhadap umat Islam mengacu pada pendekatan kontroversial yang diambil sejak musim panas lalu oleh partai yang berkuasa BJP untuk menghapuskan otonomi khusus Kashmir.
Dengan dihapuskannya otonomi khusus Kashmir pada Agustus 2019, pemerintah India praktis secara resmi menerapkan tekanan dan melanggar hak-hak umat Islam dan kurangnya tanggapan serius dari lembaga-lembaga regional dan internasional, termasuk PBB, membuat para pejabat New Delhi melanjutkan tindakan-tindakan provokatif ini.
Sejak musim panas lalu, pemerintah India telah memberlakukan pembatasan yang luas terhadap umat Islam dan mencegah mereka mengadakan acara ritual keagamaan di berbagai bagian negara itu, yang melanggar prinsip-prinsip penghormatan atas hak-hak agama untuk melaksanakan ritual keagamaannya yang diakui secara internasional.
Dalam langkah lain yang jelas-jelas menerapkan diskriminasi agama terhadap umat Islam, pemerintah India hanya memberikan izin tinggal dan kewarganegaraan bagi imigran non-Muslim dan tidak untuk imigran Muslim. Tindakan ini telah membuat marah komunitas Muslim, kelompok politik dan bahkan masyarakat India.
Pendekatan anti-Islam yang diterapkan India dalam beberapa bulan terakhir, memuncak dengan diperkenalkannya Undang-Undang Kewarganegaraan sehingga puluhan kota di negara ini menjadi tempat demonstrasi rakyat terhadap kebijakan diskriminatif dan provokatif pemerintah New Delhi dalam mendukung hak-hak Muslim.
Kebijakan pemerintah India dalam menumpas dan melanggar hak-hak Muslim di India telah menyebabkan umat Hindu ekstrem melakukan tindakan mematikan anti-Muslim dengan dukungan partai BJP yang berkuasa.
Aksi kekerasan terhadap muslim India
Pembakaran sedikitnya sepuluh masjid dan tempat-tempat suci umat Islam di India adalah tindakan tidak manusiawi dan anti-Islam lainnya oleh umat Hindu ekstrem selama dua bulan terakhir. Menurut para saksi mata, polisi dan pasukan keamanan negara ini hanya menyaksikan berbagai tindakan kekerasan ini.
Dalam situasi seperti itu, dunia Islam mengharapkan Organisasi Kerja Sama Islam agark mengambil langkah segera untuk menghentikan kekerasan mematikan terhadap umat Islam dan perusakan situs-situs suci mereka di India oleh pasukan keamanan dan umat Hindu ekstrem dengan mengadakan langkah-langkah mendesak untuk mengadakan pertemuan luar biasa tingkat menteri luar negeri negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dengan tujuan membahas kebijakan anti-Islam dari pemerintah New Delhi dan mengutuknya.
Protes Kelangkaan Alkes, Perawat AS Demo di Gedung Putih
Organisasi terbesar yang menghimpun para perawat dan tenaga kesehatan Amerika Serikat menggelar unjuk rasa di depan Gedung Putih untuk memprotes kelangkaan alat pelindung diri di tengah wabah Virus Corona di negara itu.
Fars News (21/4/2020) melaporkan, American Nurse Association, ANA mengumumkan, anggota ANA hari ini, Selasa (21/4) akan menggelar demonstrasi di depan Gedung Putih untuk menuntut anggaran produksi massal alat pelindung diri dalam paket ekonomi khusus Corona pemerintah Amerika.
Seperti ditulis situs The Hill, ANA yang merupakan organisasi perawat terbesar di Amerika mengatakan, selama rumah sakit di seluruh penjuru Amerika masih mengalami kelangkaan masker, sarung tangan dan alat kesehatan lainnya di tengah wabah Covid-19 ini, maka anggota ANA akan meneriakkan dengan keras nama-nama perawat yang meninggal akibat Corona di depan Gedung Putih.
Ditambahkannya, hingga kini perawat dan tenaga medis lainnya di sebagian besar rumah sakit Amerika tidak dilengkapi alat kesehatan yang cukup untuk melindungi diri dari kemungkinan tertular Covid-19.
Iran Pamerkan Dua Radar Strategis Baru
Sistem radar strategis "Khalij-e Fars" dan "Moraghebat" dipamerkan dalam sebuah acara yang dihadiri oleh Komandan militer Iran, Mayjen Abdolrahim Mousavi.
IRIB (19/4/2020) melaporkan, radar jarak jauh Khalij-e Fars memiliki daya jangkau lebih dari 800 kilometer, dan merupakan radar "fuzzy array" tiga dimensi dengan teknologi mutakhir yang bisa mendeteksi semua objek konvensional, dan rudal-rudal balistik anti-radar.
Sementara radar "Moraghebat" merupakan salah satu radar kontrol tiga dimensi paling akurat, yang memiliki sistem fuzzy array dan merupakan radar canggih dengan daya jangkau 400 kilometer.
Radar ini bisa mendeteksi objek-objek udara dengan akurasi dan stabilitas yang sangat tinggi, begitu juga objek-objek kecil di ketinggian rendah, dan sedang, serta pesawat-pesawat tanpa awak anti-radar.
IRGC Peringatkan Militer AS Patuhi Aturan di Teluk Persia
Humas Korps Garda Revolusi Islam Iran, IRGC menyinggung perilaku tidak profesional angkatan laut Amerika Serikat di Teluk Persia, dan meminta agar Amerika menghindari segala bentuk petualangan, pemalsuan data dan kebohongan.
Armada Kelima AL Amerika di Asia Barat, dan beberapa pejabat politik serta militer negara ini menuduh 11 kapal cepat IRGC pada 15 April 2020 mengganggu kapal-kapal Amerika di utara Teluk Persia, dan melintas dengan sangat cepat di depan kapal Amerika, dalam sebuah operasi bersama.
Humas IRGC, Minggu (19/4) menyebut narasi yang dibuat AL Amerika itu seperti film-film Hollywood dan mengatakan, AL Amerika pada 6-7 April 2020 melakukan perilaku tidak profesional serta berbahaya, dan tanpa memperhatikan peringatan awal, menutup jalan kapal Iran di Teluk Persia untuk beberapa lama, sampai terpaksa menyingkir.
Ditambahkannya, AL IRGC untuk mencegah berlanjutnya perilaku tidak profesional kapal-kapal Amerika, dan menjaga keamanan pelayaran kapal-kapal Iran, dan mencegah penyelundupan bahan bakar, menambah patroli lautnya di Teluk Persia.
"Pada 15 April 2020, setelah mengumumkan situasi penembakan di sejumlah wilayah latihan yang sudah ditetapkan dalam peta sebelumnya, 11 kapal cepat AL IRGC secara berkelompok dikerahkan ke lokasi dan berpapasan dengan kapal perang Amerika," imbuhnya.
Menurut IRGC, karena tidak mematuhi peringatan pertama, melakukan langkah provokatif dan menunjukkan perilaku tidak profesional, kapal-kapal Amerika mendapat perlawanan dari pasukan Iran, dan akhirnya terpaksa menyingkir dari jalur kapal-kapal Iran.
Zarif kepada Trump: Jangan Intervensi Urusan Negara Lain !
Menteri Luar Negeri Iran menanggapi klaim terbaru Presiden Amerika Serikat dengan menekankan supaya Trump mengakhiri campur tangan terhadap urusan negara lain.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif di akun Twitternya menegaskan bahwa Tehran tidak perlu berkonsultasi dengan satupun politisi AS, dan mengatakan kepada Trump, "Anda seharusnya segera menghentikan campur tangan terhadap urusan negara lain, terutama Iran,".
Zarif juga menanggapi klaim Trump mengenai pengirimam alat bantu pernapasan ke Iran, dengan menjelaskan, "Republik Islam akan mengekspor respirator dalam beberapa bulan ke depan,".
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih Sabtu malam mengatakan Amerika Serikat siap untuk mengirim bantuan ke Iran.
Trump juga mengklaim, meskipun banyak masalah dan kekurangan peralatan medis dan kesehatan di Amerika Serikat untuk menangani Covid-19, tapi siap mengirim ribuan respirator ke Tehran jika Iran meminta.
Presiden AS, Donald Trump
"Mereka ingin mencapai kesepakatan.Saya pikir dia (John Kerry) akan menyuruh mereka menunggu, dan mungkin mengatakan Trump kalah, dan Anda bisa bernegosiasi," ujar Trump.
Klaim Trump untuk membantu Iran mengemuka di saat Amerika Serikat sedang kewalahan menangani Covid-19, dengan jumlah kasus positif terbesar di dunia.
Lebih dari itu, keseriusan AS membantu Tehran diragukan, karena negara ini masih melanjutkan sanksi terhadap Iran yang sedang berjuang menangani penyebaran virus corona.(
Pembayaran Dana Kampanye Trump kepada Dua Putranya
Sebuah surat kabar Amerika Serikat mengungkapkan bahwa tim kampanye pemilu Donald Trump, Presiden Amerika Serikat diam-diam telah membayar $ 180.000 per tahun untuk kedua putranya.
Koran The Huffington Post mempublikasikan laporan ini dan menyatakan, tim kampanye Donald Trump, Presiden AS secara diam-diam telah membayar kepada Kimberly Gilfill, tunangan Donald Trump Junior, putra pertama Trump dan Lara Trump, istri Eric Trump, anak Trump yang lain sebesar 15 ribu dolar perbulan.
Beberapa penasihat Gedung Putih yang mengetahui pembayaran ini mengatakan kepada The Huffington Post bahwa dua putra Trump sebenarnya telah menerima $ 180.000 selama setahun.
Donald Trump, Presiden Amerika Serikat
Dua sumber yang berafiliasi dengan partai Republik juga telah mengkonfirmasi bahwa uang sebesar itu telah diterima oleh dua putra Trump dengan dalih terlibat dalam kampanye pemilihan ulang Donald Trump untuk pemilihan presiden 2020.
Pembayaran ini dilakukan melalui perusahaan yang dimiliki oleh manajer kampanye Trump, Brad Parscale.
Langkah itu dilakukan untuk menghindari Komisi Pemilihan Federal, padahal segala bentuk kampanye politik harus melaporkan rincian pengeluaran mereka.
Sesuai dengan laporan ini, Gilfill dan Lara Trump keduanya memainkan peran yang berbeda-beda dalam mendukung kampanye pemilihan ulang Trump.
Substansi pembayaran semacam itu pertama kali diungkapkan oleh New York Times pada Maret 2020. Sementara The Huffington Post telah mengungkapkan jumlah pembayaran ini.
Trump Charity Foundation juga didenda pada 2019 oleh pengadilan karena menyalahgunakan anggaran yayasan untuk mencapai tujuan pemilu dan kepentingan politik pribadi dalam pemilu 2016.
Desakan AS untuk Memperpanjang Embargo Senjata Iran
Embargo senjata Iran harus diakhiri pada 20 Oktober 2020 berdasarkan perjanjian nuklir JCPOA. Namun, Amerika Serikat meninggalkan perjanjian itu pada Mei 2018 dan menentang keras rencana mengakhiri embargo senjata Iran.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada Sabtu (18/4/2020), meminta Dewan Keamanan PBB memperpanjang embargo senjata terhadap Iran. “Sebelum Asia Barat (Timur Tengah) memasuki babak baru perlombaan senjata, Dewan Keamanan harus memperpanjang embargo senjata terhadap Iran,” tulisnya via akun Twitter.
Sebelum ini, Pompeo dalam pertemuan dengan Dewan Komite Urusan Luar Negeri DPR AS, menekankan bahwa Washington telah meminta PBB untuk memperpanjang embargo senjata konvensional Tehran.
Namun, Moskow tidak sependapat dengan alasan yang diutarakan oleh Washington. Wakil Tetap Rusia untuk Organisasi-organisasi Internasional di Wina, Mikhail Ulyanov memandang perlombaan senjata sebagai hasil dari ulah kekuatan-kekuatan besar.
“Perlombaan senjata biasanya tidak terjadi sepihak. Ini adalah sebuah upaya kolektif di antara kekuatan-kekuatan besar atau regional,” ujarnya menanggapi statemen Pompeo.
Resolusi 2231 Dewan Keamanan yang diberlakukan sejak 2016, melarang impor dan ekspor senjata dari dan oleh Iran selama lima tahun. Larangan ini berakhir pada Oktober 2020. Setelah periode ini, Iran dapat membeli senjata dari negara-negara lain atau mengekspor senjatanya ke luar negeri.
Pemerintahan Trump sedang meningkatkan tekanan terhadap Dewan Keamanan dan memprovokasi negara-negara kelompok 4+1 agar mendukung perpanjangan embargo senjata terhadap Iran.
Washington sedang mencoba memperlemah dan pada akhirnya menghancurkan JCPOA sehingga dapat mendorong sebuah konsensus global untuk melawan Tehran.
Namun, tidak satupun dari anggota Kelompok 4+1 yang memprotes pembatalan embargo senjata Iran dan mereka menganggap kekhawatiran AS tidak berdasar, seperti yang disampaikan oleh Rusia.
Moskow percaya bahwa permintaan Washington adalah tidak berdasar, tidak sah, dan tidak ada alasan untuk membahasnya. Kementerian Luar Negeri Rusia menekankan embargo senjata terhadap Iran bersifat temporal dan akan berakhir pada Oktober 2020.
Dirjen Badan Pengendalian Senjata dan Proliferasi di Kemenlu Rusia, Vladimir Yermakov mengatakan, sama sekali tidak ada konsultasi dan pembahasan resmi tentang peninjauan ulang resolusi 2231, tidak di Dewan Keamanan PBB dan tidak pula di tempat lain.
Permintaan AS disampaikan ketika negara itu sendiri menjadi eksportir senjata terbesar ke Asia Barat dan telah menjual senjata ke negara-negara Arab di Teluk Persia senilai puluhan miliar dolar. Pada dasarnya, langkah ini telah mendorong perlombaan senjata di kawasan.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif, menuturkan AS telah menjual senjata secara fantastis kepada Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Kebijakan AS membahayakan stabilitas dan perdamaian di kawasan.
“Amerika telah mengubah kawasan sebagai gudang amunisi,” tegasnya.
Iran – yang berada di bawah sanksi dan embargo selama bertahun-tahun – tidak membeli senjata-senjata yang dilarang dalam resolusi PBB. Sebaliknya, Iran mengandalkan potensi dalam negeri untuk mendesain dan memproduksi berbagai jenis senjata, rudal, radar, dan perangkat perang elektronik. Produk-produk Iran bahkan diminati oleh banyak negara.
Pada dasarnya AS mengkhawatirkan meningkatnya kekuatan pertahanan Iran. Oleh karena itu, mereka menyerukan perpanjangan embargo senjata Iran yang jelas-jelas bertentangan dengan resolusi 2231. Upaya ilegal Amerika ini diyakini tidak akan memperoleh dukungan dan gagal di tengah jalan.
Bedakan Jaga Jarak Sosial di Masjid dan Gereja, Trump Dituduh Islamfobia
Statemen Presiden Amerika Serikat yang membedakan penerapan jaga jarak sosial di bulan Ramadhan dan libur Paskah, membuatnya dituduh Islamfobia.
Fars News (19/4/2020) melaporkan, Donald Trump baru-baru ini dituding Islamfobia gara-gara membedakan cara penerapan kebijakan jaga jarak sosial di masjid-masjid di bulan Ramadhan, dan penerapannya di gereja saat libur Paskah.
Hari Sabtu (18/4) Trump mengatakan, penerapan karantina oleh pejabat pemerintah di bulan Ramadhan yang segera tiba ini mungkin saja berbeda dengan libur Paskah umat Kristiani.
Trump mengeluarkan pernyataan ini setelah memuat ulang cuitan Paul Sperry, salah seorang penulis konservatif Amerika di akun Twitternya.
Dalam cuitannya Sperry menulis, kita lihat apakah pejabat pemerintah menerapkan aturan jaga jarak sosial di bulan Ramadhan, sama seperti di gereja-gereja pada Hari Raya Paskah.
Dalam jumpa persnya, Presiden Amerika mengatakan, saya katakan mungkin berbeda. Harus kita lihat apa yang akan terjadi. Karena saya melihat banyak ketidakadilan di negara ini.
Saat ditanya wartawan TV Al Jazeera apakah ia percaya para pemuka agama Islam di Amerika akan menolak mematuhi aturan pembatasan sosial di negara ini, Trump membantahnya.
Rahbar Keluarkan Fatwa Puasa Ramadhan di Masa Covid-19
Kantor Urusan Fatwa Pemimpin Besar Revolusi Islam, Ayatullah Sayid Ali Khamenei menerbitkan informasi fatwa Ayatullah Khamenei mengenai puasa di bulan suci Ramadhan selama penyebaran virus corona.
Rahbar menanggapi pertanyaan tentang fatwa puasa Ramadhan di masa Covid-19 hari Minggu (19/4/2020) dengan mengatakan, "Puasa sebagai kewajiban ilahi, yang hakikatnya sebagai karunia khusus Allah swt bagi hamba-Nya, dan menjadi dasar bagi pengembangan spiritualitas manusia. Puasa juga telah diwajibkan bagi umat-umat sebelumnya,".
"Salah satu dampak puasa adalah meningkatkan kondisi spiritualitas dan mentalitas, juga meningkatkan kesalehan individu dan sosial manusia, sekaligus memperkuat tekad dan semangat dalam menghadapi berbagai kesulitan. Puasa juga dengan jelas berperan bagi kesehatan tubuh manusia, dan Allah swt akan menganugerahkan pahala besar bagi orang yang berpuasa," ujar Ayatullah Khamenei dalam fatwanya mengenai urgensi puasa.
Pemimpin Besar Revolusi Islam juga menekankan posisi puasa sebagai pilar utama syariat Islam, oleh karena itu secara umum tidak boleh meninggalkan puasa di bulan suci Ramadhan tanpa halangan yang diperbolehkan syariat.
Rahbar memberikan penjelasan mengenai kondisi khusus berpuasa di masa corona dengan mengatakan, "Jika seseorang memiliki argumentasi rasional bahwa puasanya akan menyebabkan penyakit, memperburuk penyakit atau menambah panjang penyakit yang dideritanya, maupun mengganggu kesehatannya; maka dalam kasus demikian puasa bisa dibatalkan. Tetapi harus diganti di waktu lain. Tentu saja, masalah ini terjadi jika dokter spesialis dan religius merekomendasikannya,"
Ayatullah Khamenei dalam fatwanya juga menegaskan, "Jika seseorang memiliki kekhawatiran atau takut terhadap hal-hal yang disebutkan di atas dengan pertimbangan rasionalitas, maka puasa bisa dibatalkan, tetapi perlu diqada di lain waktu,".